Tuesday, May 30, 2023

KEBIJAKAN SOSIAL DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAAT: PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL

KEBIJAKAN SOSIAL DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAAT:

PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL 

Edi Suharto[1]

 

ABSTRACT

This paper discusses relation between social policy and community development. It basically addresses three paramount questions: Why community development needs to involve social policy? What are the roles of policy makers in community empowerment programmes? What capacities needed by the policy actors in performing their mandate? After highlighting concepts of community development and community organisations, this article then identifies community development tragedies delineating the importance of social policy. Finally, roles and competencies of policy actors conclude this paper.



[1] Dosen dan Pembantu Ketua I Bidang Akademik, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung; Konsultan UNICEF; Plan Internasional Indonesia; dan Local Governance Initiative (LGI), Hungary.

 

PENDAHULUAN

Banyak disiplin mengklaim memiliki keahlian dalam bekerja dengan individu, keluarga dan kelompok. Namun, hanya sedikit profesi yang memfokuskan pada keberfungsian klien dalam konteks organisasi, masyarakat dan kebijakan, salah satunya adalah pekerjaan sosial (Social Work). Sebagaimana dinyatakan Netting et al. (2004), dalam perspektif pekerjaan sosial konsep “orang-dalam-lingkungan” bukan sekadar slogan yang membuat para pekerja sosial perlu menyadari pengaruh-pengaruh lingkungan, melainkan, memberi pesan jelas bahwa dalam kondisi tertentu perubahan sosial hanya bisa dicapai melalui pengubahan lingkungan dan bukan pengubahan orangnya.

Oleh karena itu, meskipun pengembangan masyarakat (PM) seringkali didasari oleh kebutuhan dan isu-isu yang berkaitan dengan kehidupan individu dan kelompok pada area lokal, PM yang berkelanjutan menekankan pentingnya strategi-strategi kebijakan sosial yang beroperasi melebihi pendekatan-pendekatan individu dan kelompok.

 

PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Disiplin pekerjaan sosial menetapkan bahwa PM adalah bagian dari strategi praktik pekerjaan sosial makro. Beberapa frase lain yang sering dipertukarkan dengan PM antara lain: Community Organizing (CO), Community Work, Community Building, Community Capacity Building, Community Empowerment, Community Participation, Ecologically Sustainable Development, Community Economic Development, Asset-Based Community Development, Faith-Based Community Development, Political Participatory Development, Social Capital Formation, dst. (Suharto 2006; 2007).

Di jagat pekerjaan sosial, PM seringkali didefinisikan sebagai proses penguatan masyarakat yang dilakukan secara aktif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan sosial, partisipasi dan kerjasama yang setara (Suharto 2008; Suharto 2006; Ife 1995; Netting et al. 1993; DuBois dan Milley 1992). PM adalah strategi pekerjaan sosial dengan mana anggota masyarakat didorong agar memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk memperbaiki kehidupannya. Target utama PM pada umumnya adalah kelompok miskin dan lemah yang tidak memiliki akses kepada sumber pembangunan, meskipun tidak menafikan kelompok lain untuk berpartisipasi.

Tujuan utama PM adalah memberdayakan individu-individu dan kelompok-kelompok orang melalui penguatan kapasitas (termasuk kesadaran, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan) yang diperlukan untuk mengubah kualitas kehidupan komunitas mereka. Kapasitas tersebut seringkali berkaitan dengan penguatan aspek ekonomi dan politik melalui pembentukan kelompok-kelompok sosial besar yang bekerja berdasarkan agenda bersama.

PM bukanlah pendekatan “cetak biru” (blueprint), sekali jadi. Melainkan proses yang partisipatif dan berkelanjutan; anggota-anggota masyarakat bekerjasama dalam kelompok-kelompok formal dan informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, serta mencapai tujuan bersama. Dalam proses ini masyarakat dibantu untuk mengidentifikasi masalah, kebutuhan dan kesempatan hidup; difasilitasi dalam merancang solusi-solusi yang tepat; serta dilatih agar memiliki kapasitas agar mampu mengakses sumber-sumber yang ada di dalam maupun di luar komunitasnya.

PM mengekspresikan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, akuntabilitas, kesempatan, pilihan, partisipasi, kerjasama dan proses belajar yang berkelanjutan. Pendidikan, pendampingan dan pemberdayaan adalah inti PM. PM berkenaan dengan bagaimana mempengaruhi struktur dan relasi kekuasaan untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang mencegah orang berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Merujuk pada Payne (1986), prinsip utama Pekerjaan Sosial adalah “making the best of the client’s resources.” Payne (1986: 26) menyatakan:

 

Whenever a social worker tries to help someone, he or she is starting from a position in which there are some useful, positive things in the client’s life and surroundings which will help them move forward, as well as the problems or blocks which they are trying to overcome. Part of social work is finding the good things, and helping the client to take advantage of them.

 

Sejalan dengan perspektif kekuatan (strengths perspective), para pekerja sosial tidak boleh memandang klien dan lingkungannya sebagai sistem yang pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa. Melainkan sebagai aktor dan sistem sosial yang memiliki kekuatan positif dan bermanfaat bagi proses pemecahan masalah. Bagian dari pendekatan pekerjaan sosial adalah menemukan sesuatu yang baik dan membantu klien memanfaatkan hal itu.

 

PENGORGANISASIAN MASYARAKAT

Pengorganisasian masyarakat (Community Organizing/CO) adalah nama lain dari pengembangan masyarakat (Community Development/CD). Saat ini, di negara asal pekerjaan sosial, seperti Inggris dan Amerika Serikat, mata kuliah ini umumnya dinamakan Social Work Macro Practice, Community Work,  CD atau CO saja.

Selama puluhan tahun para pendidik dan praktisi pekerjaan sosial di Indonesia selalu menggabungkan konsep CO dan CD secara tandem. Mata kuliah inti pekerjaan sosial di banyak sekolah pekerjaan sosial di Indonesia hingga kini masih menggunakan nama COCD: Community Organization/Organizing and Community Development. Karena demikian populernya maka frase ini nyaris tidak diterjemahkan lagi ke dalam Bahasa Indonesia. Para pengajar pekerjaan sosial di Indonesia seakan merasa berdosa jika tidak menggunakan istilah COCD atau CO/CD secara terintegrasi.

CO pada hakikatnya merupakan sebuah proses dimana warga masyarakat didorong agar bekerjasama untuk bertindak berdasarkan kepentingan bersama. Makna “pengorganisasian” menegaskan segala kegiatan yang melibatkan orang berinteraksi dengan orang lain secara formal. Karenanya, tujuan utama CO adalah mencapai tujuan bersama berdasarkan cara-cara dan penggunaan sumber daya yang disepakati bersama. Banyak program CO yang menggunakan cara-cara populis dan tujuan-tujuan ideal demokrasi partisipatoris. Para aktivis CO atau CO workers biasanya menciptakan gerakan-gerakan dan aksi-aksi sosial melalui pembentukan kelompok massa, dan kemudian memobilisasi para anggotanya untuk bertindak, mengembangkan kepemimpinan, serta relasi di antara mereka yang terlibat.

Meskipun identik, CO sejatinya dapat dibedakan dengan CD. Dalam sejarahnya, CD lebih sering diterapkan pada masyarakat perdesaan di negara-negara berkembang. Karena permasalahan sosial utama di negara ini adalah kemiskinan massal dan struktural, maka dalam praktiknya CD lebih sering diwujudkan dalam bentuk “pengembangan ekonomi masyarakat” atau Community Economic Development (lihat Suharto 2008; 2006; Ife, 1995). PM biasanya difokuskan pada kegiatan-kegiatan pembangunan lokal (locality development) di sebuah permukiman atau wilayah yang relatif kecil. Program-programnya biasanya berbentuk usaha ekonomi mikro atau perawatan kesehatan dasar, pemberantasan buta aksara, peningkatan kesadaran dan partisipasi politik warga yang bersifat langsung dirasakan oleh penduduk setempat.

Sebaliknya, CO lebih sering diterapkan pada masyarakat perkotaan yang relatif sudah maju. CO lebih banyak bersentuhan dengan aspek politik warga, seperti penyadaran hak-hak sipil (civil rights), pembentukan forum warga, penguatan demokrasi, pendidikan warga yang merayakan pluralisme, kesetaraan dan partisipasi publik. PM seringkali melibatkan kegiatan-kegiatan advokasi atau aksi sosial yang melibatkan pengorganisasian masyarakat (CO) dan menuntut adanya perubahan kebijakan publik dan menyentuh konteks politik. Program-programnya bisa berupa perumusan dan pengusulan naskah kebijakan (policy paper) mengenai pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis, pengusulan draft Peraturan Daerah tentang perlindungan sosial warga miskin, advokasi upah buruh yang manusiawi, peningkatan kesadaran akan bahaya HIV/AIDS, pengarusutamaan jender dan kesetaraan sosial, perlindungan anak, penanganan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dan sebagainya.  

Sebagai ilustrasi, jika CD menanggulangi kemiskinan melalui pemberian kredit dan pelatihan ekonomi mikro, maka, CO menanggulangi kemiskinan dengan mendidik warga agar membentuk organisasi massa atau forum warga, sehingga mereka mampu bertindak melawan status quo, kaum pemodal, rentenir, atau kebijakan pemerintah yang dirasakan tidak adil dan menindas. Tentu saja, pembedaan antara CD dan CO tidak bersifat absolut. Dalam kenyataan dan pada kasus-kasus tertentu, percampuran pendekatan keduanya sangat mungkin terjadi di antara berbagai kategori masyarakat. Pendekatan CO dan CD akan digabungkan dan hanya akan dipakai istilah PM saja. Selain konsep ini lebih populer, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, konsep PM lebih tepat dan sesuai dengan karakteristik mereka.

 

TRAGEDI PM

Dalam buku “Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat” (Suharto, 2006), penulis berargumen bahwa satu tragedi dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah bahwa pendekatan yang diterapkan seringkali terlalu terkesima oleh, untuk tidak menyatakan sangat mengagungkan, konteks lokal. Sistem sosial yang lebih luas yang menyangkut pembangunan sosial, Kebijakan Sosial, relasi kekuasaan, ketidakadilan jender, ekslusifisme, pembelaan hak-hak publik dan kesetaraan sosial seringkali kurang mendapat perhatian.

Seakan-akan komunitas lokal merupakan entitas sosial yang vacuum dan terpisah dari dinamika dan pengaruh sistem sosial yang mengitarinya. Penyempitan makna pemberdayaan masyarakat semacam ini, antara lain, bisa dilihat dari dominannya program-program PM yang bermatra usaha ekonomi produktif berskala mikro, seperti “warungisasi” (setiap kelompok sasaran atau warga binaan dilatih atau diberi modal agar dapat membuka warung) atau “kambingisasi” (pemberian kambing kepada kelompok miskin untuk dikelola secara kelompok). Suharto (2006) menyatakan:

Tidak ada yang salah dengan pendekatan lokalisme seperti itu. Hanya saja, tanpa perspektif holistik yang memadukan kegiatan-kegiatan lokal dengan analisis kelembagaan dan kebijakan sosial secara terintegrasi, pendekatan pemberdayaan masyarakat bukan saja akan kurang efektif, melainkan pula tidak akan berkelanjutan. Diibaratkan dengan analogi “ikan dan pancing”, maka meskipun kelompok sasaran (target group) diberi ikan dan pancing sekalipun, mereka tidak akan berdaya jika seandainya kolam dan sungai yang ada di seputar mereka telah dikuasai oleh elit atau kelompok kuat.

 

Selain karena “jebakan lokalitas” di atas, kegagalan PM juga bisa disebabkan oleh adanya bias-bias yang menghinggapi perencanaan dan pelaksanaan PM. Merujuk pada pengalaman Robert Chambers di beberapa negara berkembang yang dikemas dalam bukunya Rural Development: Putting the Last First (1985) dan pengalaman penulis yang dibukukan dalam “Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia” (Suharto 2004), ditemukan sedikitnya 10 bias dalam PM, yaitu:

1.       Bias perkotaan. PM cenderung banyak dilaksanakan di wilayah perkotaan. Sementara itu daerah-daerah perdesaan seringkali terabaikan.

2.       Bias jalan utama. PM lebih banyak dilakukan di wilayah-wilayah yang dekat dengan jalan utama. Daerah-daerah terpencil yang jauh dari jalan raya kurang menarik perhatian karena sulit dijangkau dan kurang terekspos media massa.

3.       Bias musim kering. Masyarakat seringkali mengalami masalah kekurangan pangan dan penyebaran penyakit pada saat musim hujan dan banjir. Namun, program-program PM kerap dilakukan pada saat musim kering ketika mobil para “development tourist” mudah menjangkau lokasi dan sepatu mengkilat mereka tidak mudah terperosok lumpur.

4.       Bias pembangunan fisik. Donor dan aktivis PM lebih menyukai melaksanakan program pembangunan fisik yang mudah terukur dari pada pembangunan manusia.

5.       Bias modal finansial. Saat melakukan needs assessment dan Participatory Rural Appraissal (PRA), baik anggota masyarakat maupun para aktivis PM tidak jarang terjebak pada pemberian prioritas yang tinggi pada perlunya penguatan modal finansial (kredit mikro, simpan pinjam). Padahal dalam kondisi modal sosial yang tipis, kemungkinan terjadinya korupsi, pemotongan dana dan pemalsuan nama orang-orang miskin, sangat besar.

6.       Bias aktivis. Program PM seringkali diberikan pada “orang-orang itu saja” yang relatif lebih menonjol dan aktif dalam menghadiri pertemuan, mengemukakan pendapat dan mengikuti berbagai kegiatan di wilayahnya. Kecenderungan kepada “good persons” ini menyebabkan “silent majority” menjadi terabaikan.

7.       Bias proyek. Program PM diterapkan berulangkali pada wilayah-wilayah yang sering menerima proyek, karena dianggap telah mampu menjalankan kegiatan dengan baik. Daerah-daerah yang dikategorikan “good locations” ini biasanya menjadi target rutin pelaksanaan proyek-proyek percontohan.

8.       Bias orang dewasa. Anak-anak dan kelompok lanjut usia yang pada umumnya dianggap kelompok “minoritas” jarang tersentuh program PM. Mereka jarang dilibatkan dalam identifikasi kebutuhan dan perencanaan program, apalagi dimasukan sebagai penerima program.

9.       Bias laki-laki. Di daerah-daerah terpencil di Indonesia, laki-laki pada umumnya lebih sering terlibat dalam kegiatan PM ketimbang perempuan.

10.   Bias orang “normal”. Para penyandang cacat, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus jarang tersentuh program PM. Mereka dipandang kelompok yang tidak “normal”.

 

KEBIJAKAN SOSIAL DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Mengatasi tragedi PM tidak bisa dilakukan melalui perbaikan-perbaikan PM secara parsial. Melainkan, memerlukan perumusan dan pengembangan flatform kebijakan dalam tataran yang lebih luas dan holistik. Perumusan Kebijakan Sosial yang tepat merupakan strateginya. Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.

Menurut Bessant et al. (2006): “In short, social policy refers to what governments do when they attempt to improve the quality of people’s life by providing a range of income support, community services and support programs.” Artinya, Kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya (lihat Suharto 2008).

Dalam garis besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan (lihat Midgley 2000; Suharto 2008). Berdasarkan kategori ini, maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan daerah yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun, tidak semua kebijakan sosial berbentuk perundang-undangan. Dalam perspektif yang lain, hukum bisa juga dipisahkan dari kebi­jakan. Hukum dipandang sebagai fondasi atau landasan konstitusional bagi kebijakan sosial. Dalam konteks ini, kebijakan dirumuskan berdasarkan amanat konstitusi. Di Indonesia, sebagai ilustrasi, kebijakan sosial yang berka­itan dengan program-program pembangunan kesejahteraan, seperti rehabilitasi sosial, jaminan sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan sosial dirumuskan dengan merujuk pada UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

 

Hukum

Kebijakan Sosial

Kebijakan Lembaga

Praktek Aktual/ Program PM

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 1  Hukum, kebijakan sosial dan program PM

       Sumber: Suharto (2008)

 

Meskipun tidak harus berlaku di setiap konteks, Gambar 1 memberi petunjuk bahwa kebijakan sosial bisa pula dibedakan dengan kebijakan lembaga dan praktik aktual. Kebijakan sosial bisa dijadikan rujukan oleh sebuah lembaga untuk merumuskan kebijakan lembaga yang kemudian dioperasionalkan da­lam bentuk praktik aktual yang diterapkan di lembaga tersebut. Program-program PM bisa dilihat sebagai luaran (output) dari kebijakan lembaga, kebijakan sosial atau pun perundang-undangan.

 

PEMAIN KEBIJAKAN

Di negara-negara Barat, kebijakan sosial sebagian besar menjadi tanggungjawab pemerintah (Suharto 2006; 2008). Ini dikarenakan sebagian besar dana untuk kebijakan sosial dihimpun dari masyarakat (publik) melalui pajak. Di negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia dan Norwegia serta negara-negara Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, Inggris dan Prancis, pelayanan-pelayanan sosial menjadi bagian integral dari sistem ‘negara kesejahteraan’ (welfare state) yang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar di bidang sosial dan medis untuk segala kelompok usia (anak-anak, remaja, lanjut usia) dan status sosial ekonomi (orang kaya maupun miskin) (Suharto 2009).

Namun demikian, seperti ditunjukkan oleh Tabel 1, terjadinya pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari government (pemerintahan) ke governance (tata kepemerintahan), kebijakan sosial dipandang bukan lagi sebagai urusan yang didominasi pemerintah (Suharto 2006; 2008). Makna publik juga bergeser dari ‘penguasa orang banyak’ yang diidentikkan dengan pemerintah, ke ‘bagi kepentingan orang banyak’ yang identik dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan. Para analis kebijakan dan kelompok pemikir yang independent kemudian muncul sebagai profesi baru dan aktor yang banyak berperan mengkritisi beroperasinya kebijakan sosial dan kemudian mengajukan saran-saran perbaikannnya demi terwujudnya good governance sejalan dengan menguatnya semangat demokratisasi, civil society dan transparansi.

 

Tabel 1  Pergeseran paradigma dalam formulasi kebijakan publik

Aspek

Government

Governance

Proses Perumusan Kebijakan

Pemerintah

§ Pemerintah

§ Stakeholder

§ Analis Kebijakan

§ Independent ThinkThank

Penetapan Kebijakan

Pemerintah

Pemerintah

Analisis Kebijakan

§ Pemerintah

§ Public Contractor

§ Government Think Thank

§ Stakeholder

§ Analis kebijakan

§ Independent Think Thank

Sumber: Suharto (2006

 

Sebagai kebijakan negara, perumusan kebijakan publik pada dasarnya diserahkan kepada para pejabat publik. Namun demikian, dalam beberapa aspek warga negara secara individu bisa berpartisipasi, terutama dalam memberikan masukan mengenai isu-isu publik yang perlu direspon oleh pemegang kebijakan. Para pemain kebijakan yang terlibat dalam perumusan kebijakan berbeda antara negara maju dan berkembang (Winarno 2004). Struktur pembuatan kebijakan di negara-negara maju, seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat, relatif lebih kompleks dari pada di negara-negara berkembang (Suharto 2008). Proses perumusan kebijakan di negara-negara maju juga lebih responsif dalam merespon kebutuhan dan aspirasi warga negara. Selain karena prinsi-prinsip good governance telah berjalan efektif (KKN di kalangan pemerintah dan anggota dewan sangat rendah), setiap penduduk pada umumnya telah memiliki kesadaran tinggi terhadap hak-hak politik warga negara. Mereka mempunyai kepentingan terhadap kebijakan publik dan sedapat mungkin ambil bagian dalam proses perumusannya. Di Swiss dan negara bagian California, warga negara secara individu memiliki peran dalam pembuatan undang-undang dan suara mereka sangat menentukan dalam amandemen konstitusi (Winarno 2004). Di negara-negara berkembang, seperti Kuba, Korea Selatan dan Indonesia, perumusan kebijakan lebih dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat relatif kecil (Suharto 2008).

Kebijakan sosial memiliki peran yang sangat menentukan keberhasilan program PM (Suharto 2009). Sesuai dengan prinsip pemberdayaan, PM sangat perlu memperhatikan pentingnya partisipasi publik yang kuat. Dalam konteks ini, peranan perumus atau pembuat kebijakan seringkali diwujudkan bukan sebagai pendamping yang berfungsi sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Melainkan, sebagai aktor yang memungkinkan terciptanya lingkungan kondusif, sistem yang adil, dan program-program sosial yang holistik, termasuk memungkinkan terjadinya penguatan partisipasi rakyat dalam proses perencanaan, implementasi, maupun monitoring serta evaluasi program PM.

Para pembuat kebijakan biasanya terlibat dalam menciptakan situasi dan mekanisme yang memungkinkan warga masyarakat mampu mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang ada pada diri mereka, maupun mengakses sumber-sumber kemasyarakatan yang berada di sekitarnya. Pembuat kebijakan juga berusaha untuk membangun dan memperkuat jaringan dan hubungan antara komunitas setempat dan kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih luas. Karenanya, mereka harus memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana bekerja dengan individu-individu dalam konteks masyarakat lokal, maupun bagaimana mempengaruhi posisi-posisi masyarakat dalam konteks lembaga-lembaga sosial yang lebih luas.

 

KOMPETENSI

Menurut perspektif pekerjaan sosial, PM sangat memperhatikan keterpaduan antara sistem klien dengan lingkungannya. Sistem klien dapat bervariasi, mulai dari individu, keluarga, kelompok kecil, organisasi, sampai masyarakat (Suharto 2009). Sementara itu sistem lingkungan dapat berupa keluarga, rukun tetangga, tempat kerja, rumah sakit dll. Dalam PM, pekerja sosial menempatkan masyarakat sebagai sistem klien dan sistem lingkungan sekaligus.

Karenanya, pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh perumus kebijakan yang terlibat dalam PM idealnya perlu mencakup pengetahuan tentang masyarakat, organisasi sosial, perkembangan dan perilaku manusia, dinamika kelompok, program sosial, dan pemasaran sosial (social marketing). Seperti diungkapkan oleh Mayo (1994), para pekerja sosial yang terlibat dalam perumusan kebijakan perlu memiliki pengetahuan mengenai latar belakang sosial, ekonomi dan politik dimana mereka bekerja:

The socio-economic and political backgrounds of the areas in which they are to work, including knowledge and understanding of political structures, and of relevant organisations and resources in the statutory, voluntary and community sectors. And they need to have knowledge and understanding of equal opportunities policies and practice, so that they can apply these effectively in every aspect of their work.

Perumus kebijakan juga memerlukan pengetahuan mengenai model-model analisis kebijakan sosial, sistem negara kesejahteraan (welfare state), dan hak-hak sosial masyarakat, termasuk pengetahuan-pengetahuan khusus dalam bidang-bidang dimana praktik pekerjaan sosial beroperasi, seperti: kebijakan kesejahteraan sosial dan kesehatan, praktik perawatan masyarakat, peraturan dan perundang-undangan perlindungan anak, serta perencanaan sosial termasuk perencanaan wilayah (perkotaan dan pedesaan) dan perumahan.

Keterampilan yang perlu dikuasai meliputi keterampilan interview, relasi sosial, studi sosial, pengumpulan dan pengorganisasian dana, pengembangan dan evaluasi program, serta identifikasi kebutuhan (needs assessment) (Suharto 2006). Dengan demikian, perumus kebijakan aosial perlu memiliki kompetensi profesional yang saling melengkapi (Suharto 2006) seperti:

1.       Engagement (cara melakukan kontak, kontrak dan pendekatan awal dengan beragam individu, kelompok dan organisasi).

2.       Assessment (cara memahami dan menganalisis masalah dan kebutuhan klien, termasuk assessment kebutuhan dan profile wilayah).

3.       Penelitian (cara mengumpulkan dan mengidentifikasi data sehingga menjadi informasi yang dapat dijadikan dasar dalam merencanakan pemecahan masalah atau mengembangkan kualitas program).

4.       Groupwork (bekerja dengan kelompok-kelompok yang dapat dijadikan sarana  pemecahan masalah maupun dengan kelompok-kelompok kepentingan yang bisa menghambat atau mendukung pencapaian tujuan program pemecahan masalah).

5.       Negosiasi (bernegosiasi secara konstruktif dalam situasi-situasi konflik).

6.       Komunikasi (dengan berbagai pihak dan lembaga).

7.       Konseling (melakukan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat dengan beragam latar kebudayaan)

8.       Manajemen sumber (memobilisasi sumber-sumber yang ada di masyarakat, termasuk manajemen waktu dan aplikasi-aplikasi untuk memperoleh bantuan).

9.       Pencatatan dan pelaporan terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan monitoring dan evaluasi program.

 

DAFTAR PUSTAKA

Barker RL. 1987. The Social Work Dictionary, Silver Spring, MD: National Association of Social Workers.

Chambers R. 1984. Rural Development: Putting the Last First. Harlow: Longman.

Chambers R. 1985. Rural Development: Putting the Last First. London: Longman.

DuBois B, Miley KK.  1992. Social Work: An Empowering Profession. Boston: Allyn and Bacon.

Ife J. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives, Vision, Analysis and Practice. Mellbourne: Longman.

Lee J dan Swenson C. 1986.  “The Concept of Mutual Aid”, dalam A. Gitterman dan L. Schulman (eds), Mutual Aid and the Life Cycle, Itasca: F. E. Peacock.

Mayo M. 1998. “Community Work”, dalam Adams, Dominelli dan Payne (eds), Social Work: Themes, Issues and Critical Debates. London: McMillan.

Netting  FE, Kettner PM, McMurtry SL. 2004. Social Work Macro Practice (third edition). Boston: Allyn and Bacon.

Parsons R, Jorgensen JD, Hernandez SH. 1994. The Integration of Social Work Practice. California: Brooks/Cole.

Payne M. 1986. Social Care in The Community, London: MacMillan.

Suharto E.  2007. Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) (edisi ke-2). Bandung: Alfabeta.

Suharto E. 2004. Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia. Bandung: STKS Press.

Suharto E. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (edisi ke-2). Bandung: Refika Aditama.

Suharto E. 2007. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (edisi ke-4). Bandung: Alfabeta.

Suharto E. 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Suharto E. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial. Bandung: Alfabeta.

Winarno B. 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik (cetakan kedua). Yogyakarta: Media Pressindo.

 


 

PERANAN PENGAMBIL KEBIJAKAN DALAM

PENGEMBANGAN MASYARAKAT

 

Ibnu Hamad[1]

 

ABSTRACT

The discussion of the paper uses communication science approach. It is focused on the communication utilization by policy taker to develop the community. The meaning of policy taker is the leader that has the leadership characteristic. The main problem of this discussion is how the communication utilization by the policy taker as the leader to develop the community.  

 

Key words: policy taker, community development, communication


TIGA PERTANYAAN PENTING

                Kiranya tak perlu dinyatakan lagi bahwa para pengambil kebijakan memiliki peranan yang sangat besar dalam pengembangan masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para pengambil kebijakan langsung atau tidak langsung selalu memberi pengaruh terhadap pengembangan masyarakat. Bahkan kerapkali para pengambil kebijakan sengaja mengambil suatu kebijakan dengan tujuan untuk mengembangkan masyarakat.

                Namun begitu, ada tiga pertanyaan penting yang pantas dijawab terkait dengan judul artikel ini:

a.       Siapakah pengambil kebijakan itu?

b.       Apakah pengembangan masyarakat itu?

c.       Alat apa yang digunakan para pengambil kebijakan untuk mengembangkan masyarakat?

Jawaban atas tiga pertanyaan ini pastilah tidak tunggal. Setiap disiplin ilmu bisa memberi jawaban yang berbeda. Namun di sini kita akan melihatnya dari perspektif komunikasi, khususnya komunikasi kepemimpinan. Seperti dibahas antara lain oleh Mai dan Akerson (2003), komunikasi memegang peranan penting bagi para pengambil kebijakan untuk mengembangkan masyarakatnya. Sekalipun kedua pengarang ini mengambil konteks manajerial untuk bukunya, kita dapat menerapkannya untuk konteks masyarakat sebagaimana akan dibahas nanti.

Terkait dengan pemikiran Mai dan Akerson ini, kita akan memperlakukan pengambil kebijakan sebagai pemimpin (leader). Ada dua alasan yang saling terkait mengapa para pengambil kebijakan di sini disamakan dengan pemimpin. Pertama, dari cara para pengambil kebijakan melakukan pekerjaannya, mereka cocok dengan pemimpin ketimbang pelaksana lapangan. Kedua, para pemimpin lazimnya adalah para pengambil kebijakan. Para pemimpin adalah mereka yang mengambil keputusan untuk dilaksanakan oleh para eksekutifnya atau manajernya (selanjutnya lihat Tabel 1).

Seperti tampak pada tabel 1, sebagai pemimpin maka para pengambil kebijakan mestilah melakukan langkah-langkah sebagaimana layaknya pemimpin. Mereka menyiapkan seperangkat cara berpikir yang memberikan inspirasi bagi masyarakatnya untuk bekerja sesuai kebijakan yang diambilnya. Sebaliknya, pengambil kebijakan, oleh karena sifat pekerjaannya, mestilah bukan seperti manajer yang melakukan pekerjaan-pekerjaan teknis.

 

Tabel 1 Pengambil kebijakan selaku pemimpin

Pemimpin

Manajer

“To Think”

“To Do”

Memberi inspirasi

Mengerjakan tugas

Mencipta inovasi

Mewujudkan rencana

Membangun visi

Membuktikan mimpi

Menunjukan arah

Melakukan prosedur

Memberi motivasi

Mengatur manajemen

“Let`s Go”

“Go!”

 

Sudah tentu para pengambil kebijakan itu mengambil kebijakan itu dalam rangka mengembangkan masyarakatnya. Sebagai pemimpin, para pengambil kebijakan harus  membuat keputusan sebagai produk kebijakannya. Keputusannya inilah yang sedikit-banyak memberi corak dan arah pada masyarakat yang dipimpinnya. Masalahnya, kearah manakah perkembangan masyarakat itu sebagai akibat diambilnya kebijakan oleh seorang dan atau kelompok pengambil kebijakan? Apakah perkembangan masyarakat itu bergerak ke arah maju ataukah ke arah mundur? Sejatinya,setiap kebijakan memberi dampak pada perkembangan ke arah maju, bukan ke arah mundur (lihat Tabel 2)

 

Tabel 2  Ciri-ciri perubahan masyarakat

PERUBAHAN KE ARAH MAJU

PERUBAHAN KE ARAH MUNDUR

Masyarakat mengalami (R)evolusi kebudayaan.

Berkembangnya romantisme budaya.

 

Struktur dan kultur masyarakat berubah.

Struktur dan kultur berjalan di tempat dan menghasilkan involusi budaya

Menangnya kemampuan otak atas kekuatan otot. Masyarakat makin  civilize

Bangga atas kekuatan otot ketimbang kemampuan otak.

 

Tumbuh kembangnya golongan reformis dan civil society

Memperbanyak golongan reaksioner dan barbar.

 

Mungkinkah dalam alam modern seperti sekarang masih ada peluang sebuah kebijakan yang mendorong masyarakat bergerak ke arah mundur? Jawabannya, sangat berpeluang! Boleh jadi mula-mulanya mereka tidak mereka sadari, tetapi dampaknya luar biasa. Pengambil kebijakan yang cerdas niscaya membawa perubahan ke arah maju; sebaliknya pengambil kebijakan yang bebal pasti menjerumuskan masyarakat ke arah mundur.

Pengambil kebijakan yang cerdas dimaksud di sini adalah mereka yang dalam setiap pengambilan keputusannya mendasarkan diri pandangannya pada etika summum bonum, yaitu sifat-sifat kebaikan tertinggi untuk sebanyak-banyak manusia. Tipe pengambil keputusan jenis ini boleh dibilang para pejuang yang ikhlas yang mengabdikan dirinya untuk kebaikan sebanyak mungkin manusia. Sebagai buah dari pengambilan keputusannya, masyarakat berkembang baik dalam struktur maupun kultur. Setiap anggota masyarakat terlibat dalam perubahan tersebut menju masyarakat madani.

Sedangkan, pengambil kebijakan yang bebal dimaksud di sini adalah mereka yang dalam setiap pengambilan keputusannya berdasarkan egoisme diri dan kelompok terdekatnya semata. Nepotisme merupakan sifat utama dalam diri pengambil keputusan yang bebal. Tipe pengambil keputusan jenis ini tiada lain adalah pemimpin yang otoriter. Masyarakat hanya dijadikan obyek semata. Akibat dari keputusan-keputusannya, masyarakat berjalan di tempat. Konflik pun tak terhindarkan di tengah masyarakat. Alhasil, struktur dan kultur masyarakat menjadi hancur.

Dalam pembahasan lebih lanjut akan ditunjukkan bahwa ke arah mana para pengambil kebijakan membawa perubahan, dari perspektif komunikasi, tergantung pada cara para pengambil kebijakan dalam berkomunikasi dengan masyarakatnya. Akan tampak nanti bahwa komunikasi merupakan kunci bagi para pengambil kebijakan selaku pemimpin dalam mengembangkan masyarakat. Namun sebelum itu, ada baiknya kita pahami sedikit-banyak mengenai pengembangan masyarakat itu sendiri.

 

PENGEMBANGAN MASYARAKAT, ANTARA KONVENSI DAN INTERVENSI

Sudah menjadi aksioma bahwa masyarakat selalu berada dalam perubahan. Untuk yang satu ini, dalilnya yang terkenal adalah: “tak ada yang tetap kecuali perubahan.” Bahwasanya masyarakat, secara konvensional akan terus berubah. Adapun intervensi tampaknya hanyalah mempercepat perubahan itu sendiri.

Begitu realistisnya fakta perkembangan masyarakat itu, secara konvensi ataupun melalui intervensi, telah membuat para ahli berbeda pendapat dalam merekonstruksikan perkembangan masyarakat ini. Menariknya, kelima tokoh (lihat Tabel 3) memiliki kesamaan bahwa perkembangan masyarakat selalu melalui tiga tahapan. 

 

Tabel 3  Perkembangan Masyarakat Menurut Tokoh

Nama Tokoh

Tahap 1

Tahap 2

Tahap 3

August Comte

Mitos

Metafisik

Positivis

van Peursen

Mitis

Ontologis

Fungsional

Dissanayake

Pertanian

Industri

Informasi

Alvin Toffler

Otot

Modal

Informasi

Ziauddin Sardar

Sejarah

Kesadaran

Umran

Sumber: Ibnu Hamad: diolah dari berbagai sumber

 

Tampak dalam Tabel 3 ini, ada tiga kelompok pandangan mengenai perkembangan masyarakat. Comte dan van Peursen lebih melihat perkembangan masyarakat dari cara berpikirnya (tentu saja akhirnya mempengaruhi cara kerja). Bahwasanya cara berpikir masyarakat berubah dari semula percaya pada hal yang berbau mitos (takhayul) kepada cara berpikir metafisis berdasarkan keyakinan pada kekuatan ilahiyah sebelum akhirnya berpikir secara positivis: bahwa yang dialami itulah yang diyakini.

Sedangkan Dissanayake dan Toffler lebih melihat perkembangan masyarakat dari cara bekerjanya (tentu saja sangat dipengaruhi oleh cara berpikirnya) dalam memperoleh sumber penghidupan/pendapatan. Bahwasanya cara masyarakat memperoleh pendapatan berubah dari semula dengan cara bertani  kemudian mendapatkannya dari kegiatan industri akhirnya dari kegiatan di dunia informasi.

Adapun Sardar lebih melihat perkembangan masyarakat dari cara membangun peradabannya (tentu saja tak terlepas daru cara berpikir dan cara kerjanya). Bahwasanya setiap masyarakat memiliki sejarahnya sendiri. Jika memiliki kesadaran atas kondisi kesejarahannya niscaya akan membangun peradabannya (umran) berdasarkan modal kesejarahannya itu. Sardar menempatkan perkembangan masyarakat dalam secara hostorikal.

Yang paling penting, perlu diingat bahwa perkembangan masyarakat tersebut disertai dengan cara mereka menghadapi kehidupannya. Setiap perkembangan diikuti dengan teknologi–baik hardware maupun software—yang berbeda. Dalam Tabel 4, kita dapat melihat “isi” dari setiap perkembangan masyarakat itu.

 

Tabel 4 Ciri-ciri dari tiga tahap perkembangan masyarakat

No.

Kategori perubahan

Masyarakat Pertanian

Masyarakat Industri

Masyarakat Informasi

1.

Produk

Makanan

Barang

Informasi

2.

Faktor produksi

Tanah

Modal (uang)

Keahlian

3.

Tempat produksi

Rumah

Pabrik

Utilitas informasi

4.

Aktor

Petani/artis

Pekerja pabrik

Teknisi

5.

Sifat teknologi

Perkakas

Tenaga

Teknologi informasi

6.

Metodologi

Trial and error

Eksperimen

Teori/simulasi

7.

Faktor petunjuk

Tradisi

Pertumbuhan ekonomi

Kodifikasi pengetahuan

8.

Syarat keberhasilan

Bicara

Melek baca dan tulis

Melek visual/ komputer

9.

Aturan yang dipakai

Hirarkis/ otoriter

Demokrasi representasi

Demokrasi partisipatif

10.

Prinsip kesatuan

Regionalisme

Nasionalisme

Globalisme

 Sumber: Dissanayake (1983) dalam Nasution (1989)

 

Dalam Tabel 4 ini tampak bahwa faktor teknologi informasi komunikasi (information technology communication—ICT) memegang peranan penting dalam perkembangan masyarakat. Dunia hampir sepakat bahwa semakin mutakhir zaman, semakin besar peranan ICT dalam setiap aspek kehidupan masyarakat sehingga semakin banyak masyarakat yang menjadi bagian dari masyarakat informasi. Bahkan kehidupan pribadi kita, kini banyak ditentukan oleh ICT.

Kenyataannya dewasa ini, baik pertanian maupun industri memerlukan topangan ICT. Kegiatan pertanian yang berbasiskan industri atau populer disebut agro-industri membutuhkan ICT untuk mengoperasikannya, sejak dari penentuan masa tanam, pemilihan bibit, pemeliharaan lahan dan tanaman, pemanenan, pasca-panen, penjualan, hingga pasca-penjualan. Apalagi industri. Hampir tak ada industri yang melepaskan diri dari campur-tangan ICT, mulai dari pra-produksi, produksi, pencarian dan perluasan pasar, promosi dan pemasaran, penjualan, hingga pasca-penjualan. Industri yang tidak ditopang oleh ICT dewasa ini akan collapse.

Untuk diketahui, arti dari masyarakat pertanian adalah masyarakat yang sebagian besar anggotanya memperoleh pendapatan dari bidang pertanian. Masyarakat industri adalah masyarakat yang sebagian besar anggotanya memperoleh pendapatan dari kegiatan industri. Sedangkan masyarakat informasi adalah masyarakat yang sebagian besar anggotanya memperoleh pendapatan dari sektor informasi, baik dalam pengumpulan, pengolahan, diseminasi, maupun dalam pemantuan dan evaluasi dari penyebaran informasi.

Yang sering jadi pertanyaan: benarkah masyarakat pertanian akan ditinggal sama sekali sehingga manusia menjadi masyarakat informasi? Betulkah masyarakat informasi selalu berorientasi pada ICT yang modern, serba komputer, dan harus tersambung dengan jaringan internasional (internet), akan melupakan sektor pertanian dan industri?

                Kiranya jawabannya sudah pasti: tidak. Yang akan terjadi adalah konvergensi antara ketiganya. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat mengikuti tahapannya hingga tahapannya yang ketiga (apapun sebutannya), bahkan mungkin yang keempat, ketiga bidang tersebut–pertanian, industri dan informasi—akan saling menopang. Pertanian diperlukan guna memasok bahan mentah dan bahan baku industri. Mesin dan manual sebagai elemen dasar teknologi diperlukan guna mendukung pertanian dan informasi yang efisien dan efektif, produktif dan higienis, massif namun pro-lingkungan. Manajemen informasi diperlukan agar pertanian dan teknologi agar user friendly.

                Justru dalam situasi demikian itulah, intervensi para pengambil kebijakan (jika memang berniat melakukan intervensi) diperlukan guna memberi corak dan arah yang produktif lagi positif untuk perkembangan masyarakatnya. Para pengambil kebijakan selaku pemimpin harus mampu memadukan antara ketiga elemen pertanian, industri, dan informasi dalam rangka mengembangkan masyarakatnya ke arah yang lebih maju. Apalagi untuk konteks masyarakat Indonesia kemampuan memadukan ketiga unsur tersebut amatlah diperlukan mengingat di Indonesia hidup dan berkembang ketiga jenis masyarakat tersebut: masyarakat pertanian (sebagian besar lapisan masyarakat termasuk di sini masyarakat primitif), masyarakat industri (semakin besar lapisannya), dan masyarakat informasi (mulai membesar lapisannya).

                Jika dan hanya jika para pengambil kebijakan mampu mengambil keputusan yang tepat dengan karakter sebagian besar masyarakatnya, maka intervensi pengembangan masyarakat akan berhasil dengan baik. Banyak kasus penetapan kebijakan yang gagal memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu contohnya adalah pembentukan Koperasi Unit Desa (KUD). Oleh  karena kabijakannya bersifat top down, membuat kebijakan ini gagal membuktikan diri sebagai konsep yang bagus.

 

 

KOMUNIKASI SEBAGAI ALAT INTERVENSI

Dari sudut pandang komunikasi, perkembangan masyarakat itu terjadi karena faktor komunikasi. Oleh karena masuknya informasi kepada suatu kelompok masyarakat (baca, komunitas), maka komunitas itu berkembang. Dengan informasi yang dimilikinya, setidaknya para anggota komunitas itu berpikir untuk mengembangkan diri.  Syukur-syukur jika setelah itu mereka membuat rencana dan melakukan tindakan untuk merubah dirinya dan kelompoknya.

Sebaliknya, mana mungkin sebuah komunitas akan berubah jika tiada ada informasi yang masuk kedalamnya. Tanpa informasi yang dimilikinya, berpikir untuk mengembangkan diri saja mereka tidak mungkin. Apalagi sampai mereka membangun rencana dan melakukan tindakan untuk merubah dirinya dan kelompoknya.

Memang tak selamanya perkembangan itu terjadi akibat adanya intervensi. Boleh jadi perkembangan itu bermula dari kesadaran internal para anggota komunitas tersebut. Suatu waktu di antara para anggota komunitas ada satu dan dua orang yang memperoleh pencerahan diri, setelah mengakses informasi secara sukarela, lalu menemukan arti pentingnya kemudian menyebarkannya kepada para anggota komunitasnya untuk medorong perubahan. Itulah mereka yang sering disebut inner agent of change.

Tetapi pengambil kebijakan selaku pemimpin dalam pengertian sebagai external agent of change kerapkali diperlukan mengingat biasanya komunitas sukar berubah tanpa intervensi pihak luar. Para pengambil kebijakan ini dapat memasukkan informasi yang dianggap perlu untuk pengembangan masyarakatnya. Selaku agen perubahan, pengambil kebijakan bukan saja secara memilih informasi yang mampu memberi corak dan arah perkembangan masyarakatnya; melainkan mengajak komunitasnya itu berdiskusi dan mengajak mereka terlibat dalam proses pengambil kebijakan serta dalam pelaksanan dan pengawasannya.

Jika komunikasi dapat dijadikan alat intervensi pengembangan masyarakat oleh para pemimpin (para pengambil kebijakan), pertanyaannya adalah fungsi-fungsi komunikasi apakah yang bisa digunakan? Untuk ini kita dapat belajar dari buku The Leader as Communicator karya Mai dan Akerson (2003). Sekalipun buku ini mengambil konteks manajemen, tetapi saya kita kisi-kisinya tentang fungsi komunikasi kepemimpinan bisa juga diterapkan untuk konteks komunitas.

Mengacu pada buku ini, terdapat tiga isu utama dalam komunikasi kepemimpinan dalam rangka mengembangkan komunitasnya, yaitu:

a)      Komunikasi yang dilakukan pemimpin (pengambil kebijakan)  harus terkait dengan komitmennya pada kehidupan komunitas dan tujuannya

b)     Dalam melaksanakan komunikasi, pemimpin harus sadar dan memahami tujuan dan prioritas kehidupan komunikasi.

c)      Pemimpin harus mau dan mampu membantu komunitas mencapai kehidupannya yang paling baik.

Berdasarkan ketiga prinsip dasar di atas, secara garis besar, Mai dan Akerson menunjukkan tiga fungsi utama komunikasi bagi pemimpin selaku untuk memberi corak dan arah masyarakat yang dipimpinnya. Ketiga fungsi itu adalah:

(1)    Komunikasi berfungsi untuk menyatukan komunitas. Di sini pemimpin bertindak selalu pembina masyarakat (The Leader as Community Developer)

(2)    Komunikasi berguna untuk menunjukkan jalan bagi komunitasnya. Dalam kaitan ini pemimpin melaksanakan fungsi sebagai penunjuk jalan (The Leader as Navigator)

(3)    Komunikasi dimanfaatkan untuk memperbaharui tujuan-tujuan sosial. Selaku pemimpin, ia tak puas dengan statusquo, selalu berupaya menemukan tantangan baru (The Leader as Renewal Champion).

Selanjutnya, Mai dan Akerson menguraikan berbagai peran pemimpin dalam melaksanakan komunikasi kepemimpinannya untuk masing-masing fungsi utama itu. Untuk fungsi pemimpin selalu pembina masyarakat (The Leader as Community Developer), terdapat peran:

Ø  Meaning Maker, pemimpin sebagai pembuat makna. Melalui penyampaian pesan-pesannya, pemimpin menghadirkan makna yang relevan lagi konstruktif untuk komunitasnya. Misalnya, dengan mengatakan bahwa komunitasnya adalah komunitas yang pantang menyerah!

Ø  Story Teller, pemimpin sebagai tukang cerita. Sudah pasti bukan sekadar cerita, tetapi cerita yang membangun perasaan kebersamaan dalam komunitasnya. Boleh jadi cerita heroik.

Ø  Trust Builder, pemimpin sebagai pembangun saling kepercayaan. Melalui proses komunikasinya, pemimpin menciptakan rasa saling percaya diantara para anggota komunitas. Semua dilakukan demi soliditas komunitas.

Ketika pemimpin melaksanakan komunikasi tugas sebagai penunjuk jalan (The Leader as Navigator) terdapat peran:

Ø  Direction Setter. Sebagai pengatur arah, komunikasi yang dilakukan hendaknya mampu menunjukkan arah mau dibawa kemana komunitas yang dipimpinnya. Mungkin ia berkata, kita semua ingin jadi masyarakat yang maju dan modern.

Ø  Transition Pilot. Sebagai juru mudi yang mengantarkan komunitas ke tujuannya, pemimpin mampu menyampaikan pesan kepada komunitasnya bahwa mereka sedang bereada dimana dan berapa lama lagi akan sampai tujuan!

Ø  Linking Agent. Sebagai agen yang menghubungan dengan pihak-pihak terkait, pemimpin berkomunikasi dengan pihak terkait itu untuk menyambungkan komunitasnya dengan berbagai pihak yang diperlukan untuk kemajuan komunitas.

Untuk pemimpin yang selalu berupaya menemukan tantangan baru (The Leader as Renewal Champion) terdapat peran:

Ø  Critic. Pemimpin yang baik ternyata tak cepat puas dengan prestasi yang telah diperolehnya. Ia mengajak komunitasnya untuk mengkritisi apa yang telah dicapainya.

Ø  Provocateur. Untuk kebaikan dan kemajuan, pemimpin pada waktunya yang tepat diperlukan untuk menjadi provokator bagi timbulnya ide-ide brilian dari komunitasnya. 

Ø  Learning Advocate. Tetapi pemimpin yang arif juga bukan sekadar pandai menciptakan diskusi publik; tetapi memberi pemberdayaan bagi publiknya untuk kemajuan dan kebaikan.

 

 

 

 

KESIMPULAN

Mengacu pada uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan, pertama, dari perspektif komunikasi pengembangan masyarakat itu bisa dilakukan dengan kata-kata, bukan dengan senjata. Melalui tulisan-tulisannya, ucapan-ucapannya dan pesan-pesan non-verbalnya, pemimpin dapat mempengaruhi corak dan arah masyarakat yang dipimpinnya. Melalui komunikasi yang telah dilakukannya, kepemimpinan seseorang bisa dilacak jejak apa saja yang  sudah, sedang, bahkan yang akan dilakukannya dalam rangka pengembangan masyarakatnya.

Kedua, terkait dengan kesimpulan yang pertama itu, komunikasi merupakan fungsi yang mesti selalu melekat pada para pemimpin. Pemimpin harus bisa berkomunikasi untuk menyampaikan gagasannya, menggali aspirasi masyarakat kemudian mengolahnya serta menuangkannya kedalam suatu kebijakan, bahkan melalui komunikasi pemimpin mesti mampu membangunan dinamika di tengah komunitasnya.

Ketiga, sebagai implikasinya pemimpin mesti pandai berkomunikasi dengan masyarakatnya, dalam berbagai peran sesuai waktu dan tempatnya. Kalau bisa secara lisan, maka bisa melalui tulisan. Jika tak sempat kedua-duanya, bisa mengangkat juru-bicara. Oleh sebab komunikasi merupakan hal yang sangat esensial untuk menghubungkan pemimpin dengan masyarakat yang dipimpinnya, maka jangan harap ada keterhubungan di antara keduanya jika tidak ada komunikasi. Yang pasti pula, masyarakatlah yang amat dirugikan jika pemimpinnya tidak mau berkomunikasi. Tingkat perkembangan masyarakat akan terganggu jika pemimpinnya tidak mau berkomunikasi dengan masyarakat yang dipimpinnya.

Sebagai catatan, tentu saja komunikasi bukan satu-satunya alat yang mesti digunakan oleh pemimpin untuk pengembangan masyarakat. Lagi pula, jika komunikasi digunakan sebagai alat intervensi untuk pengembangan masyarakat ke arah maju, maka dalam komunikasinya ada kesesuaian antara kata dan perbuatan dari sang pemimpin tersebut.

 

DAFTAR PUSTAKA

Mai R,  Akerson A. 2003. The Leader as Communicator. New York: AMACOM.

Nasution Z. 2002. Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya.   Jakarta: Rajawali Pers.

 


 

STRATEGI  MENINGKATKAN KEBERDAYAAN

KELUARGA MISKIN PEDESAAN

 

Ramli Toha[2] dan Amiruddin Saleh[3]

 

ABSTRACT

Poor rural families were part of rural society which need to improved was resources, in order  that they could  efford to run family function, had creativity in economy, social, physicology and sociology, that kind of creativity, poor families hopefully could build harmonies in their life. These research had correlation descriptive character which purposes; (a) analyzing factors that cause poverty, (b) analyzing characteristic  of poor families from social economy aspect, physical characteristic, physicology characteristic and sociology characteristic (c) knowing and analyzing dependability pattern of triggering factors and characteristic of poor families in promoting capability of poor families (c) building strategies to promote capability of poor families according to trigger factor and characteristic of rural poor families.  Research result showed internal environment and external factors which influenced capability of poor families in rural area. Trigger factor that emerge poor families were, poverty was already inherit by their elderly, because their elderly didn’t  have wide farmland, low education background (they didn’t pass the elementary school in average), didn’t have other skills beside farming. There were obvious correlation among social economy, social capital, local intelegence and   capability of poor families. According to data and information that acquired from the research. Therefore strategic concept was made and pointed, empowering competence of personal implementer of government program in subdistrict level empowering poor families competence, promoting poor families participation in government  and private programs that operation in rural area. Build poor families network  with business world in marketing their farm product and giving them facilitation to get capital, seeds and tools that according to compete development that given to poor peoples.

 

Key words: capability, poor families

 

PENDAHULUAN

Latar belakang

 Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat dapat menjadi ujung tombak ekonomi,  kondisi keberdayaannya   dapat mempengaruhi  keluarga yang lebih besar (kerabat) hingga pembentukan perkumpulan yang bersifat ekonomi lainnya. Sebaliknya  kalau keluarga terpuruk menjadi keluarga miskin  tidak segera ditangani maka ia  akan makin terpuruk.  Keluarga miskin biasanya mempunyai aset yang sangat terbatas, tidak mempunyai keterampilan dan cenderung  pasrah kalau menghadapi masalah.  Keluarga miskin seperti ini sangat rapuh dan makin terpuruk apabila kepala keluarga  pencari nafkah meninggal, sakit, terkena pemutusan hubungan kerja, terkena bencana alam  dan atau  konflik sosial lainnya. 

Modal  sosial masyarakat Indonesia cukup beragam dan  dapat dijadikan pilihan atau alternatif dalam penanganan permasalahan kesejahteraan sosial khususnya keluarga miskin  di pedesaan.  Putnam (1993) menunjukkan bukti bahwa pertumbuhan ekonomi sangat berkorelasi dengan kehadiran modal sosial. Pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat akan baik apabila ciri-ciri berikut ini dimiliki oleh masyarakat: (1) hadirnya hubungan yang erat antar anggota masyarakatnya; (2) adanya para pemimpin yang jujur dan egaliter yang memperlakukan dirinya sebagai bagian dari masyarakat bukan sebagai penguasa. Adanya saling percaya dan kerjasama di antara unsur masyarakat.

                Modal sosial memungkinkan manusia bekerjasama untuk menghasilkan sesuatu yang besar. Akumulasi pengetahuan akan berjalan lebih cepat melalui interaksi antar manusia.  Hal tersebut menjadi kekuatan organisasi, karena dia menciptakan berbagai inovasi.   Individu yang memiliki modal sosial yang tinggi ternyata lebih maju dalam karir jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki modal sosial rendah.  Kompensasi yang diperoleh pekerja juga dipengaruhi oleh modal sosial yang dimilikinya (Burn 1997).  Demikian pula suksesnya seseorang didalam memperoleh pekerjaan juga dipengaruhi oleh modal sosial yang dimilikinya (Lin & Dumin 1996).

Berdasarkan buku Kabupaten Lahat dalam Angka yang dikeluarkan Bappeda Kabupaten Lahat (2008), Kabupaten Lahat terdiri dari 21 kecamatan dan  365 desa/ kelurahan.  Jumlah penduduk 540.217 jiwa terdiri dari 370.217 laki-laki dan 370.000 orang perempuan. Jumlah penduduk tersebut  menurut data dari  Dinas Sosial Kabupaten Lahat (2009) terdapat permasalahan kesejahteraan sosial  keluarga miskin sebanyak 2.084  kepala keluarga atau lebih kurang 10.420 jiwa (1,92%). 

Data sementara di lapangan diperoleh gambaran bahwa keluarga miskin di pedesaan tertinggal di Kabupaten Lahat belum banyak disentuh oleh program  pemerintah baik pusat maupun daerah.  Pranata sosial lokal  juga belum berbuat untuk menangani keluarga miskin. Yayasan sosial pada tingkat kecamatan,  kecenderungan masih menangani anak yatim piatu. Dalam lingkup masyarakat  secara tradisional keluarga miskin masih terbatas ditangani oleh kerabat terdekat, seperti paman, kakek, kakak atau keluarga terdekat lainnya (extended family). Masyarakat dalam sistem sosial yang luas belum ikut menangani keluarga miskin.

Kondisi di atas memperlihatkan bahwa penanganan keluarga miskin yang terbatas oleh kerabat belum dapat menyelesaikan masalah. Hal ini disebabkan, jika  dalam kerabat tersebut semua tergolong keluarga miskin, maka keluarga miskin tersebut tidak akan mendapat bantuan secara optimal dari kerabatnya. Di lain pihak banyak anggota masyarakat di desa yang secara ekonomi dan latar belakang pendidikan cukup baik, namun belum menunjukkan kepedulian terhadap keluarga miskin  yang ada di wilayahnya.

 

Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan sosial keluarga miskin  pedesaan Kabupaten Lahat di atas, maka dirumuskan  masalah  penelitian  sebagai  berikut:

1.      Apa faktor penyebab keluarga miskin di pedesaan?

2.      Bagaimana hubungan karakteristik keluarga miskin, modal sosial, kearifan lokal, intervensi ekternal dan internal dengan keberdayaan keluarga miskin pedesaan?

3.      Bagaimana hubungan ciri keluarga miskin pedesaan  dengan  keberdayaan keluarga  miskin pedesaan?

4.      Strategi seperti apa yang tepat untuk meningkatkan keberdayaan  keluarga miskin pedesaan?

 

 

 

Tujuan  Penelitian

Berkaitan dengan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk:

1.       mengidentifikasi faktor penyebab timbulnya keluarga miskin di pedesaan.

2.       menganalisis  hubungan karakteristik keluarga miskin, modal sosial, kearifan lokal, intervensi internal dan eksternal penanganan keluarga miskin  dengan keberdayaan keluarga miskin pedesaan.

3.       menganalisis hubungan ciri keluarga miskin dengan keberdayaan keluarga miskin.

4.       menyusun strategi meningkatkan keberdayaan keluarga miskin pedesaan.

 

Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang dicapai, hasil-hasil penelitian ini tentunya mampu memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait, yakni:

1.       Secara akademis dapat menghasilkan  pengetahuan  baru yaitu hubungan kebudayaan kemiskinan dengan tingkat partisipasi  masyarakat.

2.       Secara praktis dapat memberikan sumbangan atau masukan bagi pemerintah  untuk menyusun strategi meningkatkan partisipasi masyarakat, dunia usaha dalam penanganan  keluarga miskin, dan sebagai acuan bagi organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat dan pemerhati permasalahan sosial dalam melaksanakan intervensi pemecahan masalah kemiskinan.

 

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian pekerja anak dari keluarga miskin, yang dilakukan Marwanti (2008) menunjukkan bahwa upah yang didapatkan anak berkisar Rp 150.000-       Rp 300.000 per minggu. Besar-kecilnya upah sangat tergantung  dari borongan pekerjaan yang ada. Upah tersebut  sebagian diberikan kepada orang tua dan dipakai sendiri untuk makan, jajan dan ditabung.  Keluarga responden penelitian termasuk keluarga luas dalam arti keluarga tidak hanya terbatas pada ayah, ibu dan anak saja, melainkan kakek, nenek, cucu, menantu tinggal bersama dalam  satu rumah. Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan  pekerja anak  menjadi tumpuan keluarganya dalam menopang kebutuhan hidup keluarga.  Orang tua pekerja anak lebih banyak bekerja serabutan seperti membuat kantong kertas, kaos, topi dan bendera. Penghasilan dari pekerjaan tersebut sangat tergantung dari pesanan, kalau lagi tidak ada pesanan berarti menganggur.

 

Kemiskinan

Dalam pandangan teori budaya miskin, menurut Lewis (1966), kemiskinan itu cenderung kekal karena diwariskan dari generasi ke generasi dalam suatu sistem sosial yang mereka warisi bersama.  Pandangan ini mendapat dukungan seperti yang dibicarakan Lipton (1976) bahwa kemiskinan absolut itu disebabkan oleh dua faktor yaitu pertama faktor genetik yaitu kemiskinan yang telah ada yang terus diwarisi sejak mereka lahir disebabkan kondisi keluarga mereka miskin, kedua kondisi lingkungan sosial yang nyata dan mengekali nilai atau kebiasaan yang diamalkan orang miskin juga telah menyumbang kepada kemiskinan secara budaya.

  Lewis (1966) menyatakan sekurang-kurangnya ada lima kondisi yang menyebabkan kekalnya budaya miskin.  Budaya miskin lahir dalam masyarakat  karena: (1) mengamalkan sistem ekonomi tunai, upah kerja dan produksi untuk tujuan keuntungan; (2) tingginya angka pengangguran dan pekerja tanpa skill; (3) tingkat upah yang sangat rendah; (4) berlakunya kegagalan sistem sosial, politik dan ekonomi dalam membantu masyarakat berpendapatan rendah; (5) adanya suatu sistem nilai yang diamalkan dalam kelas dominan yaitu kelompok kaya sebagai pengaruh kelas lainnya.

Secara ekonomi, kemiskinan didefinisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.  Sumber daya yang dimaksudkan di sini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.

Berdasarkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber daya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line).  Badan Pusat Statistik (2006) menyebutkan garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara  2.100 kalori perorang perhari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi, aneka barang dan jasa lainnya.

 

Keluarga

Murdock (1965) menjelaskan bahwa keluarga sebagai suatu kelompok manusia yang hidup bersama, yang terbentuk karena ikatan perkawinan, darah dan adopsi.  Dalam melaksanakan hidup berumahtangga, mesti didasari oleh saling menghargai, saling menghormati setiap peran anggotanya, sehingga dapat memelihara dan menciptakan budaya bagi kemanusiaan. Keluarga dapat dibedakan antara keluarga inti (nuclear family) dan keluarga besar (extended family).

Perkembangan bentuk keluarga,  menurut Dubois (1992) meliputi antara lain: (1) Keluarga campuran yaitu keluarga yang menikah setelah masing-masing pasangan atau salah satu pasangan bercerai. Mereka menikah dengan membawa anak dari hasil pernikahan sebelumnya; (2) Keluarga orang tua tunggal, yaitu keluarga yang hanya memiliki satu orangtua. Mereka biasanya terdiri dari seorang ayah atau seorang ibu saja.  Bentuk keluarga ini biasanya terjadi karena  adanya perceraian, salah satu pasangan meninggal dunia, atau orangtua yang memiliki anak  di luar pernikahan dan memutuskan untuk membesarkan anaknya sendiri; (3) Keluarga multi generasi, yaitu keluarga yang terdiri dari beberapa generasi yang tinggal dalam satu rumah tangga. Dalam keluarga tersebut ada kakek atau nenek, sampai cucu atau buyut.

 

Pemberdayaan

Menurut   Horton  (1987),  pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi sosial, dan transformasi budaya.  Proses ini pada akhirnya, dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Salah satu agenda  internasional Bank Dunia misalnya  percaya bahwa partisipasi masyarakat di dunia ketiga merupakan sarana yang efektif untuk menjangkau masyarakat miskin melalui upaya  pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri sendiri.  Cara terbaik untuk mengatasi masalah pembangunan adalah membiarkan semangat wiraswasta tumbuh dalam kehidupan masyarakat, mendorong masyarakat berani bersaing, berani mengambil resiko, menumbuhkan semangat untuk  menemukan hal-hal baru (inovasi) melalui partisipasi masyarakat.

 

Masyarakat Pedesaan

Desa adalah satu daerah hukum yang ada sejak beberapa keturunan dan mempunyai ikatan sosial yang hidup serta tinggal menetap di suatu daerah tertentu, dengan adat-istiadat yang dijadikan landasan hukum dan mempunyai seorang pimpinan formal yaitu kepala desa.  Kalau kita soroti secara umum, masyarakat yang berdiam di daerah pedesaan seringkali dianalogikan dengan berbagai stigma seperti tidak berpendidikan, terisolasi secara fisik dan mental, sederhana dalam cara hidup, tidak sehat,  jauh dari kemajuan, kolot dan sebagainya.  Anggapan seperti itu tidak selalu benar, karena dalam kenyataan sehari-hari kita lihat masyarakat di desa berjuang menapaki tangga kehidupan dengan cara mereka masing-masing.

 

Modal Sosial

Woolcock  (2001) mengklasifikasikan  modal sosial menjadi empat tipe utama,  yaitu:  (1) tipe ikatan solidaritas (bounder  solidarity), dimana modal sosial menciptakan mekanisme keterpaduan  kelompok dalam  situasi yang merugikan kelompok,  (2) tipe pertukaran  timbal-balik (reciprocity transaction), yaitu aturan yang melahirkan pertukaran antara pelaku, (3)  tipe nilai luhur (value introjection), yakni gagasan dan nilai, moral yang luhur dan komitmen melalui hubungan-hubungan kontraktual dan menyampaikan tujuan-tujuan individu dibalik tujuan instrumental dan (4) tipe membina kepercayaan (enforceable trust),  bahwa institusi formal  dan kelompok-kelompok partikelir menggunakan mekanisme yang berbeda untuk menjamin pemenuhan keperluan berasaskan kesepakatan terdahulu dengan menggunakan mekanisme rasional.

 

Kearifan Lokal

Menurut Ife (Sonarso et al. 2005), kearifan lokal adalah kematangan masyarakat di tingkat komunitas lokal  yang tercermin dalam sikap, perilaku dan cara pandang masyarakat  yang kondusif di dalam pengembangan potensi dan sumber lokal baik material maupun non-material yang dapat dijadikan kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik atau positif. Kearifan lokal  meliputi pengetahuan lokal, budaya lokal, keterampilan lokal, sumber lokal dan proses sosial lokal.

 

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

Kerangka  Berpikir

Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan seseorang, keluarga, kelompok, masyarakat untuk memenuhi kebutuhan fisik (pangan, sandang, papan) dan non-fisik (kesehatan, pendidikan, rasa aman). Penanganan kemiskinan tidak mungkin hanya ditangani oleh pemerintah, juga perlu melibatkan masyarakat dan pihak swasta termasuk dunia usaha. Permasalahan kemiskinan adalah menyangkut kegagalan pemenuhan hak-hak dasar seperti terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu pelayanan kesehatan,  terbatasnya akses dan mutu layanan pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya akses  layanan perumahan, terbatasnya akses air bersih, sanitasi dan rasa aman, lemahnya kepastian penguasaan dan pemilikan tanah dan  lemahnya partisipasi masyarakat. Di samping itu,  kemiskinan disebabkan lemahnya penanganan masalah kependudukan, ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, kesenjangan antar daerah dan lain-lain.

Untuk mengatasi kemiskinan tersebut diperlukan kemampuan pemerintah untuk membangun kerjasama dengan pihak swasta dalam hal ini pihak dunia usaha, masyarakat  dan negara lain yang telah berhasil dalam upaya penanganan kemiskinan, sehingga hak-hak dasar seperti di atas dapat terpenuhi. Sesuatu yang tidak kalah penting dalam penanganan kemiskinan adalah  memperluas partisipasi masyarakat, sehingga  modal sosial dan kearifan lokal masyarakat mampu menyokong penanganan kemiskinan. Kemiskinan keluarga ditandai oleh ciri fisik, psikologis dan ciri sosiologis.

Modal sosial yang berkembang dengan kuat dalam suatu masyarakat dapat menjadi alternatif bagi masyarakat dalam mengatasi permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat termasuk dalam penanganan kemiskinan.  Dalam arti bahwa jaringan kerja yang terkandung dalam modal sosial dapat dimanfaatkan untuk pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Masyarakat yang mempunyai modal sosial yang tinggi akan mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi, sebaliknya masyarakat yang memiliki modal sosial rendah mempunyai kemampuan yang rendah dalam mengatasi persoalan di lingkungannya. Aksi sosial  individu, keluarga, masyarakat  dengan mematuhi norma, jaringan kerja akan makin mendorong peningkatan kerjasama dalam masyarakat.

Kemiskinan pada hakekatnya tidak lepas dari kebodohan atau keterbelakangan suatu komunitas, baik di bidang pendidikan maupun kondisi sosial budaya masyarakat.  Hal ini berarti bahwa, bila penanganan kemiskinan hanya dipusatkan pada satu aspek saja, maka hasilnya tidak akan memuaskan. Misalnya penanggulangan kemiskinan yang hanya difokuskan pada bidang pendidikan, atau dengan cara memberikan dana yang melimpah, tidak akan menghasilkan output yang optimal. Oleh karena itu,  pendekatan penanganan kemiskinan hendaknya dilaksanakan secara interdisipliner yaitu menyangkut bagaimana mengadakan perubahan sikap, peningkatan pengetahuan dan peningkatan keterampilan individu, kelompok maupun masyarakat.

Kerangka operasional, seperti tersaji pada Gambar 1 menunjukkan keterkaitan peubah independen yaitu peubah karakteristik wilayah, modal sosial, kearifan lokal dan intervensi penanganan keluarga miskin yang dilaksanakan masyarakat, organisasi sosial/lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah dengan peubah antara berupa ciri keluarga miskin (ciri sosial ekonomi, fisik, psikologis dan ciri sosiologis) dan peubah dependen yang dalam hal ini adalah keberdayaan keluarga miskin di pedesaan.  Untuk mengajukan masukan analisis hubungan peubah independen, peubah antara dan peubah dependen, maka dilanjutkan penggalian problem solving dengan instrumen Nominal Group Technique (NGT). Hasil NGT tersebut dijadikan dasar dalam menyusun strategi penanganan keluarga miskin pedesaan.


                PEUBAH BEBAS               PEUBAH ANTARA           PEUBAH TAK BEBAS

Y1     CIRI KELUARGA  MISKIN

Y1.1.  CIRI SOSIAL-

         EKONOMI

 

Y1.2.  CIRI FISIK

 

Y1.3.  CIRI PSIKOLOGI

 

Y1.4.  CIRI SOSIOLOGI

Y2    KEBERDAYAAN

          KELUARGA MISKIN

 

Y2.1.  MAMPU MENJALANKAN 

         FUNGSI KELUARGA

 

Y2.2.  MENINGKATKAN

          KREATIVITAS          (MOTIVASI)

 

Y2.3.  KEHARMONISAN     KELUARGA

 

KARAKTERISTIK  KLG MISKIN

 

X1.   LATAR BELAKANG PENDDKN

X2    PEKERJAAN KEG. KELUARGA

X3    PEMILIKAN LAHAN SAWAH

X4    PEMILIKAN LAHAN KOPI

X5   PEMILIKAN LAHAN KARET

X6   PEMILIKAN TERNAK

X7   KEMAMPUAN MEMENUHI KEBUTUHAN FISIK, SOSIAL, PSIKOLOGIS

KARAKTERISTIK WILAYAH

 

X8   TINGKAT ISOLASI

·    INFRASTRUKTUR

·    TRANSPORTASI

X9   TOPOGRAFI

·    DATAR

·    BERBUKIT

·    SUBUR

·    TANDUS

X10   MODAL SOSIAL

 

·    SOLIDARITAS SOSIAL

·    KEPERCAYAAN

·    NILAI  LUHUR

·    PERTUKARAN TIMBAL BALIK

X11  KEARIFAN LOKAL

·    KETERAMPILAN LOKAL

·    PENGETAHUAN LOKAL

·    NILAI-NILAI LOKAL

X12  INTERVENSI PENANGANAN  KELUARGA MISKIN

·    INTERNAL, EKSTERNAL

 

 

Gambar 1  Kerangka operasional hubungan antara peubah penelitian

 

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian kerangka berpikir di atas dan rumusan permasalahan penelitian, disusun hipotesa penelitian sebagai berikut:

1.      Karakteristik keluarga miskin mempunyai hubungan nyata dengan keberdayaan keluarga miskin.

2.      Modal sosial mempunyai hubungan nyata dengan  keberdayaan  keluarga miskin.

3.      Kearifan lokal  mempunyai hubungan nyata dengan  keberdayaan  keluarga miskin.

4.      Intervensi kerabat, masyarakat, pemerintah dalam penanganan keluarga miskin mempunyai hubungan nyata dengan keberdayaan keluarga miskin.

5.      Ciri keluarga miskin berhubungan nyata dengan keberdayaan keluarga miskin.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian didesain sebagai survei deskriptif korelasional dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Menurut Ismani (1988), penelitian deskriptif menggambarkan realita-realita sosial yang komplek sifatnya dalam relevansinya dengan aspek sosiologis, antropologis untuk mendapatkan justifikasi, perbandingan-perbandingan dan evaluasi.

Lokasi penelitian di Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan, dengan  sampel lokasi dua kecamatan  dan 12 desa.  Penentuan dua kecamatan tersebut di- dasarkan pada besarnya populasi keluarga miskin di dua kecamatan, yakni sebesar  528 kepala keluarga (25,34%) dari  populasi keluarga miskin di Kabupaten Lahat. Di samping itu  ditetapkan dua Kecamatan Mulak Ulu dan  Merapi Timur untuk mewakili dua suku besar. Kecamatan Mulak Ulu mewakili kondisi Suku Besemah dan Kecamatan Merapi Timur mewakili  Suku Lematang. Secara rinci lokasi penelitian disajikan  pada Tabel 1 berikut ini.

 

Tabel 1  Lokasi penelitian

No

Kecamatan Mulak Ulu

No.

Kecamatan Merapi Timur

1

Desa  Lesung Batu

  7

Desa Prabu Menang

2

Desa   Datar Balam

  8

Desa   Gunung Kembang

3

Desa    Mengkenang

  9

Desa  Gedung Agung

4

Desa    Sengkuang

10

Desa   Muara Lawai

5

Desa   Geramat

11

Desa    Tanjung Jambu

6

Desa    Lawang Agung

12

Desa    Tanjung Lontar

 

Menurut Ismani (1988), populasi adalah seluruh elemen yang menjadi obyek penelitian. Kesatuan-kesatuan elemen dalam populasi biasanya berupa orang, perusahaan, rumah tangga, kepemimpinan dan lain-lain. Sampel Menurut  Ismani (1988) secara letterleg adalah contoh, monster representantif atau wakil dari suatu populasi.  Responden penelitian terdiri dari  aparat kecamatan, aparat desa, tokoh masyarakat, tokah pemuda,  pada tingkat kecamatan dan desa. Masyarakat  dan keluarga miskin di desa.  Jumlah responden sebanyak  264  orang dengan rincian dari dua kecamatan lokasi penelitian, ditetapkan  12 desa, setiap desa diambil responden sebanyak 22 orang.

Data kuantitatif yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan: (1) analisis statistik deskriptif untuk menjelaskan data dan hasil pengamatan umum dalam bentuk frekuensi, prosentasi, mean, persentil, rataan skor dan tabulasi silang, dan (2) untuk menguji hipotesis penelitian, guna mengungkap hubungan antar peubah digunakan analisis statistik inferensial (Siegel 1997), berupa uji korelasi Tau-b Kendall.

 

HASIL PENELITIAN

Karakteristik responden keluarga miskin

Secara umum  latar belakang pendidikan responden  kepala keluarga  sangat rendah hal ini terlihat dalam pengelompokan yaitu tidak tamat SD 15,4 persen,  tamat SD dan tidak tamat SLTP 50 persen, tamat SLTP 34,6 persen. Dilihat dari  pekerjaan menunjukkan sebanyak 89,6 persen kepala keluarga miskin  menekuni satu pekerjaan  yaitu menjadi petani, petani penggarap dan petani buruh. Sebanyak 10 persen kepala keluarga keluarga yang menekuni pekerjaan lain selain bertani, yaitu menjadi buruh bangunan atau buruh tani, buruh perkebunan Sawit dan hanya satu orang (0,4%)  yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Dalam wawancara kepada buruh tani dan buruh pertambangan tipe C (penggalian  pasir dan batu), diperoleh gambaran  bahwa buruh tani di sawah dan buruh kebon kopi mendapat upah harian berkisar antara Rp 15.000,00 sampai dengan  Rp 20.000,00 perhari tanpa diberi makan oleh  pemilik sawah/kebon. Mereka membawa bekal sendiri. Jam kerja buruh tani mulai pukul  delapan pagi  sampai dengan pukul  16.00, dengan waktu istirahat pukul 12.00 sampai dengan pukul 13.30.  Waktu istirahat digunakan oleh para buruh untuk makan siang, sembahyang lohor, dan berbincang-bincang dengan  sesama buruh.  Buruh penambang pasir dan batu mendapat upah harian berkisar antara   Rp 20.000,00 sampai dengan Rp 25.000,00. Buruh tambang juga tidak mendapat bantuan makanan dari pemilik tambang, mereka membawa bekal dari rumah. Sedangkan buruh kebun sawit mendapat upah secara bulanan berkisar             Rp 500.000,00-Rp 600.000,00 setiap hari para buruh dijemput dengan truk. Penjemputan dimulai pukul delapan pagi dan pemulangan pada pukul 15.00 siang. Tugas para buruh di kebon sawit adalah  panen buah sawit, pembersihan kebon sawit termasuk  pemotongan  pelepah sawit yang sudah  mati, pemupukan  pohon sawit, pengangkatan buah sawit ke truk-truk yang telah disediakan.

Dalam hal pemilikan lahan  hampir semua responden keluarga miskin menyatakan memiliki  lahan yang sempit. Pemilikan lahan sawah sebanyak  161 responden (67%) menyatakan memiliki lahan sawah kurang dari 0,6 ha,  57 responden (23,8%) memiliki lahan 0,6 ha sampai dengan 1,3 ha dan  hanya 22 responden (9,2%) memiliki lahan sawah di atas 1,3 ha. Pemilikan lahan kopi sebanyak 202 responden  (84,2%) menyatakan memiliki lahan kurang dari 1,3 ha, 30 responden (12,5%) memiliki lahan 1,3 ha sampai dengan 2,7 ha dan hanya delapan responden (3,3%) memiliki lahan kopi  lebih dari 2,7 ha. Pemilikan lahan karet sebanyak 205 responden (85,4%) memiliki  kebon karet kurang dari dua ha. Sekitar 32 responden (13,3%) memiliki kebon karet dua hingga empat hektar dan hanya tiga responden yang menyatakan memiliki lahan karet lebih dari empat hektar. Untuk kecamatan Mulak Ulu, kebun karet rakyat belum berproduksi karena baru berumur kurang dari dua tahun.  Penanaman karet dilakukan masyarakat pada lahan kering  yang selama ini merupakan lahan tidur yang dipenuhi oleh  rumput dan alang-alang. Lahan pekarangan belum banyak dimanfaatkan secara optimal, tanaman pekarangan rumah masih didominasi oleh pohon ketela pohon, pohon cabe rawit dan pohon keladi. Tanaman pekarangan belum bersifat ekonomi dalam arti digunakan untuk peningkatan pendapatan, mereka hanya menanam sekedar untuk  mencukupi keperluan rumah tangga saja. Perikanan darat yang dikelola keluarga miskin di pedesaan juga belum beorientasi untuk  dijual, mereka yang mempunyai kolam ikan hanya digunakan untuk  keperluan keluarga seperti hajatan/syukuran.

Pemilikan ternak oleh keluarga miskin menunjukkan, bahwa sebanyak 97,9 persen responden memiliki ternak ayam kurang dari 45 ekor, 2,1 persen memiliki ternak ayam  45 ekor  sampai dengan 90 ekor dan hanya 0,4 persen memiliki ternak ayam lebih dari 90 ekor.

Dilihat dari pemenuhan kebutuhan perbulan menunjukkan, sekitar 77 persen responden mengeluarkan uang  Rp 186.720,167,00 per bulan atau                       Rp 2.240.642,00 per tahun dengan rata-rata tanggungan keluarga lima orang.  Sebanyak  19,2 persen responden menyatakan pengeluaran  pertahun  antara               Rp 2.240.645,00 sampai dengan Rp 4.343.538,00 dan hanya 3,8 persen  responden mempunyai pengeluaran lebih dari Rp 4.343.550,00.

 

Karakteristik wilayah

                Dilihat dari aspek tingkat  isolasi wilayah, sekitar 51,3 persen responden menyatakan kurang setuju kalau dikatakan desanya sukar dijangkau dari ibu kota kecamatan, karena mereka merasakan bahwa kendaraan umum sudah hampir setiap  hari  datang ke desa mereka, dan 115 responden (48,7%) menyatakan setuju dikatakan desanya masih sulit dijangkau dari ibu kota kecamatan. Hal ini cukup dimaklumi bahwa pada dua kecamatan lokasi penelitian ada desa yang masuk  12 km  dari jalan besar   seperti Desa Gramat, Desa  Sengkuang di Kecamatan Mulak Ulu letaknya  jauh dari jalan raya untuk masuk ke desa tersebut  perlu hati-hati karena di samping jalan menuju desa  masih berupa pasir dan batu, juga banyak lobang-lobang besar. Demikian juga Desa Nanjungan Kecamatan Merapi Timur lebih kurang 10 km dari jalan besar dan hanya  dua responden  yang menyatakan tidak setuju dikatakan desanya sulit di jangkau dari ibu kota kecamatan.

                Dalam hal  topografi   129 responden (53,8%) menyatakan setuju dan sangat setuju kalau dikatakan tanah di sekitar desanya cukup subur dan tanahnya berbukit, dan 109 responden (45,4%) menyatakan kurang setuju kalau dikatakan tanah di sekitarnya cukup subur dan berbukit. Hal ini dapat dipahami terutama responden dari Kecamatan Merapi Timur, karena  daerah tersebut merupakan dataran rendah dan banyak dilalui sungai-sungai kecil. Tanah cenderung mempunyai banyak batu dan pasir dan cocok untuk pertambangan galian type C.

               

Modal sosial

                Dari  aspek solidaritas   sebanyak  185 responden (77,1%) menyatakan  setuju dan sangat setuju apabila salah satu keluarga mendapat kesusahan atau mengadakan  syukuran, maka semua anggota masyarakat ikut membantu, bila dalam lingkungan masyarakat ada keluarga miskin, semua anggota masyarakat turut membantu dan jika salah satu anggota masyarakat membangun rumah maka banyak tetangga yang membantu. Namun 55 responden kurang setuju dengan pernyataan tersebut, karena mereka mengakui orang tidak mampu secara realita sulit untuk membantu orang lain secara material, apalagi menyangkut kebutuhan pokok sehari-hari, karena  mereka sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

                Dalam hal kepercayaan  antar sesama 195 responden (81,2%)  menyatakan setuju dan sangat setuju  bahwa tingkat saling percaya antara anggota masyarakat di kampung masih tinggi, saling percaya antar anggota masyarakat merupakan modal  dalam menciptakan rasa aman dalam masyarakat. Dengan  terciptanya rasa aman mereka percaya kalau mereka pergi beberapa hari rumahnya akan dijaga tetangganya, mereka percaya  bahwa ternak piaraannya, tanaman di kebun tidak akan diganggu orang lain. Mereka berkeyakinan bawa dengan saling percaya maka hubungan antar anggota masyarakat makin baik.

                Nilai luhur dalam masyarakat masih dijunjung tinggi, hal ini terlihat dari  236 responden (98,4%) menyatakan setuju dan sangat setuju  bahwa semua aturan yang disepakati, diyakini akan memberikan manfaat bagi masyarakat, dan bila ditaati akan menciptakan kedamaian dalam masyarakat dan mencegah atau meminimalisir timbulnya  permasalahan sosial. Oleh karena itu semua aturan  yang telah disepakati harus ditaati dan bagi yang melanggarnya diberikan sanksi.

                Dari aspek pertukaran timbal balik 222 responden (92,5%) menyatakan setuju dan sangat setuju dengan pernyataan bahwa  apabila kita menolong orang lain termasuk membantu orang miskin di lingkungannya, maka kalau dia mendapat kesulitan, mereka akan balik membantu. Ikatan solidaritas di lingkungan  perlu dilestarikan, karena kita percaya bahwa manusia itu saling membutuhkan. Hanya 18 responden yang menyatakan kurang setuju.

 

Kearifan  lokal

                Keterampilan lokal merupakan  salah satu asset masyarakat terutama pada masyarakat pedesaan. Dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan  bahwa 165 responden (68,8%) menyatakan keterampilan lokal dapat membantu meningkatkan pendapatan keluarga, mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Sebanyak 75 responden (31,2%) berpendapat  tidak setuju dan kurang setuju kalau keterampilan lokal dikatakan dapat meningkatkan pendapatan, karena keterampilan yang dimiliki masyarakat adalah keterampilan yang hanya dipahami, diakui oleh masyarakat lokal dan sebagai alat bagi mereka dalam  mengelola kondisi lokal. Misalnya dalam  membangun rumah penduduk, anggota masyarakat yang mempunyai keterampilan lokal menjadi leader/pemimpin  dalam membangun rumah. Pengetahuan lokal dapat membantu pengembangan sikap perilaku masyarakat terutama dalam pemahaman nilai-nilai yang  perlu dilestarikan.

                Di sisi lain, sebanyak 82,1 persen  responden keluarga miskin menyatakan setuju dan sangat setuju, bahwa kita perlu memiliki sikap pantang menyerah. Sebagai manusia, kita wajib berusaha untuk ke luar dari kemiskinan.  Hanya 43 responden (17,9%)  yang kurang setuju tentang nilai-nilai lokal  perlu dilestarikan, karena biasanya nilai lokal tersebut hanya  diakui oleh generasi  tua, sedangkan generasi muda kurang memberi perhatian terhadap nilai lokal. Hal ini bisa jadi karena pengaruh teknologi informasi yang kian maju pesat dan merambah sampai ke pedesaan.

               

Intervensi penanganan keluarga miskin

Dalam komunitas masyarakat pedesaan terutama dalam kelompok kecil kekerabatan, saling tolong-menolong antar sesama masih sangat kental. Hal ini terlihat dari hasil wawancara dengan  keluarga miskin ternyata 120  responden (50%) menyatakan setuju dan sangat setuju  dengan pernyataan bahwa kalau ada kekurangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mendapat pinjaman dari kerabat. Mereka juga saling membantu dalam  memanen padi  dan saling bantu-membantu dalam hal pengadaan bibit tanaman. Kebiasaan di pedesaan lokasi penelitian bahwa kalau ada kerabat yang mampu dan banyak memiliki lahan  sawah yang luas. Maka setiap  anggota kerabat yang miskin membantu panen padi  maka setelah selesai membantu mereka diberi beras.

Program-program pemerintah yang masuk ke desa-desa  lokasi penelitian  di antaranya  pembangunan jalan desa, pembangunan  instalasi  air minum dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lahat, Bantuan pemberdayaan masyarakat termasuk keluarga miskin melalui  kelompok usaha bersama (KUBE) dari Departemen  Sosial RI, Bantuan  bibit padi dari Departemen Pertanian RI, Program Usaha Agrobisnis Untuk Petani (PUAP), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Namun dari pengamatan di lapangan terlihat bahwa  program yang dikucurkan pada tingkat desa  yang ditujukan langsung untuk sasaran (masyarakat) belum menunjukkan keberhasilan. Hal ini antara lain dalam pengelolaan  program belum ada pendamping  di desa. Di samping itu dalam pengelolaan program masuk desa  sejak tahap awal  perencanaan kegiatan tidak melibatkan masyarakat sasaran.

Bantuan pemerintah dalam bentuk pendampingan  telah dilakukan oleh petugas penyuluh pertanian. Namun ada kendala yang dihadapi oleh para penyuluh yaitu dalam budaya suku Lematang  dan suku Besemah.  Masyarakat Lematang dan Besemah secara budaya tidak mau dinasehati oleh  orang lebih muda dari mereka, padahal para penyuluh masih usia muda. Untuk itu diperlukan suatu upaya untuk memahami lebih dalam tentang budaya masyarakat, agar masyarakat secara perlahan tapi mulai  mau menerima perubahan walaupun datang dari generasi yang lebih muda.

 

Ciri keluarga miskin

Dari aspek ciri sosial ekonomi  menunjukkan  157 responden (65,4%)  responden keluarga miskin setuju dan sangat setuju dengan  pernyataan bahwa tingkat pendidikan dalam lingkungan   keluarganya paling tinggi  SLTP/sederajat dan 83 responden (34,6%) kurang setuju dengan pernyataan itu, karena dalam lingkungan keluarga mereka ada yang tamat SLTA. Namun secara psikologis  hampir semua responden menginginkan sekali anggota keluarga mereka dapat sekolah ke jenjang lebih tinggi lagi. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut mereka berusaha untuk menabung. Karena pendidikan yang terbatas sebagian besar mereka belum pernah  berusaha di luar desanya. Di samping itu hampir semua responden tidak  memiliki keterampilan selain bertani sawah dan berkebon. Mereka belum pernah  mendapatkan pengetahuan  dan keterampilan dari petugas pemerintah Untuk peningkatan  gizi keluarga beberapa responden keluarga miskin ada yang beternak ayam, memelihara ikan di kolam/empang.

Dari  aspek ciri fisik menunjukkan 140 responden (58,8%)  setuju dan sangat setuju dengan pernyataan bahwa beberapa bulan terakhir mereka sering jatuh sakit. Mereka kalau sakit berobat ke puskesmas atau petugas kesehatan yang terdekat dan ada yang hanya membeli obat di warung. Dari pengamatan terlihat anak-anak  kelihatan kotor karena pakaiannya  jarang dicuci. Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa hampir semua responden membeli pakaian satu tahun sekali.  Pemilikan baju rata-rata tiga stel per orang.

Bahan bangunan rumah mereka terbuat dari bahan lokal yang bahasa daerah  disebut dinding pelopoh  yaitu dinding terbuat dari bambu yang dicacah.  Ukuran luas rumah 30-45 m2.

Secara psikologis keluarga miskin berpikir sangat sederhana, 216 responden  (90%) menyatakan mereka membeli bahan pokok setiap hari sangat tergantung dari penghasilannya dari hasil kebun atau dari hasil upah harian  sebagai buruh tani, buruh pada penggalian tambang pasir dan batu.  Mereka mengatakan yang penting setiap hari ada bahan pokok beras  dan 24 responden (10%) menyatakan  membeli bahan pokok secara bulanan. Mereka bekerja  sebagai buruh penyadap  karet, buruh kebon sawit yang mendapat upah secara bulanan. Dari hasil wawancara secara mendalam kepada  responden menunjukkan mereka selalu ingin ada perubahan dalam kehidupan. Hal ini terlihat dari pernyataan mereka bahwa  mereka ikut bangga kalau kerabat atau tetangga berhasil dalam berusaha ataupun dalam bidang pendidikan dan mereka berusaha untuk mengikutinya. Kalau ada masalah yang dihadapi mereka tidak menyerah begitu saja  tapi berusaha untuk menyelesaikan secara musyawarah.

Dari aspek ciri sosiologi  menunjukkan  229 responden (95,4%)  menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa interaksi masyarakat desa cukup baik, hal ini dikarenakan  komunikasi  tokoh masyarakat dengan masyarakat berjalan dengan baik. Intraksi yang baik tersebut ditandai antara lain; kalau ada salah satu kerabat atau masyarakat sekitar desa mendapat musibah atau mengadakan hajatan mereka  selalu datang, kalau ada pengajian  yang diselenggarakan di balai desa mereka datang. Di samping itu masyarakat sebenarnya  mempunyai kemauan untuk berubah  seperti kalau ada penyuluhan atau pembinaan  yang diselenggarakan pemerintah mereka  selalu datang.

 

Keberdayaan  keluarga  miskin

                Dalam hal kemampuan menjalankan fungsi menunjukkan  210 responden (87,5%) cukup berdaya hal ini ditandai oleh pemahaman terhadap fungsi keluarga dikatakannya sangat penting dalam menciptakan kedamaian, ketenteraman  keluarga, mereka memahami/mengetahui tanaman pertanian yang mempunyai gizi yang tinggi, sehingga dalam keseharian mereka telah mengkonsumsi makanan sesuai dengan kebutuhan keluarga dan hanya 30 responden (12,5%)   yang kurang memahami fungsi rumah tangga secara utuh.

                Dalam aspek keharmonisan rumah tangga  221 responden (92,1%) menyatakan kalau ada  masalah yang mereka hadapi dalam  keluarga mereka berusaha untuk mengatasinya. Untuk menjalin keharmonisan dengan kerabat, tetangga mereka menyatakan bahwa  walaupun mereka sedang di ladang/di kebon, kalau ada berita duka, mereka tinggalkan pekerjaan  dan segera datang ketempat anggota masyarakat yang kena musibah. Mereka selalu hadir pada setiap acara agama yang diselenggarakan desa. Dalam waktu tertentu mereka ikut gotong-royong perbaikan rumah tetangga, perbaikan mesjid dan surau atau musollah. Hanya 19 responden (7,9%) menyatakan kurang berdaya dalam menciptakan keharmonisan  rumah tangga, hal ini dikarenakan mereka masuk dalam kategori fakir-miskin dan secara psikologis tidak mampu untuk menciptakan relasi sosial baik dalam keluarga maupun dengan kerabat atau tetangga sekitarnya.

                Dalam aspek meningkatkan kreativitas ternyata 171 responden (71,3%) yang menyatakan cukup berdaya dan berdaya, dan yang kurang berdaya  sebanyak 69 responden (28,7%). Responden yang cukup berdaya dan berdaya ditandai dengan walau mereka mempunyai lahan yang sempit, mereka berusaha mengolahnya untuk meningkatkan pendapatan dan keperluan keluarga. Untuk meningkatkan  hasil produksi mereka menggunakan pupuk kandang dan pupuk kimia. Kalau ada masalah  seperti kekurangan pupuk, modal usaha mereka  berusaha menghubungi  koperasi desa atau lembaga keuangan lain yang ada di desa. Mereka  sudah terbiasa berhubungan dengan koperasi dan menganggapnya sebagai mitra kerja mereka.

                Intervensi pemerintah  dalam bentuk penyuluhan pertanian  sangat dirasakan manfaatnya dalam meningkatkan produksi pertanian. Sedangkan yang  merasa  kurang berdaya dalam meningkatkan kreativitasnya, mereka pasrah menghadapi kondisi kehidupan yang dihadapinya dan upaya-upaya untuk mengatasi masalah yang dihadapi lamban sekali, yang sering mereka lakukan seperti meminjam kepada kerabat.

 

Faktor  penyebab timbulnya keluarga miskin di pedesaan

Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keluarga miskin menggunakan metode Nominal Group  Technique (NGT).  Metode NGT adalah   suatu teknik brainstorming dalam suatu kelompok  kecil, terstruktur untuk mencapai suatu kesepakatan, yang dikembangkan  oleh Andre L Delbecq & Andrew H Van de Ven   pada tahun  1984. NGT adalah  suatu  alat yang dipakai untuk   penggalian potensi partisipasi masyarakat dalam  mengidentifikasi  dan pemecahan masalah, untuk perencanaan program maupun menetapkan suatu penelitian. Dengan metode NGT, peneliti berusaha mengidentifikasi, menilai dan melakukan skor berbagai ide yang menjadi isu dalam proses curah pendapat.

Peserta dalam  curah pendapat (brainstorming) ini  terdiri dari wakil berbagai status sosial masyarakat yang ada pada wilayah  pengamatan  yaitu Kecamatan Mulak Ulu  dengan jumlah lima sampai dengan 10 orang, hal ini diupayakan untuk menjaga  informasi diperoleh lebih akurat dan kelancaran proses curah pendapat.

Langkah  pertama dalam pelaksanaan  memberikan kesempatan kepada semua peserta untuk menyampaikan idenya  tentang faktor  pemicu  dan atau faktor apa yang membuat keluarga miskin tidak mampu ke luar dari lingkaran kemiskinan. Hasil yang diperoleh  dari  brainstorming pada tahap  awal  diketahui  13 jenis permasalahan  keluarga miskin pedesaan yaitu: (a) Harga hasil  pertanian tidak stabil dan sangat tergantung dengan harga yang ditetapkan oleh  pedagang, (b) Program pemerintah kurang  menyentuh  kebutuhan keluarga-keluarga miskin pedesaan, (c) Latar belakang pendidikan rendah, (d) Kurang keterampilan yg dimiliki, (e) Adanya rentenir dalam masyarakat. (f) Rumah tidak Layak huni,(g)  Keamanan kurang, (h) Kurang  kesadaran keluarga dalam  mengatasi masalah yang dihadapi, (i) Sengketa tanah, (j) Pendapatan rendah, (k) Kurang modal, (l) Pengangguran dan (m) Rasa ingin tahu kurang.

Langkah berikutnya  memberikan kesempatan kepada peserta pertemuan untuk menentukan  masalah yang  prioritas  dengan skor satu sampai dengan 10. Dari kesempatan pertemuan tahap dua diperoleh  gambaran prioritas seperti tersaji pada Tabel 2 berikut ini.

 

 


 

Tabel 2  Jenis  permasalahan keluarga miskin berdasarkan  prioritas untuk ditangani

Jenis masalah

keluarga miskin

 Yung

 Sutimin

Alan

 Bahrun

 J.Febri

Herman

  Riadi

Rita

Vebby

Erdian-

syah

Jumlah Skor

Skor

Skor

Skor

Skor

 Skor

Skor

Skor

 Skor

Skor

Skor

Harga hasil pertanian tidak stabil

4

3

6

4

6

5

7

5

5

6

51

Program pemerintah kurang menyentuh keluarga miskin

8

10

8

9

8

9

10

8

7

9

86

Latar belakang pendidikan rendah

9

8

9

5

10

6

8

7

8

7

77

Kurang keterampilan yang dimiliki

 

10

 

9

 

10

 

10

 

7

 

10

 

9

 

10

 

9

 

10

 

  104

Adanya rentenir

3

5

4

8

9

8

6

9

10

8

70

Rumah tidak layak huni

2

4

5

7

5

1

5

6

4

4

43

Keamanan kurang

 

 

 

 

4

3

4

 

 

 

 

Kurang kesadaran keluarga dalam mengatasi masalah yg dihadapi

7

6

3

6

 

3

 

4

6

5

40

Sengketa tanah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

      0

Pendapatan rendah

5

 

1

2

3

6

1

2

2

3

25

Kurang modal

6

7

2

3

2

 

3

1

3

 

27

Pengangguran

 

1

 

 

1

2

2

 

 

1

       7

Rasa ingin tahu kurang

1

2

7

1

 

4

 

3

1

2

21

 

Berdasarkan hasil tabulasi diketahui permasalahan keluarga miskin  yang menjadi prioritas utama untuk ditangani adalah  prioritas pertama, kurang memiliki keterampilan mendapat nilai 104, prioritas kedua adalah  program pemerintah yang kurang menyentuh kebutuhan keluarga miskin dengan skor  86, prioritas ketiga adalah   latar belakang pendidikan yang rendah dengan skor 77,  prioritas ke empat adalah  menghapus adanya rentenir dengan skor 70 dan prioritas kelima adalah Permasalahan harga hasil pertanian  tidak stabil dengan skor  51.

Dari hasil pembahasan prioritas masalah yang perlu ditangani maka diperoleh  informasi alasan penentuan prioritas dan  saran upaya  penanganannya sebagai berikut:

1.    Kurang memiliki keterampilan; keluarga miskin dan masyarakat pedesaan lainnya  hampir dikatakan tidak  mempunyai keterampilan  selain bertani. Dengan kemampuan yang terbatas tersebut tidak mungkin keluarga miskin  dapat meningkatkan pendapatannya, sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga miskin  hanya bisa menjadi buruh tani mengelola sawah dan perkebunan kopi. Keluarga miskin  cenderung berpikir statis, pola pikir tidak berpikir ke depan,

2.       Program pemerintah yang kurang menyentuh kebutuhan  keluarga miskin. Program   yang dilaksanakan pemerintah di pedesaan  dalam bentuk program  fisik dan program non-fisik. Program  fisik  dalam bentuk pembangunan jalan desa, pengadaan air bersih dan perbaikan irigasi tradisional. Sedangkan program non-fisik  berupa  Program Usaha Agrobisnis  untuk petani (PUAP),  bantuan stimulan kelompok  usaha bersama (KUBE). Bantuan bibit. Sedangkan pembinaan masyarakat dalam bentuk  pelatihan  atau pemberian keterampilan belum pernah  diterima  oleh  keluarga miskin. Sasaran PUAP dan KUBE   diarahkan kepada  masyarakat pedesaan  yang mempunyai  keterampilan dan berpotensi untuk di kembangkan.

3.       Adanya rentenir dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Sangat mempengaruhi  kondisi perekonomian masyarakat khususnya  keluarga miskin. Sejak awal pengelola pertanian  mereka sudah meminjam modal dengan para rentenir termasuk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari  sehingga  seringkali  para keluarga miskin begitu selesai panen hasilnya hanya cukup untuk membayar hutang kepada rentenir. Sehingga mereka tidak bisa melepaskan diri dari cengkeraman rentenir.

4.       Latar belakang pendidikan rendah.  Dengan  pendidikan rendah keluarga miskin secara psikologis tidak mempunyai keberanian untuk mencari kerja ke daerah lain. Tidak mempunyai kemampuan menyerap inovasi, sehingga lamban menerima pembaharuan khususnya pembaharuan di bidang pengelolaan lahan pertanian.

5.       Harga hasil pertanian tidak stabil.  Mutu hasil pertanian baik perkebunan maupun hasil pertanian sawah  rendah.  Pemasaran hasil  sangat ditentukan oleh pedagang  yang datang ke desa.

 

Hubungan Karakteristik Keluarga, Wilayah, Modal Sosial, Kearifan Lokal dan Intervensi Penanganan dengan Keberdayaan Keluarga Miskin

Karakteristik keluarga miskin

Peubah pendidikan mempunyai hubungan nyata negatif α=0,05 dengan keberdayaan keluarga miskin pada aspek keharmonisan keluarga.  Meningkatnya pendidikan anggota keluarga miskin  diimbangi dengan menurunnya nilai subpeubah   keharmonisan  keluarga. Mereka menganggap  makin baiknya pendidikan  formal maka akan mempengaruhi  kondisi keharmonisan rumah tangga. Mereka mengatakan pendidikan yang mereka butuhkan adalah pendidikan nonformal yang terkait langsung dengan aspek kehidupan mereka sehari-hari.

Adanya hubungan negatif  α=0,05 antara   subpeubah  pemilikan lahan kopi dengan keharmonisan  keluarga. Juga adanya hubungan nyata negatif antara subpeubah pemilikan lahan karet dengan subpeubah meningkatkan kreativitas, artinya peningkatan nilai pada pemilikan lahan karet akan disertai penurunan nilai pada subpeubah keharmonisan rumah tangga.

Subpeubah pemilikan lahan sawah dan lahan karet mempunyai hubungan nyata α =0,01 terhadap subpeubah kemampuan  menjalankan fungsi keluarga, keharmonisan keluarga dan mempunyai hubungan nyata α=0,05  subpeubah  pemilikan lahan karet dengan meningkatnya kreativitas. Implikasi temuan penelitian yang tersaji pada Tabel 3 adalah dalam upaya meningkatkan keberdayaan keluarga miskin pedesaan  adalah:

a.       Dalam rangka pembentukan keharmonisan rumah tangga diperlukan suatu bentuk pendidikan nonformal kepada keluarga miskin melalui  program pembinaan masyarakat pedesaan dan buka  diarahkan pada pendidikan formal. Di sini  petugas di tingkat kecamatan cukup  berperan  dalam pendampingan di pedesaan.

b.   Penyuluh pertanian  perlu  membantu petani dalam  mengintensifkan  pengelolaan lahan sawah dengan  pendekatan memahami norma-norma yang ada di keluarga miskin pedesaan.

c.    Peningkatan  keterampilan keluarga miskin dalam upaya  meningkatkan  kemampuan  memenuhi  pemenuhan kebutuhan  pokok.

 

Tabel 3  Korelasi peubah  karakteristik keluarga, karakteristik wilayah, modal sosial, kearifan lokal dan intervensi penanganan dengan keberdayaan keluarga miskin

Faktor-faktorpenyebab keluarga miskin pedesaan

Keberdayaan Keluarga Miskin (tb)

Menjalankan fungsi keluarga

Meningkatkan kreativitas

Keharmonisan keluarga

Karakteristik keluarga miskin

Pendidikan (X1)

 

0,072

 

      -0,030

 

-0,133*

Pekerjaan (X2)

         -0,340**

      -0,067

0,006

Pemilikan lahan sawah (X3)

          0,550**

0,143*

          0,230**

Pemilikan lahan kopi (X4)

    0,430**

      -0,067

-0,133*

Pemilikan lahan karet (X5)

         -0,113

-0,195**

-0,75

Pemilikan ternak (X6)

         -0,029

      -0,062

-0,031

Kemampuan memenuhi kebutuhan (X7)

    0,195**

      -0,073

0,026

Karakteristik wilayah

Tingkat isolasi (X8)

 

   0,212**

 

0,077

 

         0,095

Topografi (X9)

         -0,043

0,057

         0,123*

Modal Sosial (X10)

          0,226**

        0,397**

         0,379**

Kearifan lokal (X11)

          0,146*

        0,318**

         0,288**

Intervensi penanganan kel.miskin(X12)

          0,281**

        0,372**

         0,428**

Keterangan: **High signifikan pada p< 0,01                                                                               tb    =Koefisien korelasi Tau-b Kendall  

                              *Signifikan pada p< 0,05

 

Wilayah

                Hubungan nyata α=0,01 subpeubah  isolasi daerah dengan kemampuan menjalankan fungsi keluarga dan hubungan nyata α=0,05  subpeubah kesuburan tanah dengan keharmonisan rumah tangga. Artinya meningkatnya nilai subpeubah isolasi dan kondisi kesuburan tanah disertai meningkatnya nilai pada  subpeubah meningkatnya kemampuan menjalankan fungsi keluarga dan subpeubah keharmonisan keluarga. Artinya membaiknya karakteristik infrastruktur transportasi, jalan, akan diikuti  meningkatnya  menjalankan fungsi keluarga.  Meningkatnya  kemampuan mengolah tanah disertai meningkatnya keharmonisan rumah tangga keluarga miskin.

                Implikasi dari temuan penelitian tersebut  dalam  upaya  peningkatan  keberdayaan keluarga adalah:

a.       Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam  perbaikan infrastruktur  seperti  perbaikan jalan desa, perbaikan jaringan pipa air untuk irigasi.

b.       Penyuluh pembangunan dalam hal ini penyuluh pertanian  memberikan bimbingan kepada petani  tentang tanaman yang cocok dengan tingkat kesuburan tanah yang dimiliki keluarga miskin.

c.       Meningkatkan kompetensi keluarga miskin dalam intensifikasi pertanian.

 

 

 

Modal Sosial

                Adanya   hubungan nyata peubah modal sosial dengan  keberdayaan keluarga miskin artinya makin meningkatnya solidaritas sosial, keperjayaan, hubungan timbal- balik diikuti meningkatnya keberdayaan keluarga miskin dalam hal kemampuan menjalankan fungsi keluarga, kreatif dan keharmonisan rumah tangga.

Implikasi dari temuan   penelitian  dalam meningkatkan keberdayaan keluarga miskin adalah:

a.       Petugas penyuluh pembangunan   harus mempunyai kompetensi  meningkatkan solidaritas keluarga miskin  dengan melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang  dibutuhkan  keluarga miskin. Meningkatkan  rasa kepercayaan keluarga miskin dengan penyuluh pembangunan, sesama kerabat dan masyarakat sekitarnya.

b.       Melestarikan nilai-nilai luhur yang ada dalam masyarakat melalui kegiatan yang melibatkan keluarga miskin dan  membiasakan  keluarga miskin untuk mempunyai pemahaman  tentang pertukaran timbal balik dalam kehidupan bermasyarakat akan menciptakan ketentraman dan keharmonisan.

 

Kearifan lokal

                Adanya hubungan nyata peubah kearifan lokal dengan keberdayaan keluarga miskin. Artinya meningkatnya keterampilan, pengetahuan lokal dan pelestarian nilai lokal disertai  meningkatnya  keberdayaan keluarga dalam menjalankan fungsi keluarga, meningkatkan kreativitas dan keharmonisan rumah tangga

Implikasi  hasil penelitian terhadap  meningkatkan keberdayaan keluarga adalah:

a.       Petugas lapangan tingkat kecamatan mendorong keluarga miskin untuk melestarikan  keterampilan lokal dengan cara memanfaatkan keterampilan lokal dalam kehidupan masyarakat seperti membangun rumah tradisional, pengolahan lahan pertanian, peternakan, serta meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya  pelestarian  keterampilan lokal dan pengetahuan lokal  seperti  di pedesaan  dilarang  makan di tengah sawah. Karena  dikhawatirkan sisa makanan akan  mengundang  binatang perusak padi datang ke sawah.

b.       Menjalin kemitraan  petugas lapangan dengan tokoh masyarakat  dan masyarakat di lingkungan untuk  merasa memiliki kebanggaan terhadap nilai-nilai lokal yang di miliki mereka.

 

Intervensi Penanganan keluarga miskin

Adanya hubungan yang nyata peubah intervensi dengan  keberdayaan keluarga miskin. Artinya, makin baik penanganan keluarga miskin oleh masyarakat dan pemerintah akan diikuti oleh keberdayaan keluarga miskin dalam hal kemampuan menjalankan fungsi keluarga, meningkatkan kreativitas dan keharmonisan rumah tangga.  Implikasi  temuan  penelitian untuk meningkatkan keberdayaan  keluarga miskin yaitu:

a.       Petugas penyuluh pembangunan  mendorong elemen-elemen masyarakat desa  untuk berpartisipasi dalam penanganan  keluarga miskin dalam bentuk pemberian kemudahan untuk mendapatkan modal usaha, pengembangan keterampilan keluarga miskin.

b.       Program pemerintah di pedesaan hendaknya menyentuh langsung  kebutuhan keluarga miskin baik yang bersifat fisik dan non-fisik.

 

Hubungan  ciri keluarga miskin dengan keberdayaan keluarga miskin

Tabel 4 menyiratkan, bahwa meningkatnya ciri keluarga miskin disertai meningkatnya keberdayaan keluarga miskin. Artinya, membaiknya kondisi ekonomi, kesehatan, sikap mental dan relasi sosial  akan disertai oleh  meningkatnya keberdayaan keluarga miskin dalam hal menjalankan fungsi keluarga, meningkatkan kreativitas dan keharmonisan keluarga.  Implikasi dari  penelitian ini adalah:

a.       Peningkatan   kerjasama tenaga  pemerintah pada tingkat kecamatan dalam menyusun program sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

b.       Melibatkan  dunia usaha dan organisasi sosial dalam  membantu  keluarga miskin dalam memenuhi hak-hak dasar  antara lain kesehatan, pendidikan, kecukupan pangan.

c.       Membantu keluarga miskin dalam menciptakan peluang untuk mendapatkan  keterampilan yang bersifat produktif.

 

Tabel 4   Korelasi  peubah  ciri keluarga miskin  dengan keberdayaan keluarga miskin pedesaan

Ciri keluarga Miskin

 

Koefisien Korelasi X thd Y2.1

Koefisien Korelasi X thd Y2.2

Koefisien Korelasi X thd Y2.3

Ciri sosial ekonomi

   0,363**

    0,368**

    0,368**

Ciri fisik

0,298**

    0,043

    0,076

Ciri psikologi

0,252**

0,225**

0,186**

Ciri sosiologi

0,340**

0,494**

0,589**

Keterangan ** = High Signifikan pada  p< 0,01                                      tb    =Koefisien korelasi Tau-b Kendall  

                              * = Signifikan pada  p< 0,05

 

STRATEGI KONSEPTUAL PENANGANAN KELUARGA MISKIN PEDESAAN

Berdasarkan   analisis hasil penelitian  maka dibangun  konsep  strategi penanganan  keluarga miskin pedesaan  yang berbasis   masyarakat. Strategi ini bertujuan membangun kompetensi berbagai elemen  pada tingkat kecamatan  dan  masyarakat melalui  program kemitraan  pemerintah dan dunia usaha.  Orientasi   strategi  adalah membangun jejaring  antara  masyarakat, dunia usaha  dan pemerintah dalam  mengelola  sumber daya manusia (SDM),  sumber daya alam yang ada  dan diarahkan untuk peningkatan pendapatan keluarga miskin.

Pelaksanaan strategi  penanganan keluarga miskin pada  prinsipnya  adalah  bahwa kegiatan yang direncanakan memang diperlukan oleh keluarga miskin, program/kegiatan dapat mendorong perubahan dalam masyarakat. Arah kebijakan/ strategi mencakup:

(1)  Menyiapkan  penguatan kemampuan  tenaga pada tingkat kecamatan (antara lain penyuluh pertanian/PPL, penyuluh KB, penyuluh sosial)  dalam  hal  pemahaman terhadap budaya lokal, memahami  potensi dan sumber-sumber yang ada dalam masyarakat. Mendorong  kepedulian  masyarakat kepada keluarga  miskin.

(2)  Meningkatkan  fungsi pendampingan pada setiap program yang ditujukan  kepada  keluarga miskin.

(3)  Peningkatan peranserta  dunia usaha, organisasi sosial lokal,  masyarakat dalam penanganan keluarga miskin pedesaan.

(4)  Peningkatan peranserta keluarga miskin dalam   memecahkan masalah yang mereka hadapi.

(5)  Memberi kemudahan  bagi keluarga miskin untuk mendapatkan akses modal baik melalui kredit mikro maupun dari dunia usaha.

(6)  Meningkatkan kompetensi keluarga miskin  sesuai dengan potensi dan sumber-sumber di lingkungannya.

(7)  Mendorong keluarga miskin untuk mempunyai kemauan, kemampuan dan kesempatan  untuk meningkatkan pendapatan  melalui pendidikan nonformal sesuai dengan budaya di lingkungan keluarga miskin.

(8)   Membangun jejaring  antara pemerintah, dunia usaha/koperasi  dalam   pengadaan peralatan,  peningkatan mutu hasil produksi, peningkatan nilai tambah  hasil produksi pertanian dan  pemasaran.

(9)  Sinerginya program pemerintah daerah dengan program pemerintah pusat.

Secara garis besar dapat diilustrasikan pada Gambar 2 berikut ini tentang mekanisme strategi penanganan keluarga miskin pedesaan.

 

Produksi dan Pemasaran

Usaha-usaha Keluarga Miskin Pedesaan

Program/Kegiatan

Peningkatan

Partisipasi

Pelatihan/ Penyuluhan

Pemberian Modal/ Pengadaan Peralatan/ Pupuk

Penguatan

Pendampingan

Pemerintah Daerah/ Pemerintah Pusat

Dunia Usaha/Koperasi

Kemitraan

 

Gambar 2  Mekanisme strategi  penanganan keluarga miskin pedesaan

 

Dalam pelaksanaan strategi penanganan keluarga miskin pedesaan ini, keberhasilannya  sangat ditentukan  oleh  motivasi dari keluarga miskin. Pemerintah dan dunia usaha hanya bersifat pendamping dan tidak akan selamanya berada di lingkungan keluarga miskin. Indikator keberhasilan penanganan  antara lain: keluarga miskin  mampu memanfaatkan  potensi dan sumber-sumber di lingkungannya untuk meningkatkan pendapatan, mampu mengatasi persoalan yang timbul dalam keluarga dan lingkungannya.  Berinisiatif  untuk melepaskan dari kemiskinan dan mau menerima  perubahan  yang datang dari luar.

 

KESIMPULAN  DAN SARAN

Kesimpulan

1.      Faktor yang mempengaruhi keluarga miskin adalah:  (a) harga hasil  pertanian tidak stabil dan sangat tergantung dengan harga yang ditetapkan oleh  pedagang, (b) program pemerintah kurang  menyentuh  keluarga miskin pedesaan, (c) latar belakang pendidikan rendah, (d) kurang keterampilan yang dimiliki, (e) adanya rentenir dalam masyarakat, (f) rumah tidak layak huni, (g) keamanan kurang, (h) kurang  kesadaran keluarga dalam  mengatasi masalah yang dihadapi, (i) sengketa tanah, (j) pendapatan rendah, (k) kurang modal, (l) pengangguran dan (m) rasa ingin tahu kurang.

2.      Karakteristik keluarga miskin, modal sosial, kearifan lokal, intervensi pemerintah dan keluarga mempunyai hubungan  nyata terhadap keberdayaan keluarga.

3.      Ciri keluarga miskin (ciri sosial ekonomi, ciri fisik, ciri psikologis dan ciri sosiologis) mempunyai hubungan nyata dengan keberdayaan miskin.

4.      Strategi penanganan keluarga miskin ditekankan pada penguatan kompetensi tenaga  pemerintah di tingkat kecamatan, terjalinnya hubungan kerja yang baik antara pemerintah dan dunia usaha, peningkatan kompetensi keluarga miskin melalui pendidikan nonformal, mendorong partisipasi masyarakat khususnya keluarga miskin dalam tahapan program di pedesaan.

 

Saran

1.      Permasalahan keluarga miskin  yang bersifat prioritas  menurut masyarakat supaya di masukkan dalam  suatu program utama atau program  unggulan.

2.      Kompetensi para agen pembaharuan pada tingkat kecamatan supaya secara  konsisten dan terus-menerus dilakukan pelatihan khusus.

3.      Strategi diarahkan langsung pada kebutuhan dasar keluarga miskin.

 

DAFTAR PUSTAKA

[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lahat. 2008.                Kabupaten Lahat dalam Angka Tahun 2007. Lahat; Bappeda Kabupaten               Lahat.

[BPS] Badan Pusat Statisik. 2006. Penduduk Fakir miskin Indonesia. Jakarta: Badan     Pusat Statistik.

Burt RS. 1997. ”The Contingent value of social capital.” Journal Administratif Science Quarterly. Vol 42.

[Dinsos] Dinas Sosial Kabupaten lahat. 2009. Data permasalahan kesejahteraan           sosial    Kabupaten Lahat. Lahat:  Dinsos Lahat.

Dubois B. 1992. Sosial Work an Empowering Profession. USA: Allyn and Bacon.

Horton BP. 1987. Sosiologi. Jakarta: Erlangga.

Ismani HP. 1988. Metode Penelitian. Malang: bpp-fia Universitas Brawijaya.

Lewis O. 1966. Anthropological Essays. New York: Random House.

Lin N, Dumin M. 1996. “Access to occupation through social ties.” J.Social Net                 Works.  Vol 8.

Lipton M. 1976. Why the Poor  Stay Poor. New York: Basic Books Inc.

Marwanti MT. 2008.  Pekerja Anak dari Keluarga Miskin di Sektor Industri.      Bandung:  Universitas Pajajaran.

Murdock GP. 1965. Social Structure. New York: The  Free Press.

Putman RD. 2000. Bowling Alone: The Collepse and Revival of American Community. New York: Simon and Schuster.

Siegel S. 1997. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Soenarso, Harun, Soemarno S.  2005. Kearifan Lokal Masyarakat Aceh: Situasi dan Kondisi Pasca Tsunami. Jakarta: Pusbangtansosmas. Departemen Sosial RI.

Woolcock M. 2001. “Sosial Capital in Theory and Practice.” Http://www.unisco.org/ most/soc-cap [2 Februari 2009].

 


 

 

PERAN PENGAMBIL KEBIJAKAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

 

Neddy Rafinaldy Halim[4]

 

ABSTRACT

The community development is a part of community developing effort, which is an effort that is consciously and continuously carried out, aiming for a more positive and advance alteration in community, by means of developing the community’s potential and changing the negative community behaviour right until the community can independently stand on their own. The community development can not be run partially. Instead, it has to be done camprehensively and the responsibility should be carried on the back of many parties, including the government, NGOs (Non-Government Organization), government agencies, private agencies, etc. In the era of openness and transparency, the roles of government nowadays and in the future in development are merely as the regulator, facilitator, dinamisator, stabilisator and stimulator. Those roles are emphasizing on the effort of independency that demands the participation, initiative and creativity of the community itself, without any further interference and intervention from the government, which might possibly put out the community effort to achieve independency. In other words, the strategy of community development should cover: (a) participation, (b) independency and (c) partnership.

 

Key words: community development, participation, partnership

 

PENDAHULUAN

                Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global yang dalam pelaksanaannya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju serta kukuh moral dan etikanya. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu pemerintahan yang kuat dan mampu menjalankan tugas untuk mengorganisasikan dan mengintegrasikan kegiatan rakyatnya guna mewujudkan kesejahteraannya.

                Dalam era otonomi daerah dan keterbukaan seperti saat ini, peran pemerintah di masa kini dan masa mendatang dalam pembangunan guna mewujudkan kesejahteraannya adalah berfungsi sebagai regulator, modernisator, katalisator/fasilitator, dinamisator, stabilisator dan pelopor/stimulator, yang menekankan pada upaya kemandirian dalam pemberdayaan masyarakat. Sebagai regulator, pemerintah  memberikan acuan dasar yang selanjutnya diterjemahkan oleh masyarakat sebagai instrumen untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dalam koridor persatuan Indonesia. Sebagai modernisator pemerintah berkewajiban membawa perubahan-perubahan ke arah pembaharuan masyarakat. Sebagai katalisator/fasilitator, pemerintah berusaha menciptakan atau menfasilitasi suasana yang tertib, nyaman dan aman, termasuk  menfasilitasi tersedianya sarana dan prasarana pembangunan. Sebagai pelopor atau stimulator, pemerintah harus mampu menunjukkan contoh-contoh nyata dan mendorong masyarakat untuk mengikuti contoh tersebut melalui tindakan nyata jika memang contoh tersebut bermanfaat.

                Fungsi pemerintah tersebut menuntut adanya ”peran serta masyarakat” secara aktif melalui upaya partisipasi, inisiatif dan kreatifitas. Pengertian ’peran serta masyarakat’ dalam pembangunan adalah suatu proses pembangunan yang melibatkan masyarakat melalui komunikasi dua arah secara terus menerus dalam rangka upaya mendesiminasi secara intensif sehingga diperoleh suatu pengertian masyarakat secara penuh dan utuh atas suatu proses pembangunan tersebut. dengan kata lain ’peran serta masyarakat’ adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam ’perubahan sosial’ yang memungkinkan masyarakat mendapatkan bagian keuntungan. Adapun tujuan dari  keterlibatan masyarakat dalam pembangunan adalah dalam rangka menghasilkan ’masukan dan persepsi’ yang berguna bagi pengambil kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Adapun yang menjadi permasalahan saat ini sejauh mana kemampuan masyarakat dapat memberikan masukan yang berguna bagi pengambil kebijakan? Menjadi tugas kita bersama untuk meningkatkan kualitas masyarakat melalui upaya-upaya pengembangan masyarakat.

 

STRATEGI PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Pengembangan masyarakat merupakan bagian dari upaya membangun masyarakat, yaitu upaya yang dilakukan secara sadar dan terus menerus guna mengubah keadaan masyarakat  ke arah yang lebih baik dan lebih maju melalui  berbagai pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat (perilaku negatif) sampai masyarakat itu mampu mengatur dirinya sendiri (kemandirian).  Pengembangan masyarakat tidak dapat dilakukan secara parsial, tetapi harus dilakukan secara komprehensif yang menjadi tanggung jawab berbagai pihak, pemerintah, NGO (lembaga swadaya masyarakat), BUMN/BUMS dll.

Konsep pengembangan masyarakat atau pemberdayaan masyarakat  di masa-masa mendatang lebih menekankan pada upaya ”kemandirian”, karena itu dalam pengembangan masyarakat diperlukan adanya peran aktif masyarakat itu sendiri.  Hal ini berarti partisipasi, inisiatif dan kreatifitas dalam pengembangan masyarakat harus lebih banyak datang dari masyarakat itu sendiri, sementara pemerintah pusat berfungsi sebagai regulator, modernisator, katalisator/fasilitator, dinamisator, stabilisator dan pelopor/stimulator  tanpa ikut campur atau intervensi terlampau jauh yang justru bisa mematikan upaya pengembangan  yang mandiri.

 

Partisipasi

Partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan masyarakat merupakan  tuntutan mutlak agar masyarakat  dapat lebih berperan berkaitan dengan keinginan masyarakat untuk maju dan berkembang melalui mekanisme keterlibatannya dalam proses pembangunan, seperti menyusun program-program pembangunan melalui mekanisme dari bawah ke atas (bottom up) yang memperlakukan masyakat tidak hanya sebagai ”sasaran” pembangunan tetapi juga sebagai ”pelaku” pembangunan. Hal tersebut memberikan implikasi perlu adanya kontribusi, di samping adanya  penuntutan akan keadilan dan hak untuk menikmati hasil pembangunan.

 

Kemandirian

                Kemandirian menggambarkan adanya kemampuan dan potensi swadaya, dalam hal ini pemerintah secara bertahap mendorong penggalian potensi swadaya melalui mekanisme pengembangan masyarakat  yang pada tahap awalnya dimulai atau didorong oleh inisiatif pemerintah, oleh pemerintah, untuk masyarakat, kemudian meningkat  dari pemerintah, oleh masyarakat , untuk masyarakat; dan pada  akhirnya mekanisme dari masyarakat, oleh masyarakat , untuk masyarakat;  

 

Kemitraan

                Kemitraan dalam upaya pengembangan masyarakat dimaksudkan sebagai upaya untuk menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk tujuan peningkatan kompetensi dan kapasitas masyarakat khususnya mendukung keterlibatannya dalam proses pembangunan yang selanjutnya dapat memberikan implikasi pada: (a) terjaganya kesinambungan pembangunan, (b) terciptanya keselarasan berbagai kepentingan dan (c) sebagai instrumen untuk menghindari ketimpangan atau kesenjangan. Dalam hal ini diperlukan pemahaman terhadap prinsip-prinsip  dasar dari  ”kemitraan” dalam pengembangan masyarakat, seperti  : (a) saling melengkapi, (b) saling memperkuat, (c) saling membesarkan  dan  (d) saling menguntungkan.

               

                               

PENUTUP

Kiranya kita semua sepakat bahwa mengembangkan masyarakat  mengandung makna memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar masyarakat/kelompok masyarakat terhadap kekuatan-kekuatan eksternal yang akan merugikan dalam proses pembangunan; di samping juga mengandung makna melindungi, membela  dan berpihak pada yang lemah untuk mencegah adanya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah. Peran pemerintah sebagai pengambil/penentu kebijakan dalam pengembangan masyarakat lebih  bersifat sebagai regulator, modernisator, katalisator/fasilitator, dinamisator, stabilisator dan pelopor/stimulator dalam rangka :

a.              Meningkatkan kompetensi dan kapasitas masyarakat guna optimalisasi  keterlibatannya dalam proses pembangunan;

b.              Mempercepat proses pemerataan pembangunan;

c.              Melibatkan partisipasi masyarakat/kelompok masyarakat secara nyata dalam setiap pelaksanaan pembangunan;

d.              Meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap produk-produk pembangunan sehingga terjaga pemelihaaranya;

e.              Memberikan peluang seluas-luasnya kepada  masyarakat untuk mengembangkan kreativitas  sesuai dengan budaya, karakter maupun potensi masyarakat setempat.

 

DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo M.  2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kartasasmita G. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan.  Jakarta: CIDES.

Prijono OS, Pranarka AMW. 1996. Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: CSIS.


 


 

Rumusan Hasil Diskusi Makalah Kelompok D

                Hasil diskusi makalah kelompok D yang membahas empat makalah oleh empat orang pembicara menghasilkan rumusan sebagai berikut:

1.       Efektivitas kebijakan dalam pengembangan masyarakat berkelanjutan dipengaruhi oleh kualitas program yang dirancang, pembiayaan yang cukup, isi kebijakan dan konteks pelaksanaannya dalam pengembangan masyarakat.

2.       Peran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan, kejelasan peraturan yang dibuat, kesamaan persepsi, pemenuhan aspirasi masyarakat bawah, keteladanan dan kepemimpinan dalam memahami apa yang senyatanya terjadi, baik secara administratif maupun dampaknya kepada masyarakat sangat diperlukan untuk mewujudkan efektivitas kebijakan dalam pengembangan  masyarakat berkelanjutan.

3.       Sebagai kebijakan negara, perumusan kebijakan publik pada dasarnya diserahkan kepada para pejabat publik. Namun demikian, dalam beberapa aspek warga negara secara individu perlu berpartisipasi, terutama dalam memberikan asupan mengenai isu-isu publik yang perlu diresponi oleh kebijakan sosial yang dalam hal ini memiliki peran yang sangat menentukan keberhasilan program pengembangan masyarakat.

 

 



[1] Dosen Komunikasi Universitas Indonesia

[2]  Departemen Sosial Republik Indonesia

[3] Dosen  pada Program Studi Komunikasi Pembangunan dan Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor, Indonesia

[4] Deputi Bidang Pengembangan SDM, Kementerian Negara Koperasi dan  UKM


No comments: