KEBIJAKAN SOSIAL DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAAT:
PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL
Edi Suharto[1]
ABSTRACT
This paper
discusses relation between social policy and community development. It
basically addresses three paramount questions: Why community development needs
to involve social policy? What are the roles of policy makers in community
empowerment programmes? What capacities needed by the policy actors in performing their mandate? After
highlighting concepts of community development and community organisations,
this article then identifies community development tragedies delineating the
importance of social policy. Finally, roles and competencies of policy actors conclude
this paper.
[1] Dosen dan
Pembantu Ketua I Bidang Akademik, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS)
Bandung;
Konsultan UNICEF; Plan
Internasional Indonesia; dan Local Governance Initiative (LGI), Hungary.
PENDAHULUAN
Banyak disiplin
mengklaim memiliki keahlian dalam bekerja dengan individu, keluarga dan
kelompok. Namun, hanya sedikit profesi yang memfokuskan pada keberfungsian
klien dalam konteks organisasi, masyarakat dan kebijakan, salah satunya adalah pekerjaan
sosial
(Social Work). Sebagaimana dinyatakan Netting et al. (2004),
dalam perspektif pekerjaan
sosial
konsep “orang-dalam-lingkungan” bukan sekadar slogan yang membuat para pekerja
sosial
perlu menyadari pengaruh-pengaruh lingkungan, melainkan, memberi pesan
jelas bahwa dalam kondisi tertentu perubahan sosial hanya bisa dicapai melalui
pengubahan lingkungan dan bukan pengubahan orangnya.
Oleh karena itu,
meskipun pengembangan
masyarakat
(PM) seringkali didasari oleh kebutuhan dan isu-isu yang berkaitan dengan
kehidupan individu dan kelompok pada area lokal, PM yang
berkelanjutan menekankan pentingnya strategi-strategi kebijakan sosial
yang beroperasi melebihi pendekatan-pendekatan individu dan kelompok.
PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Disiplin pekerjaan
sosial
menetapkan bahwa PM adalah bagian dari strategi praktik pekerjaan
sosial
makro. Beberapa frase lain yang sering dipertukarkan dengan PM
antara lain: Community Organizing
(CO), Community Work, Community Building,
Community Capacity Building, Community Empowerment, Community Participation,
Ecologically Sustainable Development, Community Economic Development,
Asset-Based Community Development, Faith-Based Community Development, Political
Participatory Development, Social Capital Formation, dst. (Suharto 2006; 2007).
Di
jagat pekerjaan sosial, PM seringkali didefinisikan sebagai proses penguatan masyarakat yang
dilakukan secara aktif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan sosial,
partisipasi dan kerjasama yang setara (Suharto 2008; Suharto 2006; Ife 1995;
Netting et al. 1993; DuBois dan Milley 1992). PM adalah strategi pekerjaan sosial
dengan mana anggota masyarakat didorong agar memiliki kepercayaan diri dan
kemampuan untuk memperbaiki kehidupannya. Target utama PM pada umumnya adalah
kelompok miskin dan lemah yang tidak memiliki akses kepada sumber pembangunan,
meskipun tidak menafikan kelompok lain untuk berpartisipasi.
Tujuan
utama PM adalah memberdayakan individu-individu dan kelompok-kelompok orang
melalui penguatan kapasitas (termasuk kesadaran, pengetahuan dan
keterampilan-keterampilan) yang diperlukan untuk mengubah kualitas kehidupan
komunitas mereka. Kapasitas tersebut seringkali berkaitan dengan penguatan aspek
ekonomi dan politik melalui pembentukan kelompok-kelompok sosial besar yang
bekerja berdasarkan agenda bersama.
PM bukanlah pendekatan
“cetak biru” (blueprint), sekali jadi. Melainkan proses yang partisipatif dan
berkelanjutan; anggota-anggota masyarakat bekerjasama dalam kelompok-kelompok
formal dan informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, serta mencapai
tujuan bersama. Dalam proses ini masyarakat dibantu untuk mengidentifikasi
masalah, kebutuhan dan kesempatan hidup; difasilitasi dalam merancang
solusi-solusi yang tepat; serta dilatih agar memiliki kapasitas agar mampu
mengakses sumber-sumber yang ada di dalam maupun di luar komunitasnya.
PM
mengekspresikan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, akuntabilitas, kesempatan, pilihan,
partisipasi, kerjasama dan proses belajar yang berkelanjutan. Pendidikan,
pendampingan dan pemberdayaan adalah inti PM. PM berkenaan dengan bagaimana
mempengaruhi struktur dan relasi kekuasaan untuk menghilangkan
hambatan-hambatan yang mencegah orang berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
yang mempengaruhi kehidupan mereka. Merujuk pada Payne (1986), prinsip utama
Pekerjaan Sosial adalah “making the best
of the client’s resources.”
Payne (1986: 26) menyatakan:
Whenever
a social worker tries to help someone, he or she is starting from a position in
which there are some useful, positive things in the client’s life and
surroundings which will help them move forward, as well as the problems or
blocks which they are trying to overcome. Part of social work is finding the
good things, and helping the client to take advantage of them.
Sejalan dengan
perspektif kekuatan (strengths perspective), para pekerja
sosial
tidak boleh memandang klien dan lingkungannya sebagai sistem yang pasif dan
tidak memiliki potensi apa-apa. Melainkan sebagai aktor dan sistem sosial yang
memiliki kekuatan positif dan bermanfaat bagi proses pemecahan masalah. Bagian
dari pendekatan pekerjaan
sosial
adalah menemukan sesuatu yang baik dan membantu klien memanfaatkan hal itu.
PENGORGANISASIAN MASYARAKAT
Pengorganisasian
masyarakat (Community Organizing/CO) adalah nama lain dari pengembangan masyarakat
(Community Development/CD). Saat ini, di negara asal
pekerjaan sosial, seperti Inggris dan Amerika Serikat, mata kuliah ini umumnya
dinamakan Social Work Macro Practice,
Community Work, CD atau CO saja.
Selama
puluhan tahun para pendidik dan praktisi pekerjaan sosial di Indonesia selalu
menggabungkan konsep CO dan CD secara tandem. Mata kuliah inti pekerjaan sosial
di banyak sekolah pekerjaan sosial di Indonesia hingga kini masih menggunakan
nama COCD: Community Organization/Organizing and Community Development. Karena
demikian populernya maka frase ini nyaris tidak diterjemahkan lagi ke dalam
Bahasa Indonesia. Para pengajar pekerjaan sosial di Indonesia seakan merasa berdosa jika tidak
menggunakan istilah COCD atau CO/CD secara terintegrasi.
CO
pada hakikatnya merupakan sebuah proses dimana warga masyarakat didorong agar
bekerjasama untuk bertindak berdasarkan kepentingan bersama. Makna
“pengorganisasian” menegaskan segala kegiatan yang melibatkan orang
berinteraksi dengan orang lain secara formal. Karenanya, tujuan utama CO adalah
mencapai tujuan bersama berdasarkan cara-cara dan penggunaan sumber daya yang
disepakati bersama. Banyak program CO yang menggunakan cara-cara populis dan
tujuan-tujuan ideal demokrasi partisipatoris. Para aktivis CO atau CO workers biasanya menciptakan
gerakan-gerakan dan aksi-aksi sosial melalui pembentukan kelompok massa, dan
kemudian memobilisasi para anggotanya untuk bertindak, mengembangkan
kepemimpinan, serta relasi di antara mereka yang terlibat.
Meskipun
identik, CO sejatinya dapat dibedakan dengan CD. Dalam sejarahnya, CD lebih
sering diterapkan pada masyarakat perdesaan di negara-negara berkembang. Karena
permasalahan sosial utama di negara ini adalah kemiskinan massal dan
struktural, maka dalam praktiknya CD lebih sering diwujudkan dalam bentuk
“pengembangan ekonomi masyarakat” atau
Community Economic Development (lihat Suharto 2008; 2006; Ife, 1995). PM biasanya difokuskan pada kegiatan-kegiatan pembangunan
lokal (locality development) di sebuah permukiman atau wilayah yang relatif
kecil. Program-programnya biasanya berbentuk usaha ekonomi mikro atau perawatan
kesehatan dasar, pemberantasan buta aksara, peningkatan kesadaran dan
partisipasi politik warga yang bersifat langsung dirasakan oleh penduduk
setempat.
Sebaliknya,
CO lebih sering diterapkan pada masyarakat perkotaan yang relatif sudah maju.
CO lebih banyak bersentuhan dengan aspek politik warga, seperti penyadaran hak-hak
sipil (civil rights), pembentukan forum warga, penguatan demokrasi, pendidikan
warga yang merayakan pluralisme, kesetaraan dan partisipasi publik. PM seringkali melibatkan kegiatan-kegiatan advokasi atau aksi sosial yang
melibatkan pengorganisasian masyarakat
(CO) dan menuntut adanya perubahan kebijakan publik dan menyentuh konteks
politik. Program-programnya bisa berupa perumusan dan pengusulan naskah
kebijakan (policy paper) mengenai pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis,
pengusulan draft Peraturan Daerah tentang perlindungan sosial warga miskin,
advokasi upah buruh yang manusiawi, peningkatan kesadaran akan bahaya HIV/AIDS,
pengarusutamaan jender dan kesetaraan sosial, perlindungan anak, penanganan
KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dan sebagainya.
Sebagai
ilustrasi, jika CD menanggulangi kemiskinan melalui pemberian kredit dan
pelatihan ekonomi mikro, maka, CO menanggulangi kemiskinan dengan mendidik
warga agar membentuk organisasi massa atau forum warga, sehingga mereka mampu
bertindak melawan status quo, kaum pemodal, rentenir, atau kebijakan pemerintah
yang dirasakan tidak adil dan menindas. Tentu saja, pembedaan antara CD dan CO tidak
bersifat absolut. Dalam kenyataan dan pada kasus-kasus tertentu, percampuran
pendekatan keduanya sangat mungkin terjadi di antara berbagai kategori
masyarakat. Pendekatan
CO dan CD akan digabungkan dan hanya akan dipakai istilah PM saja. Selain
konsep ini lebih populer, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, konsep PM
lebih tepat dan sesuai dengan karakteristik mereka.
TRAGEDI PM
Dalam buku “Membangun Masyarakat,
Memberdayakan Rakyat” (Suharto, 2006), penulis berargumen bahwa satu tragedi
dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah bahwa pendekatan yang
diterapkan seringkali terlalu terkesima oleh, untuk tidak menyatakan sangat
mengagungkan, konteks lokal. Sistem sosial yang lebih luas yang menyangkut
pembangunan sosial, Kebijakan Sosial, relasi kekuasaan, ketidakadilan jender,
ekslusifisme, pembelaan hak-hak publik dan kesetaraan sosial seringkali kurang
mendapat perhatian.
Seakan-akan komunitas lokal merupakan
entitas sosial yang vacuum dan terpisah dari dinamika dan pengaruh
sistem sosial yang mengitarinya. Penyempitan makna pemberdayaan masyarakat
semacam ini, antara lain, bisa dilihat dari dominannya program-program PM yang
bermatra usaha ekonomi produktif berskala mikro, seperti “warungisasi” (setiap
kelompok sasaran atau warga binaan dilatih atau diberi modal agar dapat membuka
warung) atau “kambingisasi” (pemberian kambing kepada kelompok miskin untuk
dikelola secara kelompok). Suharto (2006) menyatakan:
Tidak ada
yang salah dengan pendekatan lokalisme seperti itu. Hanya saja, tanpa
perspektif holistik yang memadukan kegiatan-kegiatan lokal dengan analisis
kelembagaan dan kebijakan
sosial
secara terintegrasi, pendekatan pemberdayaan masyarakat bukan saja akan kurang
efektif, melainkan pula tidak akan berkelanjutan. Diibaratkan dengan analogi
“ikan dan pancing”, maka meskipun kelompok sasaran (target group) diberi ikan
dan pancing sekalipun, mereka tidak akan berdaya jika seandainya kolam dan
sungai yang ada di seputar mereka telah dikuasai oleh elit atau kelompok kuat.
Selain
karena
“jebakan lokalitas” di atas, kegagalan PM juga bisa disebabkan oleh adanya bias-bias yang menghinggapi perencanaan dan pelaksanaan PM. Merujuk pada pengalaman
Robert Chambers di beberapa negara berkembang yang dikemas dalam bukunya Rural Development: Putting the Last First (1985)
dan pengalaman penulis yang dibukukan dalam “Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di
Indonesia” (Suharto 2004), ditemukan sedikitnya 10 bias dalam PM, yaitu:
1. Bias perkotaan.
PM cenderung banyak dilaksanakan di wilayah perkotaan. Sementara itu
daerah-daerah perdesaan seringkali terabaikan.
2. Bias jalan utama.
PM lebih banyak dilakukan di wilayah-wilayah yang dekat dengan jalan utama.
Daerah-daerah terpencil yang jauh dari jalan raya kurang menarik perhatian
karena sulit dijangkau dan kurang terekspos media massa.
3. Bias musim kering.
Masyarakat seringkali mengalami masalah kekurangan pangan dan penyebaran
penyakit pada saat musim hujan dan banjir. Namun, program-program PM kerap
dilakukan pada saat musim kering ketika mobil para “development tourist” mudah menjangkau lokasi dan sepatu mengkilat
mereka tidak mudah terperosok lumpur.
4. Bias pembangunan fisik. Donor dan aktivis PM lebih menyukai melaksanakan program
pembangunan fisik yang mudah terukur dari pada pembangunan manusia.
5. Bias modal finansial.
Saat melakukan needs assessment dan Participatory Rural Appraissal (PRA),
baik anggota masyarakat maupun para aktivis PM tidak jarang terjebak pada
pemberian prioritas yang tinggi pada perlunya penguatan modal finansial (kredit
mikro, simpan pinjam). Padahal dalam kondisi modal sosial yang tipis,
kemungkinan terjadinya korupsi, pemotongan dana dan pemalsuan nama orang-orang
miskin, sangat besar.
6. Bias aktivis.
Program PM seringkali diberikan pada “orang-orang itu saja” yang relatif lebih
menonjol dan aktif dalam menghadiri pertemuan, mengemukakan pendapat dan
mengikuti berbagai kegiatan di wilayahnya. Kecenderungan kepada “good persons” ini menyebabkan “silent majority” menjadi terabaikan.
7. Bias proyek.
Program PM diterapkan berulangkali pada wilayah-wilayah yang sering menerima
proyek, karena dianggap telah mampu menjalankan kegiatan dengan baik.
Daerah-daerah yang dikategorikan “good
locations” ini biasanya menjadi target rutin pelaksanaan proyek-proyek
percontohan.
8. Bias orang dewasa.
Anak-anak dan kelompok lanjut usia yang pada umumnya dianggap kelompok
“minoritas” jarang tersentuh program PM. Mereka jarang dilibatkan dalam
identifikasi kebutuhan dan perencanaan program, apalagi dimasukan sebagai
penerima program.
9. Bias laki-laki.
Di daerah-daerah terpencil di Indonesia, laki-laki pada umumnya lebih sering
terlibat dalam kegiatan PM ketimbang perempuan.
10. Bias orang “normal”.
Para penyandang cacat, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus jarang
tersentuh program PM. Mereka dipandang kelompok yang tidak “normal”.
KEBIJAKAN SOSIAL DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Mengatasi tragedi PM
tidak bisa dilakukan melalui perbaikan-perbaikan PM secara parsial. Melainkan,
memerlukan perumusan dan pengembangan flatform
kebijakan dalam tataran yang lebih luas dan holistik. Perumusan Kebijakan
Sosial yang tepat merupakan strateginya. Kebijakan sosial adalah salah satu
bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan
ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik,
yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.
Menurut Bessant et al. (2006):
“In short, social policy refers to what
governments do when they attempt to improve the quality of people’s life by providing a range of income support, community services
and support programs.”
Artinya, Kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh
pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui
pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan
program-program tunjangan sosial lainnya (lihat
Suharto 2008).
Dalam garis besar, kebijakan
sosial
diwujudkan dalam tiga kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan
sosial, dan sistem perpajakan (lihat Midgley 2000; Suharto 2008). Berdasarkan
kategori ini, maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau
peraturan daerah yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari
kebijakan
sosial.
Namun, tidak semua kebijakan sosial berbentuk
perundang-undangan. Dalam perspektif yang lain, hukum bisa juga dipisahkan dari
kebijakan. Hukum dipandang sebagai fondasi atau landasan konstitusional bagi kebijakan
sosial.
Dalam konteks ini, kebijakan dirumuskan berdasarkan amanat konstitusi. Di
Indonesia, sebagai ilustrasi, kebijakan sosial
yang berkaitan dengan program-program pembangunan kesejahteraan, seperti
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan
sosial dirumuskan dengan merujuk pada UU No. 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial.
Hukum Kebijakan Sosial
Kebijakan
Lembaga Praktek Aktual/
Program PM
Gambar 1 Hukum, kebijakan sosial
dan program
PM
Sumber: Suharto (2008)
Meskipun tidak harus
berlaku di setiap konteks, Gambar 1 memberi petunjuk bahwa kebijakan
sosial
bisa pula dibedakan dengan kebijakan lembaga dan praktik aktual. Kebijakan sosial
bisa dijadikan rujukan oleh sebuah lembaga untuk merumuskan kebijakan lembaga
yang kemudian dioperasionalkan dalam bentuk praktik aktual yang diterapkan di
lembaga tersebut. Program-program PM bisa dilihat sebagai luaran (output) dari
kebijakan lembaga, kebijakan sosial atau pun
perundang-undangan.
PEMAIN KEBIJAKAN
Di negara-negara Barat, kebijakan
sosial
sebagian besar menjadi tanggungjawab pemerintah (Suharto 2006; 2008). Ini dikarenakan
sebagian besar dana untuk kebijakan sosial
dihimpun dari masyarakat (publik) melalui pajak. Di negara-negara Skandinavia
seperti Denmark, Swedia dan Norwegia serta negara-negara Eropa Barat seperti
Belanda, Jerman, Inggris dan Prancis, pelayanan-pelayanan sosial menjadi bagian
integral dari sistem ‘negara kesejahteraan’ (welfare state) yang berfungsi
dalam memenuhi kebutuhan dasar di bidang sosial dan medis untuk segala kelompok
usia (anak-anak, remaja, lanjut usia) dan status sosial ekonomi (orang kaya
maupun miskin) (Suharto 2009).
Namun demikian, seperti
ditunjukkan oleh Tabel 1, terjadinya pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan
dan kebijakan publik dari government (pemerintahan) ke governance
(tata kepemerintahan), kebijakan sosial dipandang bukan
lagi sebagai urusan yang didominasi pemerintah (Suharto 2006; 2008). Makna
publik juga bergeser dari ‘penguasa orang banyak’ yang diidentikkan dengan
pemerintah, ke ‘bagi kepentingan orang banyak’ yang identik dengan istilah stakeholder
atau pemangku kepentingan. Para analis kebijakan dan kelompok pemikir yang independent
kemudian muncul sebagai profesi baru dan aktor yang banyak berperan mengkritisi
beroperasinya kebijakan
sosial
dan kemudian mengajukan saran-saran perbaikannnya demi terwujudnya good
governance sejalan dengan menguatnya semangat demokratisasi, civil
society dan transparansi.
Tabel 1 Pergeseran paradigma dalam formulasi
kebijakan
publik
Aspek |
Government |
Governance |
Proses Perumusan Kebijakan |
Pemerintah |
§ Pemerintah § Stakeholder § Analis Kebijakan § Independent ThinkThank |
Penetapan Kebijakan |
Pemerintah |
Pemerintah |
Analisis Kebijakan |
§
Pemerintah §
Public Contractor §
Government Think Thank |
§
Stakeholder §
Analis kebijakan §
Independent Think Thank |
Sumber: Suharto (2006
Sebagai kebijakan
negara, perumusan kebijakan publik pada dasarnya diserahkan kepada para pejabat
publik. Namun demikian, dalam beberapa aspek warga negara secara individu bisa
berpartisipasi, terutama dalam memberikan masukan mengenai isu-isu publik yang
perlu direspon oleh pemegang kebijakan. Para pemain kebijakan yang
terlibat dalam perumusan kebijakan berbeda antara negara maju dan berkembang
(Winarno 2004). Struktur pembuatan kebijakan di negara-negara maju, seperti
Eropa Barat dan Amerika Serikat, relatif lebih kompleks dari pada di negara-negara
berkembang (Suharto 2008). Proses perumusan kebijakan di negara-negara maju
juga lebih responsif dalam merespon kebutuhan dan aspirasi warga negara. Selain
karena prinsi-prinsip good governance
telah berjalan efektif (KKN di kalangan pemerintah dan anggota dewan sangat
rendah), setiap penduduk pada umumnya telah memiliki kesadaran tinggi terhadap
hak-hak politik warga negara. Mereka mempunyai kepentingan terhadap kebijakan
publik dan sedapat mungkin ambil bagian dalam proses perumusannya. Di Swiss dan
negara bagian California, warga negara secara individu memiliki peran dalam
pembuatan undang-undang dan suara mereka sangat menentukan dalam amandemen
konstitusi (Winarno 2004). Di negara-negara
berkembang, seperti Kuba, Korea Selatan dan Indonesia, perumusan kebijakan
lebih dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat relatif kecil
(Suharto 2008).
Kebijakan sosial
memiliki peran yang sangat menentukan keberhasilan program PM (Suharto 2009).
Sesuai dengan prinsip pemberdayaan, PM sangat perlu memperhatikan pentingnya
partisipasi publik yang kuat. Dalam konteks ini, peranan perumus atau pembuat
kebijakan seringkali diwujudkan
bukan sebagai pendamping yang berfungsi sebagai penyembuh atau pemecah masalah
(problem solver) secara langsung. Melainkan, sebagai aktor
yang memungkinkan terciptanya lingkungan kondusif, sistem yang adil, dan
program-program sosial yang holistik, termasuk memungkinkan terjadinya
penguatan partisipasi rakyat dalam proses perencanaan, implementasi, maupun
monitoring serta evaluasi program PM.
Para
pembuat kebijakan biasanya terlibat dalam menciptakan situasi dan mekanisme
yang memungkinkan warga masyarakat mampu mengidentifikasi kekuatan-kekuatan
yang ada pada diri mereka, maupun mengakses sumber-sumber kemasyarakatan yang
berada di sekitarnya. Pembuat kebijakan juga berusaha untuk membangun dan
memperkuat jaringan dan hubungan antara komunitas setempat dan
kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih luas. Karenanya, mereka harus
memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana bekerja dengan
individu-individu dalam konteks masyarakat lokal, maupun bagaimana mempengaruhi
posisi-posisi masyarakat dalam konteks lembaga-lembaga sosial yang lebih luas.
KOMPETENSI
Menurut perspektif pekerjaan
sosial,
PM sangat memperhatikan keterpaduan antara sistem klien dengan lingkungannya.
Sistem klien dapat bervariasi, mulai dari individu, keluarga, kelompok kecil,
organisasi, sampai masyarakat (Suharto 2009). Sementara itu sistem lingkungan
dapat berupa keluarga, rukun tetangga, tempat kerja, rumah sakit dll. Dalam PM,
pekerja
sosial
menempatkan masyarakat sebagai sistem klien dan sistem lingkungan sekaligus.
Karenanya, pengetahuan dan keterampilan
yang harus dikuasai oleh perumus kebijakan yang terlibat dalam PM idealnya
perlu mencakup pengetahuan tentang masyarakat, organisasi sosial, perkembangan
dan perilaku manusia, dinamika kelompok, program sosial, dan pemasaran sosial (social
marketing). Seperti diungkapkan oleh Mayo (1994), para pekerja
sosial
yang terlibat dalam perumusan kebijakan perlu memiliki pengetahuan mengenai
latar belakang sosial, ekonomi dan politik dimana mereka bekerja:
The socio-economic and political backgrounds of
the areas in which they are to work, including knowledge and understanding of
political structures, and of relevant organisations and resources in the
statutory, voluntary and community sectors. And they need to have knowledge and
understanding of equal opportunities policies and practice, so that they can
apply these effectively in every aspect of their work.
Perumus kebijakan juga memerlukan
pengetahuan mengenai model-model analisis kebijakan sosial,
sistem negara kesejahteraan (welfare state), dan hak-hak sosial masyarakat,
termasuk pengetahuan-pengetahuan khusus dalam bidang-bidang dimana praktik pekerjaan
sosial
beroperasi, seperti: kebijakan kesejahteraan sosial dan kesehatan, praktik
perawatan masyarakat, peraturan dan perundang-undangan perlindungan anak, serta
perencanaan sosial termasuk perencanaan wilayah (perkotaan dan pedesaan) dan
perumahan.
Keterampilan yang perlu
dikuasai meliputi keterampilan interview, relasi sosial, studi
sosial, pengumpulan dan pengorganisasian dana, pengembangan dan evaluasi program,
serta identifikasi kebutuhan (needs assessment) (Suharto 2006). Dengan
demikian, perumus kebijakan aosial perlu memiliki
kompetensi profesional yang saling melengkapi (Suharto 2006) seperti:
1. Engagement (cara melakukan kontak,
kontrak dan pendekatan awal dengan beragam individu, kelompok dan organisasi).
2. Assessment (cara memahami dan
menganalisis masalah dan kebutuhan klien, termasuk assessment kebutuhan dan
profile wilayah).
3. Penelitian (cara
mengumpulkan dan mengidentifikasi data sehingga menjadi informasi yang dapat
dijadikan dasar dalam merencanakan pemecahan masalah atau mengembangkan
kualitas program).
4. Groupwork (bekerja dengan
kelompok-kelompok yang dapat dijadikan sarana
pemecahan masalah maupun dengan kelompok-kelompok kepentingan yang bisa menghambat
atau mendukung pencapaian tujuan program pemecahan masalah).
5. Negosiasi (bernegosiasi
secara konstruktif dalam situasi-situasi konflik).
6. Komunikasi (dengan
berbagai pihak dan lembaga).
7. Konseling (melakukan
bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat dengan beragam latar kebudayaan)
8. Manajemen sumber
(memobilisasi sumber-sumber yang ada di masyarakat, termasuk manajemen waktu
dan aplikasi-aplikasi untuk memperoleh bantuan).
9. Pencatatan dan pelaporan
terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan monitoring dan evaluasi program.
DAFTAR PUSTAKA
Barker RL. 1987. The
Social Work Dictionary, Silver Spring, MD: National Association of Social Workers.
Chambers R.
1984. Rural Development: Putting the Last First. Harlow: Longman.
Chambers R. 1985. Rural Development: Putting the Last First.
London: Longman.
DuBois B, Miley KK. 1992. Social Work: An Empowering Profession.
Boston: Allyn and Bacon.
Ife J. 1995. Community
Development: Creating Community Alternatives, Vision, Analysis and Practice.
Mellbourne: Longman.
Lee J dan Swenson C. 1986. “The Concept of Mutual Aid”, dalam A.
Gitterman dan L. Schulman (eds), Mutual Aid and the Life Cycle, Itasca:
F. E. Peacock.
Mayo M. 1998. “Community Work”, dalam Adams,
Dominelli dan Payne (eds), Social Work: Themes, Issues and Critical Debates.
London: McMillan.
Netting FE, Kettner PM, McMurtry SL.
2004. Social Work Macro
Practice
(third edition).
Boston: Allyn and Bacon.
Parsons R, Jorgensen
JD, Hernandez SH. 1994. The
Integration of Social Work Practice. California: Brooks/Cole.
Payne M. 1986. Social
Care in The Community,
London: MacMillan.
Suharto
E. 2007. Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) (edisi ke-2).
Bandung: Alfabeta.
Suharto E.
2004. Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi Kasus
Rumah Tangga Miskin di Indonesia. Bandung: STKS Press.
Suharto E.
2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat:
Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (edisi ke-2).
Bandung: Refika Aditama.
Suharto E.
2007. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis
Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (edisi ke-4). Bandung: Alfabeta.
Suharto E. 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik.
Bandung: Alfabeta.
Suharto E. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial.
Bandung: Alfabeta.
Winarno B. 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik (cetakan kedua).
Yogyakarta: Media Pressindo.
PERANAN PENGAMBIL
KEBIJAKAN DALAM
PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
Ibnu Hamad[1]
ABSTRACT
The discussion of the paper uses communication
science approach. It is focused on the communication utilization by policy taker
to develop the community. The meaning of policy taker is the leader that has
the leadership characteristic. The main problem of this discussion is how the
communication utilization by the policy taker as the leader to develop the
community.
Key
words: policy taker, community development, communication
TIGA PERTANYAAN PENTING
Kiranya
tak perlu dinyatakan lagi bahwa para pengambil kebijakan memiliki peranan yang
sangat besar dalam pengembangan masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang diambil
oleh para pengambil kebijakan langsung atau tidak langsung selalu memberi
pengaruh terhadap pengembangan masyarakat. Bahkan kerapkali para pengambil
kebijakan sengaja mengambil suatu kebijakan dengan tujuan untuk mengembangkan
masyarakat.
Namun
begitu, ada tiga pertanyaan penting yang pantas dijawab terkait dengan judul
artikel ini:
a. Siapakah pengambil
kebijakan itu?
b. Apakah pengembangan
masyarakat itu?
c. Alat apa yang digunakan
para pengambil kebijakan untuk mengembangkan masyarakat?
Jawaban atas tiga
pertanyaan ini pastilah tidak tunggal. Setiap disiplin ilmu bisa memberi
jawaban yang berbeda. Namun di sini kita akan melihatnya dari perspektif
komunikasi, khususnya komunikasi kepemimpinan. Seperti dibahas antara lain oleh
Mai dan Akerson (2003), komunikasi memegang peranan penting bagi para pengambil
kebijakan untuk mengembangkan masyarakatnya. Sekalipun kedua pengarang ini
mengambil konteks manajerial untuk bukunya, kita dapat menerapkannya untuk
konteks masyarakat sebagaimana akan dibahas nanti.
Terkait dengan pemikiran
Mai dan Akerson ini, kita akan memperlakukan pengambil kebijakan sebagai
pemimpin (leader). Ada dua
alasan yang saling terkait mengapa para pengambil kebijakan di sini disamakan
dengan pemimpin. Pertama, dari cara para pengambil kebijakan melakukan
pekerjaannya, mereka cocok dengan pemimpin ketimbang pelaksana lapangan. Kedua,
para pemimpin lazimnya adalah para pengambil kebijakan. Para pemimpin adalah
mereka yang mengambil keputusan untuk dilaksanakan oleh para eksekutifnya atau
manajernya (selanjutnya lihat Tabel 1).
Seperti tampak pada
tabel 1, sebagai pemimpin maka para pengambil kebijakan mestilah melakukan
langkah-langkah sebagaimana layaknya pemimpin. Mereka menyiapkan seperangkat
cara berpikir yang memberikan inspirasi bagi masyarakatnya untuk bekerja sesuai
kebijakan yang diambilnya. Sebaliknya, pengambil kebijakan, oleh karena sifat
pekerjaannya, mestilah bukan seperti manajer yang melakukan pekerjaan-pekerjaan
teknis.
Tabel 1 Pengambil kebijakan
selaku pemimpin
Pemimpin |
Manajer |
“To Think” |
“To Do” |
Memberi inspirasi |
Mengerjakan tugas |
Mencipta inovasi |
Mewujudkan rencana |
Membangun visi |
Membuktikan mimpi |
Menunjukan arah |
Melakukan prosedur |
Memberi motivasi |
Mengatur manajemen |
“Let`s Go” |
“Go!” |
Sudah tentu para
pengambil kebijakan itu mengambil kebijakan itu dalam rangka mengembangkan
masyarakatnya. Sebagai pemimpin, para pengambil kebijakan harus membuat keputusan sebagai produk
kebijakannya. Keputusannya inilah yang sedikit-banyak memberi corak dan arah
pada masyarakat yang dipimpinnya. Masalahnya, kearah manakah perkembangan
masyarakat itu sebagai akibat diambilnya kebijakan oleh seorang dan atau
kelompok pengambil kebijakan? Apakah perkembangan masyarakat itu bergerak ke
arah maju ataukah ke arah mundur? Sejatinya,setiap kebijakan memberi dampak
pada perkembangan ke arah maju, bukan ke arah mundur (lihat Tabel 2)
Tabel 2 Ciri-ciri perubahan masyarakat
PERUBAHAN KE ARAH MAJU |
PERUBAHAN KE ARAH
MUNDUR |
Masyarakat mengalami (R)evolusi kebudayaan. |
Berkembangnya romantisme budaya. |
Struktur dan kultur masyarakat berubah. |
Struktur dan kultur berjalan di tempat dan
menghasilkan involusi budaya |
Menangnya kemampuan otak atas kekuatan otot.
Masyarakat makin “civilize” |
Bangga atas kekuatan otot ketimbang kemampuan
otak. |
Tumbuh kembangnya golongan reformis dan civil
society |
Memperbanyak golongan reaksioner dan barbar. |
Mungkinkah dalam alam
modern seperti sekarang masih ada peluang sebuah kebijakan yang mendorong
masyarakat bergerak ke arah mundur? Jawabannya, sangat berpeluang! Boleh jadi
mula-mulanya mereka tidak mereka sadari, tetapi dampaknya luar biasa. Pengambil
kebijakan yang cerdas niscaya membawa perubahan ke arah maju; sebaliknya
pengambil kebijakan yang bebal pasti menjerumuskan masyarakat ke arah mundur.
Pengambil kebijakan yang
cerdas dimaksud di sini adalah mereka yang dalam setiap pengambilan
keputusannya mendasarkan diri pandangannya pada etika summum bonum,
yaitu sifat-sifat kebaikan tertinggi untuk sebanyak-banyak manusia. Tipe
pengambil keputusan jenis ini boleh dibilang para pejuang yang ikhlas yang
mengabdikan dirinya untuk kebaikan sebanyak mungkin manusia. Sebagai buah dari
pengambilan keputusannya, masyarakat berkembang baik dalam struktur maupun
kultur. Setiap anggota masyarakat terlibat dalam perubahan tersebut menju
masyarakat madani.
Sedangkan, pengambil
kebijakan yang bebal dimaksud di sini adalah mereka yang dalam setiap
pengambilan keputusannya berdasarkan egoisme diri dan kelompok terdekatnya
semata. Nepotisme merupakan sifat utama dalam diri pengambil keputusan
yang bebal. Tipe pengambil keputusan jenis ini tiada lain adalah pemimpin yang
otoriter. Masyarakat hanya dijadikan obyek semata. Akibat dari
keputusan-keputusannya, masyarakat berjalan di tempat. Konflik pun tak
terhindarkan di tengah masyarakat. Alhasil, struktur dan kultur masyarakat
menjadi hancur.
Dalam pembahasan lebih
lanjut akan ditunjukkan bahwa ke arah mana para pengambil kebijakan membawa
perubahan, dari perspektif komunikasi, tergantung pada cara para pengambil
kebijakan dalam berkomunikasi dengan masyarakatnya. Akan tampak nanti bahwa
komunikasi merupakan kunci bagi para pengambil kebijakan selaku pemimpin dalam
mengembangkan masyarakat. Namun sebelum itu, ada baiknya kita pahami
sedikit-banyak mengenai pengembangan masyarakat itu sendiri.
PENGEMBANGAN MASYARAKAT, ANTARA KONVENSI DAN INTERVENSI
Sudah
menjadi aksioma bahwa masyarakat selalu berada dalam perubahan. Untuk yang satu
ini, dalilnya yang terkenal adalah: “tak ada yang tetap kecuali perubahan.”
Bahwasanya masyarakat, secara konvensional akan terus berubah. Adapun
intervensi tampaknya hanyalah mempercepat perubahan itu sendiri.
Begitu
realistisnya fakta perkembangan masyarakat itu, secara konvensi ataupun melalui
intervensi, telah membuat para ahli berbeda pendapat dalam merekonstruksikan
perkembangan masyarakat ini. Menariknya, kelima tokoh (lihat Tabel 3) memiliki
kesamaan bahwa perkembangan masyarakat selalu melalui tiga tahapan.
Tabel 3 Perkembangan
Masyarakat Menurut Tokoh
Nama Tokoh |
Tahap 1 |
Tahap 2 |
Tahap 3 |
August Comte |
Mitos |
Metafisik |
Positivis |
van Peursen |
Mitis |
Ontologis |
Fungsional |
Dissanayake |
Pertanian |
Industri |
Informasi |
Alvin Toffler |
Otot |
Modal |
Informasi |
Ziauddin Sardar |
Sejarah |
Kesadaran |
Umran |
Sumber: Ibnu Hamad: diolah dari berbagai sumber
Tampak
dalam Tabel 3 ini, ada tiga kelompok pandangan mengenai perkembangan
masyarakat. Comte dan van Peursen lebih melihat perkembangan masyarakat dari
cara berpikirnya (tentu saja akhirnya mempengaruhi cara kerja). Bahwasanya cara
berpikir masyarakat berubah dari semula percaya pada hal yang berbau mitos
(takhayul) kepada cara berpikir metafisis berdasarkan keyakinan pada kekuatan
ilahiyah sebelum akhirnya berpikir secara positivis: bahwa yang dialami itulah
yang diyakini.
Sedangkan
Dissanayake dan Toffler lebih melihat perkembangan masyarakat dari cara
bekerjanya (tentu saja sangat dipengaruhi oleh cara berpikirnya) dalam
memperoleh sumber penghidupan/pendapatan. Bahwasanya cara masyarakat memperoleh
pendapatan berubah dari semula dengan cara bertani kemudian mendapatkannya dari kegiatan
industri akhirnya dari kegiatan di dunia informasi.
Adapun
Sardar lebih melihat perkembangan masyarakat dari cara membangun peradabannya
(tentu saja tak terlepas daru cara berpikir dan cara kerjanya). Bahwasanya
setiap masyarakat memiliki sejarahnya sendiri. Jika memiliki kesadaran atas
kondisi kesejarahannya niscaya akan membangun peradabannya (umran) berdasarkan
modal kesejarahannya itu. Sardar menempatkan perkembangan masyarakat dalam
secara hostorikal.
Yang
paling penting, perlu diingat bahwa perkembangan masyarakat tersebut disertai
dengan cara mereka menghadapi kehidupannya. Setiap perkembangan diikuti dengan
teknologi–baik hardware maupun software—yang berbeda. Dalam Tabel 4,
kita dapat melihat “isi” dari setiap perkembangan masyarakat itu.
Tabel 4
Ciri-ciri dari tiga
tahap
perkembangan
masyarakat
No. |
Kategori perubahan |
Masyarakat Pertanian |
Masyarakat Industri |
Masyarakat Informasi |
1. |
Produk |
Makanan |
Barang |
Informasi |
2. |
Faktor produksi |
Tanah |
Modal (uang) |
Keahlian |
3. |
Tempat produksi |
Rumah |
Pabrik |
Utilitas informasi
|
4. |
Aktor |
Petani/artis |
Pekerja pabrik |
Teknisi |
5. |
Sifat teknologi |
Perkakas |
Tenaga |
Teknologi
informasi |
6. |
Metodologi |
Trial and error |
Eksperimen |
Teori/simulasi |
7. |
Faktor petunjuk |
Tradisi |
Pertumbuhan
ekonomi |
Kodifikasi
pengetahuan |
8. |
Syarat
keberhasilan |
Bicara |
Melek baca dan
tulis |
Melek visual/ komputer |
9. |
Aturan yang
dipakai |
Hirarkis/ otoriter
|
Demokrasi
representasi |
Demokrasi
partisipatif |
10. |
Prinsip kesatuan |
Regionalisme |
Nasionalisme |
Globalisme |
Sumber: Dissanayake (1983) dalam
Nasution (1989)
Dalam
Tabel 4 ini tampak bahwa faktor teknologi informasi komunikasi (information technology communication—ICT)
memegang peranan penting dalam perkembangan masyarakat. Dunia hampir sepakat
bahwa semakin mutakhir zaman, semakin besar peranan ICT dalam setiap aspek
kehidupan masyarakat sehingga semakin banyak masyarakat yang menjadi bagian
dari masyarakat informasi. Bahkan kehidupan pribadi kita, kini banyak
ditentukan oleh ICT.
Kenyataannya
dewasa ini, baik pertanian maupun industri memerlukan topangan ICT. Kegiatan
pertanian yang berbasiskan industri atau populer disebut agro-industri
membutuhkan ICT untuk mengoperasikannya, sejak dari penentuan masa tanam,
pemilihan bibit, pemeliharaan lahan dan tanaman, pemanenan, pasca-panen,
penjualan, hingga pasca-penjualan. Apalagi industri. Hampir tak ada industri
yang melepaskan diri dari campur-tangan ICT, mulai dari pra-produksi, produksi,
pencarian dan perluasan pasar, promosi dan pemasaran, penjualan, hingga
pasca-penjualan. Industri yang tidak ditopang oleh ICT dewasa ini akan collapse.
Untuk
diketahui, arti dari masyarakat pertanian adalah masyarakat yang sebagian besar
anggotanya memperoleh pendapatan dari bidang pertanian. Masyarakat industri
adalah masyarakat yang sebagian besar anggotanya memperoleh pendapatan dari
kegiatan industri. Sedangkan masyarakat informasi adalah masyarakat yang
sebagian besar anggotanya memperoleh pendapatan dari sektor informasi, baik
dalam pengumpulan, pengolahan, diseminasi, maupun dalam pemantuan dan evaluasi
dari penyebaran informasi.
Yang
sering jadi pertanyaan: benarkah masyarakat pertanian akan ditinggal sama
sekali sehingga manusia menjadi masyarakat informasi? Betulkah masyarakat
informasi selalu berorientasi pada ICT yang modern, serba komputer, dan harus
tersambung dengan jaringan internasional (internet), akan melupakan sektor
pertanian dan industri?
Kiranya
jawabannya sudah pasti: tidak. Yang akan terjadi adalah konvergensi antara
ketiganya. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat mengikuti tahapannya hingga
tahapannya yang ketiga (apapun sebutannya), bahkan mungkin yang keempat, ketiga
bidang tersebut–pertanian, industri dan informasi—akan saling menopang.
Pertanian diperlukan guna memasok bahan mentah dan bahan baku industri. Mesin
dan manual sebagai elemen dasar teknologi diperlukan guna mendukung pertanian
dan informasi yang efisien dan efektif, produktif dan higienis, massif namun pro-lingkungan.
Manajemen informasi diperlukan agar pertanian dan teknologi agar user
friendly.
Justru
dalam situasi demikian itulah, intervensi para pengambil kebijakan (jika memang
berniat melakukan intervensi) diperlukan guna memberi corak dan arah yang produktif
lagi positif untuk perkembangan masyarakatnya. Para pengambil kebijakan selaku
pemimpin harus mampu memadukan antara ketiga elemen pertanian, industri, dan
informasi dalam rangka mengembangkan masyarakatnya ke arah yang lebih maju.
Apalagi untuk konteks masyarakat Indonesia kemampuan memadukan ketiga unsur
tersebut amatlah diperlukan mengingat di Indonesia hidup dan berkembang ketiga
jenis masyarakat tersebut: masyarakat pertanian (sebagian besar lapisan
masyarakat termasuk di sini masyarakat primitif), masyarakat industri (semakin
besar lapisannya), dan masyarakat informasi (mulai membesar lapisannya).
Jika
dan hanya jika para pengambil kebijakan mampu mengambil keputusan yang tepat
dengan karakter sebagian besar masyarakatnya, maka intervensi pengembangan
masyarakat akan berhasil dengan baik. Banyak kasus penetapan kebijakan yang
gagal memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu contohnya adalah pembentukan
Koperasi Unit Desa (KUD). Oleh karena
kabijakannya bersifat top down,
membuat kebijakan ini gagal membuktikan diri sebagai konsep yang bagus.
KOMUNIKASI SEBAGAI ALAT INTERVENSI
Dari
sudut pandang komunikasi, perkembangan masyarakat itu terjadi karena faktor
komunikasi. Oleh karena masuknya informasi kepada suatu kelompok masyarakat
(baca, komunitas), maka komunitas itu berkembang. Dengan informasi yang
dimilikinya, setidaknya para anggota komunitas itu berpikir untuk mengembangkan
diri. Syukur-syukur jika setelah itu
mereka membuat rencana dan melakukan tindakan untuk merubah dirinya dan kelompoknya.
Sebaliknya,
mana mungkin sebuah komunitas akan berubah jika tiada ada informasi yang masuk
kedalamnya. Tanpa informasi yang dimilikinya, berpikir untuk mengembangkan diri
saja mereka tidak mungkin. Apalagi sampai mereka membangun rencana dan melakukan
tindakan untuk merubah dirinya dan kelompoknya.
Memang
tak selamanya perkembangan itu terjadi akibat adanya intervensi. Boleh jadi
perkembangan itu bermula dari kesadaran internal para anggota komunitas
tersebut. Suatu waktu di antara para anggota komunitas ada satu dan dua orang
yang memperoleh pencerahan diri, setelah mengakses informasi secara sukarela,
lalu menemukan arti pentingnya kemudian menyebarkannya kepada para anggota
komunitasnya untuk medorong perubahan. Itulah mereka yang sering disebut inner
agent of change.
Tetapi
pengambil kebijakan selaku pemimpin dalam pengertian sebagai external agent
of change kerapkali diperlukan mengingat biasanya komunitas sukar berubah
tanpa intervensi pihak luar. Para pengambil kebijakan ini dapat memasukkan informasi
yang dianggap perlu untuk pengembangan masyarakatnya. Selaku agen perubahan,
pengambil kebijakan bukan saja secara memilih informasi yang mampu memberi
corak dan arah perkembangan masyarakatnya; melainkan mengajak komunitasnya itu
berdiskusi dan mengajak mereka terlibat dalam proses pengambil kebijakan serta
dalam pelaksanan dan pengawasannya.
Jika komunikasi dapat
dijadikan alat intervensi pengembangan masyarakat oleh para pemimpin (para
pengambil kebijakan), pertanyaannya adalah fungsi-fungsi komunikasi apakah yang
bisa digunakan? Untuk ini kita dapat belajar dari buku The Leader as
Communicator karya Mai dan Akerson (2003). Sekalipun buku ini mengambil
konteks manajemen, tetapi saya kita kisi-kisinya tentang fungsi komunikasi
kepemimpinan bisa juga diterapkan untuk konteks komunitas.
Mengacu pada buku ini,
terdapat tiga isu utama dalam komunikasi kepemimpinan dalam rangka
mengembangkan komunitasnya, yaitu:
a) Komunikasi yang
dilakukan pemimpin (pengambil kebijakan)
harus terkait dengan komitmennya pada kehidupan komunitas dan tujuannya
b)
Dalam
melaksanakan komunikasi, pemimpin harus sadar dan memahami tujuan dan prioritas
kehidupan komunikasi.
c)
Pemimpin
harus mau dan mampu membantu komunitas mencapai kehidupannya yang paling baik.
Berdasarkan ketiga prinsip
dasar di atas, secara garis besar, Mai dan Akerson menunjukkan tiga fungsi
utama komunikasi bagi pemimpin selaku untuk memberi corak dan arah masyarakat
yang dipimpinnya. Ketiga fungsi itu adalah:
(1) Komunikasi berfungsi
untuk menyatukan komunitas. Di sini pemimpin bertindak selalu pembina
masyarakat (The Leader as Community
Developer)
(2)
Komunikasi
berguna untuk menunjukkan jalan bagi komunitasnya. Dalam kaitan ini pemimpin
melaksanakan fungsi sebagai penunjuk jalan (The Leader as Navigator)
(3) Komunikasi dimanfaatkan
untuk memperbaharui tujuan-tujuan sosial. Selaku pemimpin, ia tak puas dengan
statusquo, selalu berupaya menemukan tantangan baru (The Leader as Renewal Champion).
Selanjutnya, Mai dan
Akerson menguraikan berbagai peran pemimpin dalam melaksanakan komunikasi
kepemimpinannya untuk masing-masing fungsi utama itu. Untuk fungsi pemimpin
selalu pembina masyarakat (The Leader
as Community Developer), terdapat peran:
Ø Meaning Maker, pemimpin sebagai
pembuat makna. Melalui penyampaian pesan-pesannya, pemimpin menghadirkan makna
yang relevan lagi konstruktif untuk komunitasnya. Misalnya, dengan mengatakan
bahwa komunitasnya adalah komunitas yang pantang menyerah!
Ø Story Teller, pemimpin sebagai tukang
cerita. Sudah pasti bukan sekadar cerita, tetapi cerita yang membangun perasaan
kebersamaan dalam komunitasnya. Boleh jadi cerita heroik.
Ø Trust Builder, pemimpin sebagai
pembangun saling kepercayaan. Melalui proses komunikasinya, pemimpin
menciptakan rasa saling percaya diantara para anggota komunitas. Semua dilakukan
demi soliditas komunitas.
Ketika pemimpin
melaksanakan komunikasi tugas sebagai penunjuk jalan (The Leader as Navigator) terdapat peran:
Ø Direction Setter. Sebagai pengatur arah,
komunikasi yang dilakukan hendaknya mampu menunjukkan arah mau dibawa kemana
komunitas yang dipimpinnya. Mungkin ia berkata, kita semua ingin jadi
masyarakat yang maju dan modern.
Ø Transition Pilot. Sebagai juru mudi yang
mengantarkan komunitas ke tujuannya, pemimpin mampu menyampaikan pesan kepada
komunitasnya bahwa mereka sedang bereada dimana dan berapa lama lagi akan
sampai tujuan!
Ø Linking Agent. Sebagai agen yang
menghubungan dengan pihak-pihak terkait, pemimpin berkomunikasi dengan pihak
terkait itu untuk menyambungkan komunitasnya dengan berbagai pihak yang
diperlukan untuk kemajuan komunitas.
Untuk pemimpin yang
selalu berupaya menemukan tantangan baru (The
Leader as Renewal Champion) terdapat peran:
Ø Critic. Pemimpin yang baik
ternyata tak cepat puas dengan prestasi yang telah diperolehnya. Ia mengajak
komunitasnya untuk mengkritisi apa yang telah dicapainya.
Ø Provocateur. Untuk kebaikan dan
kemajuan, pemimpin pada waktunya yang tepat diperlukan untuk menjadi provokator
bagi timbulnya ide-ide brilian dari komunitasnya.
Ø Learning Advocate. Tetapi pemimpin yang
arif juga bukan sekadar pandai menciptakan diskusi publik; tetapi memberi
pemberdayaan bagi publiknya untuk kemajuan dan kebaikan.
KESIMPULAN
Mengacu pada uraian di
atas, dapat ditarik kesimpulan, pertama, dari perspektif komunikasi
pengembangan masyarakat itu bisa dilakukan dengan kata-kata, bukan dengan
senjata. Melalui tulisan-tulisannya, ucapan-ucapannya dan pesan-pesan
non-verbalnya, pemimpin dapat mempengaruhi corak dan arah masyarakat yang
dipimpinnya. Melalui komunikasi yang telah dilakukannya, kepemimpinan seseorang
bisa dilacak jejak apa saja yang sudah,
sedang, bahkan yang akan dilakukannya dalam rangka pengembangan masyarakatnya.
Kedua, terkait dengan
kesimpulan yang pertama itu, komunikasi merupakan fungsi yang mesti selalu
melekat pada para pemimpin. Pemimpin harus bisa berkomunikasi untuk
menyampaikan gagasannya, menggali aspirasi masyarakat kemudian mengolahnya
serta menuangkannya kedalam suatu kebijakan, bahkan melalui komunikasi pemimpin
mesti mampu membangunan dinamika di tengah komunitasnya.
Ketiga, sebagai implikasinya
pemimpin mesti pandai berkomunikasi dengan masyarakatnya, dalam berbagai peran
sesuai waktu dan tempatnya. Kalau bisa secara lisan, maka bisa melalui tulisan.
Jika tak sempat kedua-duanya, bisa mengangkat juru-bicara. Oleh sebab komunikasi
merupakan hal yang sangat esensial untuk menghubungkan pemimpin dengan
masyarakat yang dipimpinnya, maka jangan harap ada keterhubungan di antara
keduanya jika tidak ada komunikasi. Yang pasti pula, masyarakatlah yang amat
dirugikan jika pemimpinnya tidak mau berkomunikasi. Tingkat perkembangan
masyarakat akan terganggu jika pemimpinnya tidak mau berkomunikasi dengan
masyarakat yang dipimpinnya.
Sebagai catatan, tentu
saja komunikasi bukan satu-satunya alat yang mesti digunakan oleh pemimpin
untuk pengembangan masyarakat. Lagi pula, jika komunikasi digunakan sebagai
alat intervensi untuk pengembangan masyarakat ke arah maju, maka dalam
komunikasinya ada kesesuaian antara kata dan perbuatan dari sang pemimpin
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Mai
R, Akerson A. 2003. The Leader as
Communicator. New
York: AMACOM.
Nasution
Z. 2002. Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya. Jakarta: Rajawali Pers.
STRATEGI MENINGKATKAN KEBERDAYAAN
KELUARGA MISKIN PEDESAAN
Ramli Toha[2] dan Amiruddin
Saleh[3]
ABSTRACT
Poor rural
families were part of rural society which need to improved was resources, in
order that they could efford to run family function, had creativity
in economy, social, physicology and sociology, that kind of creativity, poor
families hopefully could build harmonies in their life. These research had
correlation descriptive character which purposes; (a) analyzing factors that
cause poverty, (b) analyzing characteristic
of poor families from social economy aspect, physical characteristic,
physicology characteristic and sociology characteristic (c) knowing and
analyzing dependability pattern of triggering factors and characteristic of
poor families in promoting capability of poor families (c) building strategies
to promote capability of poor families according to trigger factor and
characteristic of rural poor families.
Research result showed internal environment and external factors which
influenced capability of poor families in rural area. Trigger factor that
emerge poor families were, poverty was already inherit by their elderly,
because their elderly didn’t have wide
farmland, low education background (they didn’t pass the elementary school in
average), didn’t have other skills beside farming. There were obvious
correlation among social economy, social capital, local intelegence and capability of poor families. According to
data and information that acquired from the research. Therefore strategic
concept was made and pointed, empowering competence of personal implementer of
government program in subdistrict level empowering poor families competence,
promoting poor families participation in government and private programs that operation in rural
area. Build poor families network with
business world in marketing their farm product and giving them facilitation to
get capital, seeds and tools that according to compete development that given
to poor peoples.
Key words:
capability, poor families
PENDAHULUAN
Latar belakang
Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat
dapat menjadi ujung tombak ekonomi,
kondisi keberdayaannya dapat
mempengaruhi keluarga yang lebih besar
(kerabat) hingga pembentukan perkumpulan yang bersifat ekonomi lainnya. Sebaliknya kalau keluarga terpuruk
menjadi keluarga miskin tidak segera
ditangani maka ia akan makin
terpuruk. Keluarga miskin biasanya
mempunyai aset yang sangat terbatas, tidak mempunyai keterampilan dan
cenderung pasrah kalau menghadapi
masalah. Keluarga miskin seperti ini
sangat rapuh dan makin terpuruk apabila kepala keluarga pencari nafkah meninggal, sakit, terkena
pemutusan hubungan kerja, terkena bencana alam
dan atau konflik sosial
lainnya.
Modal sosial masyarakat Indonesia cukup beragam
dan dapat dijadikan pilihan atau
alternatif dalam penanganan permasalahan kesejahteraan sosial khususnya
keluarga miskin di pedesaan. Putnam (1993) menunjukkan bukti bahwa
pertumbuhan ekonomi sangat berkorelasi
dengan kehadiran modal sosial. Pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat akan baik
apabila ciri-ciri berikut ini dimiliki oleh masyarakat: (1) hadirnya hubungan
yang erat antar anggota masyarakatnya; (2) adanya para pemimpin yang jujur dan
egaliter yang memperlakukan dirinya sebagai bagian dari masyarakat bukan
sebagai penguasa. Adanya saling percaya dan kerjasama di antara unsur
masyarakat.
Modal sosial memungkinkan
manusia bekerjasama untuk menghasilkan sesuatu yang besar. Akumulasi
pengetahuan akan berjalan lebih cepat melalui interaksi antar manusia. Hal tersebut menjadi kekuatan organisasi,
karena dia menciptakan berbagai inovasi.
Individu yang memiliki modal sosial yang tinggi ternyata lebih maju
dalam karir jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki modal sosial
rendah. Kompensasi yang diperoleh
pekerja juga dipengaruhi oleh modal sosial yang dimilikinya (Burn 1997). Demikian pula suksesnya seseorang didalam
memperoleh pekerjaan juga dipengaruhi oleh modal sosial yang dimilikinya (Lin
& Dumin 1996).
Berdasarkan
buku Kabupaten Lahat dalam Angka yang dikeluarkan Bappeda Kabupaten Lahat
(2008), Kabupaten Lahat terdiri dari 21 kecamatan dan 365 desa/ kelurahan. Jumlah penduduk 540.217 jiwa terdiri dari
370.217 laki-laki dan 370.000 orang perempuan. Jumlah penduduk tersebut menurut data dari Dinas Sosial Kabupaten Lahat (2009) terdapat
permasalahan kesejahteraan sosial
keluarga miskin sebanyak 2.084
kepala keluarga atau lebih kurang 10.420 jiwa (1,92%).
Data
sementara di lapangan diperoleh gambaran bahwa keluarga miskin di pedesaan
tertinggal di Kabupaten Lahat belum banyak disentuh oleh program pemerintah baik pusat maupun daerah. Pranata sosial lokal juga belum berbuat untuk menangani keluarga
miskin. Yayasan sosial pada tingkat kecamatan,
kecenderungan masih menangani anak yatim piatu. Dalam lingkup
masyarakat secara tradisional keluarga
miskin masih terbatas ditangani oleh kerabat terdekat, seperti paman, kakek,
kakak atau keluarga terdekat lainnya (extended
family). Masyarakat dalam sistem sosial yang luas belum ikut menangani
keluarga miskin.
Kondisi
di atas memperlihatkan bahwa penanganan keluarga miskin yang terbatas oleh
kerabat belum dapat menyelesaikan masalah. Hal ini disebabkan, jika dalam kerabat tersebut semua tergolong
keluarga miskin, maka keluarga miskin tersebut tidak akan mendapat bantuan
secara optimal dari kerabatnya. Di lain pihak banyak anggota masyarakat di desa
yang secara ekonomi dan latar belakang pendidikan cukup baik, namun belum
menunjukkan kepedulian terhadap keluarga miskin
yang ada di wilayahnya.
Masalah Penelitian
Berdasarkan
latar belakang permasalahan sosial keluarga miskin pedesaan Kabupaten Lahat di atas, maka
dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut:
1.
Apa faktor penyebab
keluarga miskin di pedesaan?
2. Bagaimana hubungan karakteristik keluarga miskin, modal sosial, kearifan
lokal, intervensi ekternal dan internal dengan keberdayaan keluarga miskin
pedesaan?
3. Bagaimana hubungan ciri
keluarga miskin pedesaan dengan keberdayaan keluarga miskin pedesaan?
4. Strategi seperti apa yang tepat untuk meningkatkan keberdayaan keluarga miskin pedesaan?
Tujuan Penelitian
Berkaitan
dengan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka secara umum penelitian ini
bertujuan untuk:
1.
mengidentifikasi faktor
penyebab timbulnya keluarga miskin di pedesaan.
2.
menganalisis hubungan karakteristik keluarga miskin, modal
sosial, kearifan lokal, intervensi internal dan eksternal penanganan keluarga
miskin dengan keberdayaan keluarga
miskin pedesaan.
3.
menganalisis hubungan ciri
keluarga miskin dengan keberdayaan keluarga miskin.
4.
menyusun strategi
meningkatkan keberdayaan keluarga miskin pedesaan.
Manfaat Penelitian
Berdasarkan
tujuan penelitian yang dicapai, hasil-hasil penelitian ini tentunya mampu
memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait, yakni:
1.
Secara akademis dapat
menghasilkan pengetahuan baru yaitu hubungan kebudayaan kemiskinan
dengan tingkat partisipasi masyarakat.
2.
Secara praktis dapat
memberikan sumbangan atau masukan bagi pemerintah untuk menyusun strategi meningkatkan
partisipasi masyarakat, dunia usaha dalam penanganan keluarga miskin, dan sebagai acuan bagi
organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat dan pemerhati permasalahan sosial
dalam melaksanakan intervensi pemecahan masalah kemiskinan.
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian
pekerja anak dari keluarga miskin, yang dilakukan Marwanti (2008) menunjukkan
bahwa upah yang didapatkan anak berkisar Rp 150.000- Rp 300.000 per
minggu. Besar-kecilnya upah sangat tergantung dari borongan pekerjaan yang ada. Upah
tersebut sebagian diberikan kepada orang
tua dan dipakai sendiri untuk makan, jajan dan ditabung. Keluarga responden penelitian termasuk
keluarga luas dalam arti keluarga tidak hanya terbatas pada ayah, ibu dan anak
saja, melainkan kakek, nenek, cucu, menantu tinggal bersama dalam satu rumah. Hasil penelitian
selanjutnya menunjukkan pekerja
anak menjadi tumpuan keluarganya dalam
menopang kebutuhan hidup keluarga. Orang
tua pekerja anak lebih banyak bekerja serabutan seperti membuat kantong kertas,
kaos, topi dan bendera. Penghasilan dari pekerjaan tersebut sangat tergantung
dari pesanan, kalau lagi tidak ada pesanan berarti menganggur.
Kemiskinan
Dalam
pandangan teori budaya miskin, menurut Lewis (1966), kemiskinan itu cenderung
kekal karena diwariskan dari generasi ke generasi dalam suatu sistem sosial
yang mereka warisi bersama. Pandangan
ini mendapat dukungan seperti yang dibicarakan Lipton (1976) bahwa kemiskinan
absolut itu disebabkan oleh dua faktor yaitu pertama faktor genetik yaitu
kemiskinan yang telah ada yang terus diwarisi sejak mereka lahir disebabkan
kondisi keluarga mereka miskin, kedua kondisi lingkungan sosial yang nyata dan
mengekali nilai atau kebiasaan yang diamalkan orang miskin juga telah
menyumbang kepada kemiskinan secara budaya.
Lewis (1966) menyatakan sekurang-kurangnya
ada lima kondisi yang menyebabkan kekalnya budaya miskin. Budaya miskin lahir dalam masyarakat karena: (1) mengamalkan sistem ekonomi tunai,
upah kerja dan produksi untuk tujuan keuntungan; (2) tingginya angka
pengangguran dan pekerja tanpa skill; (3) tingkat upah yang sangat
rendah; (4) berlakunya kegagalan sistem sosial, politik dan ekonomi dalam
membantu masyarakat berpendapatan rendah; (5) adanya suatu sistem nilai yang
diamalkan dalam kelas dominan yaitu kelompok kaya sebagai pengaruh kelas
lainnya.
Secara
ekonomi, kemiskinan didefinisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumber daya yang dimaksudkan di sini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua
jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti
luas.
Berdasarkan
konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan
persediaan sumber daya yang dimiliki melalui penggunaan
standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Badan
Pusat Statistik (2006) menyebutkan garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang
diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan
setara 2.100 kalori perorang perhari dan
kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan,
transportasi, aneka barang dan jasa lainnya.
Keluarga
Murdock
(1965) menjelaskan bahwa keluarga sebagai suatu kelompok manusia yang hidup
bersama, yang terbentuk karena ikatan perkawinan, darah dan adopsi. Dalam melaksanakan hidup berumahtangga, mesti
didasari oleh saling menghargai, saling menghormati setiap peran anggotanya,
sehingga dapat memelihara dan menciptakan budaya bagi kemanusiaan. Keluarga dapat dibedakan antara
keluarga inti (nuclear family)
dan keluarga besar (extended family).
Perkembangan
bentuk keluarga, menurut Dubois (1992)
meliputi antara lain: (1) Keluarga campuran yaitu keluarga yang menikah setelah
masing-masing pasangan atau salah satu pasangan bercerai. Mereka menikah dengan
membawa anak dari hasil pernikahan sebelumnya; (2) Keluarga orang tua tunggal,
yaitu keluarga yang hanya memiliki satu orangtua. Mereka biasanya terdiri dari
seorang ayah atau seorang ibu saja.
Bentuk keluarga ini biasanya terjadi karena adanya perceraian, salah satu pasangan
meninggal dunia, atau orangtua yang memiliki anak di luar pernikahan dan memutuskan untuk
membesarkan anaknya sendiri; (3) Keluarga multi generasi, yaitu keluarga yang
terdiri dari beberapa generasi yang tinggal dalam satu rumah tangga. Dalam
keluarga tersebut ada kakek atau nenek, sampai cucu atau buyut.
Pemberdayaan
Menurut Horton
(1987), pemberdayaan dan
partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan
ekonomi sosial, dan transformasi budaya.
Proses ini pada akhirnya, dapat menciptakan pembangunan yang lebih
berpusat pada rakyat. Salah satu agenda
internasional Bank Dunia misalnya
percaya bahwa partisipasi masyarakat di dunia ketiga merupakan sarana
yang efektif untuk menjangkau masyarakat miskin melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat
menolong diri sendiri. Cara
terbaik untuk mengatasi masalah pembangunan adalah membiarkan semangat
wiraswasta tumbuh dalam kehidupan masyarakat, mendorong masyarakat berani
bersaing, berani mengambil resiko, menumbuhkan semangat untuk menemukan hal-hal baru (inovasi) melalui
partisipasi masyarakat.
Masyarakat Pedesaan
Desa
adalah satu daerah hukum yang ada sejak beberapa keturunan dan mempunyai ikatan
sosial yang hidup serta tinggal menetap di suatu daerah tertentu, dengan
adat-istiadat yang dijadikan landasan hukum dan mempunyai seorang pimpinan
formal yaitu kepala desa. Kalau kita
soroti secara umum, masyarakat yang berdiam di daerah pedesaan seringkali
dianalogikan dengan berbagai stigma seperti tidak berpendidikan, terisolasi
secara fisik dan mental, sederhana dalam cara hidup, tidak sehat, jauh dari kemajuan, kolot dan
sebagainya. Anggapan seperti itu tidak
selalu benar, karena dalam kenyataan sehari-hari kita lihat masyarakat di desa
berjuang menapaki tangga kehidupan dengan cara mereka masing-masing.
Modal Sosial
Woolcock (2001) mengklasifikasikan modal sosial menjadi empat tipe utama, yaitu:
(1) tipe ikatan solidaritas (bounder solidarity), dimana modal sosial
menciptakan mekanisme keterpaduan
kelompok dalam situasi yang
merugikan kelompok, (2) tipe
pertukaran timbal-balik (reciprocity transaction), yaitu
aturan yang melahirkan pertukaran antara pelaku, (3) tipe nilai luhur (value introjection), yakni gagasan dan nilai, moral yang luhur
dan komitmen melalui hubungan-hubungan kontraktual dan menyampaikan
tujuan-tujuan individu dibalik tujuan instrumental dan (4) tipe membina
kepercayaan (enforceable trust), bahwa institusi formal dan kelompok-kelompok partikelir menggunakan
mekanisme yang berbeda untuk menjamin pemenuhan keperluan berasaskan
kesepakatan terdahulu dengan menggunakan mekanisme rasional.
Kearifan Lokal
Menurut Ife (Sonarso et al. 2005), kearifan lokal adalah
kematangan masyarakat di tingkat komunitas lokal yang tercermin dalam sikap, perilaku dan cara
pandang masyarakat yang kondusif di
dalam pengembangan potensi dan sumber lokal baik material maupun non-material
yang dapat dijadikan kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih
baik atau positif. Kearifan lokal
meliputi pengetahuan lokal, budaya lokal, keterampilan lokal, sumber
lokal dan proses sosial lokal.
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir
Kemiskinan
adalah suatu kondisi ketidakmampuan seseorang, keluarga, kelompok, masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan fisik (pangan, sandang, papan) dan non-fisik
(kesehatan, pendidikan, rasa aman). Penanganan kemiskinan tidak mungkin hanya
ditangani oleh pemerintah, juga perlu melibatkan masyarakat dan pihak swasta
termasuk dunia usaha. Permasalahan kemiskinan adalah menyangkut
kegagalan pemenuhan hak-hak dasar seperti terbatasnya kecukupan dan mutu
pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu pelayanan kesehatan, terbatasnya akses dan mutu layanan
pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya akses layanan perumahan, terbatasnya akses air
bersih, sanitasi dan rasa aman, lemahnya kepastian penguasaan dan pemilikan
tanah dan lemahnya partisipasi
masyarakat. Di samping itu, kemiskinan
disebabkan lemahnya penanganan masalah kependudukan, ketidaksetaraan dan
ketidakadilan gender, kesenjangan antar daerah dan lain-lain.
Untuk
mengatasi kemiskinan tersebut diperlukan kemampuan pemerintah untuk membangun
kerjasama dengan pihak swasta dalam hal ini pihak dunia usaha, masyarakat dan negara lain yang telah berhasil dalam
upaya penanganan kemiskinan, sehingga hak-hak dasar seperti di atas dapat
terpenuhi. Sesuatu yang tidak kalah penting dalam penanganan kemiskinan
adalah memperluas partisipasi
masyarakat, sehingga modal sosial dan
kearifan lokal masyarakat mampu menyokong penanganan kemiskinan. Kemiskinan
keluarga ditandai oleh ciri fisik, psikologis dan ciri sosiologis.
Modal
sosial yang berkembang dengan kuat dalam suatu masyarakat dapat menjadi
alternatif bagi masyarakat dalam mengatasi permasalahan sosial yang ada dalam
masyarakat termasuk dalam penanganan kemiskinan. Dalam arti bahwa jaringan kerja yang
terkandung dalam modal sosial dapat dimanfaatkan untuk pengembangan masyarakat
secara menyeluruh. Masyarakat yang mempunyai modal sosial yang tinggi akan
mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi, sebaliknya masyarakat yang memiliki
modal sosial rendah mempunyai kemampuan yang rendah dalam mengatasi persoalan
di lingkungannya. Aksi sosial individu,
keluarga, masyarakat dengan mematuhi
norma, jaringan kerja akan makin mendorong peningkatan kerjasama dalam
masyarakat.
Kemiskinan
pada hakekatnya tidak lepas dari kebodohan atau keterbelakangan suatu
komunitas, baik di bidang pendidikan maupun kondisi sosial budaya
masyarakat. Hal
ini berarti bahwa, bila penanganan kemiskinan hanya dipusatkan pada satu aspek
saja, maka hasilnya tidak akan memuaskan. Misalnya penanggulangan kemiskinan
yang hanya difokuskan pada bidang pendidikan, atau dengan cara memberikan dana
yang melimpah, tidak akan menghasilkan output yang optimal. Oleh karena
itu, pendekatan penanganan kemiskinan
hendaknya dilaksanakan secara interdisipliner yaitu menyangkut bagaimana
mengadakan perubahan sikap, peningkatan pengetahuan dan peningkatan
keterampilan individu, kelompok maupun masyarakat.
Kerangka
operasional, seperti tersaji pada Gambar 1 menunjukkan keterkaitan peubah
independen yaitu peubah karakteristik wilayah, modal sosial, kearifan lokal dan
intervensi penanganan keluarga miskin yang dilaksanakan masyarakat, organisasi
sosial/lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah dengan peubah antara berupa
ciri keluarga miskin (ciri sosial ekonomi, fisik, psikologis dan ciri
sosiologis) dan peubah dependen yang dalam hal ini adalah keberdayaan keluarga
miskin di pedesaan. Untuk mengajukan
masukan analisis hubungan peubah independen, peubah antara dan peubah dependen,
maka dilanjutkan penggalian problem
solving dengan instrumen Nominal
Group Technique (NGT). Hasil NGT tersebut dijadikan dasar dalam menyusun
strategi penanganan keluarga miskin pedesaan.
PEUBAH BEBAS PEUBAH ANTARA PEUBAH TAK BEBAS
Y1 CIRI KELUARGA MISKIN Y1.1. CIRI SOSIAL- EKONOMI Y1.2. CIRI FISIK Y1.3. CIRI PSIKOLOGI Y1.4. CIRI SOSIOLOGI Y2 KEBERDAYAAN KELUARGA MISKIN Y2.1. MAMPU MENJALANKAN FUNGSI KELUARGA Y2.2. MENINGKATKAN KREATIVITAS (MOTIVASI) Y2.3. KEHARMONISAN KELUARGA KARAKTERISTIK KLG MISKIN X1. LATAR BELAKANG PENDDKN X2 PEKERJAAN KEG. KELUARGA X3 PEMILIKAN LAHAN SAWAH X4 PEMILIKAN LAHAN KOPI X5 PEMILIKAN LAHAN KARET X6 PEMILIKAN TERNAK X7 KEMAMPUAN MEMENUHI KEBUTUHAN FISIK, SOSIAL, PSIKOLOGIS KARAKTERISTIK WILAYAH X8 TINGKAT ISOLASI ·
INFRASTRUKTUR ·
TRANSPORTASI X9 TOPOGRAFI ·
DATAR ·
BERBUKIT ·
SUBUR ·
TANDUS X10 MODAL SOSIAL ·
SOLIDARITAS SOSIAL ·
KEPERCAYAAN ·
NILAI LUHUR ·
PERTUKARAN TIMBAL
BALIK X11 KEARIFAN LOKAL ·
KETERAMPILAN LOKAL ·
PENGETAHUAN LOKAL ·
NILAI-NILAI LOKAL X12 INTERVENSI PENANGANAN KELUARGA MISKIN ·
INTERNAL, EKSTERNAL
Gambar 1 Kerangka operasional hubungan antara peubah
penelitian
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan
uraian kerangka berpikir di atas dan rumusan permasalahan penelitian, disusun
hipotesa penelitian sebagai berikut:
1.
Karakteristik keluarga
miskin mempunyai hubungan nyata dengan keberdayaan keluarga miskin.
2.
Modal sosial mempunyai
hubungan nyata dengan keberdayaan keluarga miskin.
3.
Kearifan lokal mempunyai hubungan nyata dengan keberdayaan
keluarga miskin.
4.
Intervensi kerabat,
masyarakat, pemerintah dalam penanganan keluarga miskin mempunyai hubungan
nyata dengan keberdayaan keluarga miskin.
5.
Ciri keluarga miskin
berhubungan nyata dengan keberdayaan keluarga miskin.
METODE PENELITIAN
Penelitian didesain
sebagai survei deskriptif korelasional
dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Menurut Ismani (1988), penelitian
deskriptif menggambarkan realita-realita sosial yang komplek sifatnya dalam
relevansinya dengan aspek sosiologis, antropologis untuk mendapatkan
justifikasi, perbandingan-perbandingan dan evaluasi.
Lokasi
penelitian di Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan, dengan sampel lokasi dua kecamatan dan 12 desa.
Penentuan dua kecamatan tersebut di- dasarkan pada besarnya populasi
keluarga miskin di dua kecamatan, yakni sebesar
528 kepala keluarga (25,34%) dari
populasi keluarga miskin di Kabupaten Lahat. Di samping itu ditetapkan dua Kecamatan Mulak Ulu dan Merapi Timur untuk mewakili dua suku besar.
Kecamatan Mulak Ulu mewakili kondisi Suku Besemah dan Kecamatan Merapi Timur
mewakili Suku Lematang. Secara rinci
lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1
berikut ini.
Tabel 1 Lokasi penelitian
No |
Kecamatan Mulak
Ulu |
No. |
Kecamatan Merapi
Timur |
1 |
Desa Lesung Batu |
7 |
Desa Prabu Menang |
2 |
Desa Datar Balam |
8 |
Desa Gunung Kembang |
3 |
Desa Mengkenang |
9 |
Desa Gedung Agung |
4 |
Desa Sengkuang |
10 |
Desa Muara Lawai |
5 |
Desa Geramat |
11 |
Desa Tanjung Jambu |
6 |
Desa Lawang Agung |
12 |
Desa Tanjung Lontar |
Menurut
Ismani (1988), populasi adalah seluruh elemen yang menjadi obyek penelitian.
Kesatuan-kesatuan elemen dalam populasi biasanya berupa orang, perusahaan,
rumah tangga, kepemimpinan dan lain-lain. Sampel Menurut
Ismani (1988) secara letterleg adalah contoh, monster
representantif atau wakil dari suatu populasi.
Responden penelitian terdiri dari
aparat kecamatan, aparat desa, tokoh masyarakat, tokah pemuda, pada tingkat kecamatan dan desa. Masyarakat dan keluarga miskin di
desa. Jumlah responden sebanyak 264
orang dengan rincian dari dua kecamatan lokasi penelitian,
ditetapkan 12 desa, setiap desa diambil
responden sebanyak 22 orang.
Data
kuantitatif yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan: (1) analisis
statistik deskriptif untuk menjelaskan data dan hasil pengamatan umum dalam
bentuk frekuensi, prosentasi, mean, persentil, rataan skor dan tabulasi
silang, dan (2) untuk menguji hipotesis penelitian, guna mengungkap hubungan
antar peubah digunakan analisis statistik inferensial (Siegel
1997), berupa uji korelasi Tau-b Kendall.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik responden
keluarga miskin
Secara
umum latar belakang pendidikan
responden kepala keluarga sangat rendah hal ini terlihat dalam pengelompokan
yaitu tidak tamat SD 15,4 persen, tamat SD dan tidak tamat SLTP 50 persen, tamat SLTP 34,6 persen. Dilihat dari
pekerjaan menunjukkan sebanyak 89,6
persen kepala keluarga miskin
menekuni satu pekerjaan yaitu
menjadi petani, petani penggarap dan petani buruh. Sebanyak 10 persen kepala
keluarga keluarga yang menekuni pekerjaan lain selain bertani, yaitu menjadi
buruh bangunan atau buruh tani, buruh perkebunan Sawit dan hanya satu orang
(0,4%) yang tidak memiliki pekerjaan
tetap. Dalam wawancara kepada buruh tani dan buruh pertambangan tipe C (penggalian pasir dan batu), diperoleh gambaran bahwa buruh tani di sawah dan buruh kebon
kopi mendapat upah harian berkisar antara Rp 15.000,00 sampai dengan Rp 20.000,00 perhari tanpa diberi makan oleh pemilik sawah/kebon. Mereka membawa bekal
sendiri. Jam kerja buruh tani mulai pukul
delapan pagi sampai dengan
pukul 16.00, dengan waktu istirahat pukul 12.00 sampai dengan pukul 13.30. Waktu istirahat digunakan oleh para buruh
untuk makan siang, sembahyang lohor, dan berbincang-bincang dengan sesama buruh.
Buruh penambang pasir dan batu mendapat upah harian
berkisar antara Rp 20.000,00 sampai dengan Rp 25.000,00. Buruh tambang juga tidak mendapat bantuan makanan dari pemilik tambang,
mereka membawa bekal dari rumah. Sedangkan buruh kebun sawit mendapat upah
secara bulanan berkisar Rp
500.000,00-Rp 600.000,00 setiap hari para
buruh dijemput dengan truk. Penjemputan dimulai pukul delapan pagi dan
pemulangan pada pukul 15.00 siang. Tugas para buruh di kebon sawit adalah panen buah sawit, pembersihan kebon sawit
termasuk pemotongan pelepah sawit yang sudah mati, pemupukan pohon sawit, pengangkatan buah sawit ke
truk-truk yang telah disediakan.
Dalam
hal pemilikan lahan hampir semua
responden keluarga miskin menyatakan memiliki
lahan yang sempit. Pemilikan lahan sawah sebanyak 161 responden (67%) menyatakan memiliki lahan
sawah kurang dari 0,6 ha, 57 responden
(23,8%) memiliki lahan 0,6 ha sampai dengan 1,3 ha dan hanya 22 responden (9,2%) memiliki lahan
sawah di atas 1,3 ha. Pemilikan lahan kopi sebanyak 202 responden (84,2%) menyatakan memiliki lahan kurang dari
1,3 ha, 30 responden (12,5%) memiliki lahan 1,3 ha sampai dengan 2,7 ha dan
hanya delapan responden (3,3%) memiliki lahan kopi lebih dari 2,7 ha. Pemilikan
lahan karet sebanyak 205 responden (85,4%) memiliki kebon karet kurang dari dua ha. Sekitar 32
responden (13,3%) memiliki kebon karet dua hingga empat
hektar dan hanya tiga responden yang menyatakan memiliki lahan
karet lebih dari empat hektar. Untuk kecamatan Mulak Ulu, kebun karet rakyat belum berproduksi karena baru berumur
kurang dari dua tahun. Penanaman karet
dilakukan masyarakat pada lahan kering
yang selama ini merupakan lahan tidur yang dipenuhi oleh rumput dan alang-alang. Lahan pekarangan
belum banyak dimanfaatkan secara optimal, tanaman pekarangan rumah masih didominasi oleh pohon ketela pohon, pohon
cabe rawit dan pohon keladi. Tanaman
pekarangan belum bersifat ekonomi dalam arti digunakan untuk peningkatan
pendapatan, mereka hanya menanam sekedar untuk mencukupi keperluan rumah tangga saja.
Perikanan darat yang dikelola keluarga miskin di pedesaan juga belum
beorientasi untuk dijual, mereka yang
mempunyai kolam ikan hanya digunakan untuk
keperluan keluarga seperti hajatan/syukuran.
Pemilikan
ternak oleh keluarga miskin menunjukkan, bahwa sebanyak 97,9 persen responden memiliki ternak ayam kurang dari 45 ekor, 2,1 persen memiliki ternak ayam
45 ekor sampai dengan 90 ekor dan
hanya 0,4 persen memiliki ternak ayam lebih
dari 90 ekor.
Dilihat
dari pemenuhan kebutuhan perbulan menunjukkan, sekitar 77
persen responden mengeluarkan uang Rp 186.720,167,00 per bulan atau Rp
2.240.642,00 per tahun dengan rata-rata tanggungan keluarga lima orang. Sebanyak
19,2 persen responden menyatakan
pengeluaran pertahun antara Rp
2.240.645,00 sampai dengan Rp 4.343.538,00 dan hanya 3,8 persen responden mempunyai pengeluaran
lebih dari Rp 4.343.550,00.
Karakteristik wilayah
Dilihat dari aspek tingkat isolasi
wilayah, sekitar 51,3 persen
responden menyatakan kurang setuju kalau dikatakan desanya sukar dijangkau dari
ibu kota kecamatan, karena mereka merasakan bahwa kendaraan umum sudah hampir
setiap hari datang ke desa mereka, dan 115 responden (48,7%) menyatakan setuju dikatakan desanya
masih sulit dijangkau dari ibu kota kecamatan. Hal ini cukup dimaklumi bahwa
pada dua kecamatan lokasi penelitian ada desa yang masuk 12 km
dari jalan besar seperti Desa
Gramat, Desa Sengkuang di Kecamatan Mulak Ulu letaknya jauh dari jalan raya
untuk masuk ke desa tersebut perlu
hati-hati karena di samping jalan menuju desa
masih berupa pasir dan batu, juga banyak lobang-lobang besar. Demikian
juga Desa Nanjungan Kecamatan Merapi Timur lebih kurang 10 km dari jalan besar
dan hanya dua responden yang menyatakan tidak setuju dikatakan
desanya sulit di jangkau dari ibu kota kecamatan.
Dalam hal topografi
129 responden (53,8%) menyatakan setuju dan sangat setuju kalau
dikatakan tanah di sekitar desanya cukup subur dan tanahnya berbukit, dan 109
responden (45,4%) menyatakan kurang setuju kalau dikatakan tanah di sekitarnya
cukup subur dan berbukit. Hal ini dapat dipahami terutama responden dari
Kecamatan Merapi Timur, karena daerah
tersebut merupakan dataran rendah dan banyak dilalui sungai-sungai kecil. Tanah
cenderung mempunyai banyak batu dan pasir dan cocok untuk pertambangan galian
type C.
Modal sosial
Dari aspek solidaritas sebanyak
185 responden (77,1%) menyatakan
setuju dan sangat setuju apabila salah satu keluarga mendapat kesusahan
atau mengadakan syukuran, maka semua
anggota masyarakat ikut membantu, bila dalam lingkungan masyarakat ada keluarga
miskin, semua anggota masyarakat turut membantu dan jika salah satu anggota
masyarakat membangun rumah maka banyak tetangga yang membantu. Namun 55
responden kurang setuju dengan pernyataan tersebut, karena mereka mengakui
orang tidak mampu secara realita sulit untuk membantu orang lain secara
material, apalagi menyangkut kebutuhan pokok sehari-hari, karena mereka sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari.
Dalam hal kepercayaan antar sesama 195 responden (81,2%) menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa tingkat saling percaya antara anggota masyarakat
di kampung masih tinggi, saling percaya antar anggota masyarakat merupakan
modal dalam menciptakan rasa aman dalam
masyarakat. Dengan terciptanya rasa aman
mereka percaya kalau mereka pergi beberapa hari rumahnya akan dijaga
tetangganya, mereka percaya bahwa ternak
piaraannya, tanaman di kebun tidak akan diganggu orang lain. Mereka
berkeyakinan bawa dengan saling percaya maka hubungan antar anggota masyarakat
makin baik.
Nilai luhur dalam masyarakat
masih dijunjung tinggi, hal ini terlihat dari
236 responden (98,4%) menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa semua aturan yang disepakati, diyakini
akan memberikan manfaat bagi masyarakat, dan bila ditaati akan menciptakan
kedamaian dalam masyarakat dan mencegah atau meminimalisir timbulnya permasalahan sosial. Oleh karena itu semua
aturan yang telah disepakati harus
ditaati dan bagi yang melanggarnya diberikan sanksi.
Dari aspek pertukaran timbal
balik 222 responden (92,5%) menyatakan setuju dan sangat setuju dengan
pernyataan bahwa apabila kita menolong
orang lain termasuk membantu orang miskin di lingkungannya, maka kalau dia
mendapat kesulitan, mereka akan balik membantu. Ikatan solidaritas di
lingkungan perlu dilestarikan, karena
kita percaya bahwa manusia itu saling membutuhkan. Hanya 18 responden yang
menyatakan kurang setuju.
Kearifan lokal
Keterampilan lokal merupakan salah
satu asset masyarakat terutama pada masyarakat pedesaan. Dari hasil penelitian
di lapangan menunjukkan bahwa 165
responden (68,8%) menyatakan keterampilan lokal dapat membantu meningkatkan
pendapatan keluarga, mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Sebanyak 75
responden (31,2%) berpendapat tidak
setuju dan kurang setuju kalau keterampilan lokal dikatakan dapat meningkatkan
pendapatan, karena keterampilan yang dimiliki masyarakat adalah keterampilan
yang hanya dipahami, diakui oleh masyarakat lokal dan sebagai alat bagi mereka
dalam mengelola kondisi lokal. Misalnya
dalam membangun rumah penduduk, anggota
masyarakat yang mempunyai keterampilan lokal menjadi leader/pemimpin dalam
membangun rumah. Pengetahuan lokal dapat membantu pengembangan sikap perilaku
masyarakat terutama dalam pemahaman nilai-nilai yang perlu dilestarikan.
Di sisi lain, sebanyak 82,1 persen responden
keluarga miskin menyatakan setuju dan sangat setuju, bahwa kita perlu memiliki
sikap pantang menyerah. Sebagai manusia, kita wajib berusaha untuk ke luar dari
kemiskinan. Hanya 43 responden
(17,9%) yang kurang setuju tentang
nilai-nilai lokal perlu dilestarikan,
karena biasanya nilai lokal tersebut hanya
diakui oleh generasi tua,
sedangkan generasi muda kurang memberi perhatian terhadap nilai lokal. Hal ini bisa jadi karena pengaruh teknologi informasi yang kian maju pesat
dan merambah sampai ke pedesaan.
Intervensi penanganan
keluarga miskin
Dalam
komunitas masyarakat pedesaan terutama dalam kelompok kecil kekerabatan, saling
tolong-menolong antar sesama masih sangat kental. Hal ini terlihat dari hasil
wawancara dengan keluarga miskin
ternyata 120 responden (50%) menyatakan
setuju dan sangat setuju dengan
pernyataan bahwa kalau ada kekurangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari,
mereka mendapat pinjaman dari kerabat. Mereka juga saling membantu dalam memanen padi
dan saling bantu-membantu dalam hal pengadaan bibit tanaman. Kebiasaan
di pedesaan lokasi penelitian bahwa kalau ada kerabat yang mampu dan banyak
memiliki lahan sawah yang luas. Maka
setiap anggota kerabat yang miskin
membantu panen padi maka setelah selesai
membantu mereka diberi beras.
Program-program
pemerintah yang masuk ke desa-desa
lokasi penelitian di
antaranya pembangunan jalan desa,
pembangunan instalasi air minum dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lahat, Bantuan pemberdayaan masyarakat
termasuk keluarga miskin melalui
kelompok usaha bersama (KUBE) dari Departemen Sosial RI, Bantuan bibit padi dari Departemen Pertanian RI,
Program Usaha Agrobisnis Untuk Petani (PUAP), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Namun dari pengamatan di lapangan terlihat bahwa program yang dikucurkan pada tingkat
desa yang ditujukan langsung untuk
sasaran (masyarakat) belum menunjukkan keberhasilan. Hal ini antara lain dalam
pengelolaan program belum ada
pendamping di desa. Di samping itu dalam
pengelolaan program masuk desa sejak
tahap awal perencanaan kegiatan tidak
melibatkan masyarakat sasaran.
Bantuan
pemerintah dalam bentuk pendampingan
telah dilakukan oleh petugas penyuluh pertanian. Namun ada kendala yang
dihadapi oleh para penyuluh yaitu dalam budaya suku Lematang dan suku Besemah. Masyarakat Lematang dan Besemah secara budaya
tidak mau dinasehati oleh orang lebih
muda dari mereka, padahal para penyuluh masih usia muda. Untuk itu diperlukan
suatu upaya untuk memahami lebih dalam tentang budaya masyarakat, agar
masyarakat secara perlahan tapi mulai
mau menerima perubahan walaupun datang dari generasi yang lebih muda.
Ciri keluarga miskin
Dari
aspek ciri sosial ekonomi
menunjukkan 157 responden
(65,4%) responden keluarga miskin setuju
dan sangat setuju dengan pernyataan
bahwa tingkat pendidikan dalam lingkungan
keluarganya paling tinggi
SLTP/sederajat dan 83 responden (34,6%) kurang setuju dengan pernyataan
itu, karena dalam lingkungan keluarga mereka ada yang tamat SLTA. Namun secara
psikologis hampir semua responden
menginginkan sekali anggota keluarga mereka dapat sekolah ke jenjang lebih
tinggi lagi. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut mereka berusaha untuk
menabung. Karena pendidikan yang terbatas sebagian besar mereka belum
pernah berusaha di luar desanya. Di
samping itu hampir semua responden tidak
memiliki keterampilan selain bertani sawah dan berkebon. Mereka belum
pernah mendapatkan pengetahuan dan keterampilan dari petugas pemerintah
Untuk peningkatan gizi keluarga beberapa
responden keluarga miskin ada yang beternak ayam, memelihara ikan di
kolam/empang.
Dari aspek ciri fisik menunjukkan 140 responden (58,8%) setuju dan sangat setuju dengan pernyataan
bahwa beberapa bulan terakhir mereka sering jatuh sakit. Mereka kalau sakit
berobat ke puskesmas atau petugas kesehatan yang terdekat dan ada yang hanya
membeli obat di warung. Dari pengamatan terlihat anak-anak kelihatan kotor karena pakaiannya jarang dicuci. Dari hasil wawancara
menunjukkan bahwa hampir semua responden membeli pakaian satu tahun sekali. Pemilikan baju rata-rata tiga stel per orang.
Bahan
bangunan rumah mereka terbuat dari bahan lokal yang bahasa daerah disebut dinding pelopoh yaitu dinding terbuat dari bambu yang
dicacah. Ukuran luas rumah 30-45 m2.
Secara
psikologis keluarga miskin berpikir sangat sederhana, 216 responden (90%) menyatakan mereka membeli bahan pokok
setiap hari sangat tergantung dari penghasilannya dari hasil kebun atau dari
hasil upah harian sebagai buruh tani,
buruh pada penggalian tambang pasir dan batu.
Mereka mengatakan yang penting setiap hari ada bahan pokok beras dan 24 responden (10%) menyatakan membeli bahan pokok secara bulanan. Mereka
bekerja sebagai buruh penyadap karet, buruh kebon sawit yang mendapat upah
secara bulanan. Dari hasil wawancara secara mendalam kepada responden menunjukkan mereka selalu ingin ada
perubahan dalam kehidupan. Hal ini terlihat dari pernyataan mereka bahwa mereka ikut bangga kalau kerabat atau
tetangga berhasil dalam berusaha ataupun dalam bidang pendidikan dan mereka
berusaha untuk mengikutinya. Kalau ada masalah yang dihadapi mereka tidak
menyerah begitu saja tapi berusaha untuk
menyelesaikan secara musyawarah.
Dari
aspek ciri sosiologi menunjukkan
229 responden (95,4%) menyatakan
setuju dan sangat setuju bahwa interaksi masyarakat desa cukup baik, hal ini dikarenakan komunikasi
tokoh masyarakat dengan masyarakat berjalan dengan baik. Intraksi yang
baik tersebut ditandai antara lain; kalau ada salah satu kerabat atau
masyarakat sekitar desa mendapat musibah atau mengadakan hajatan mereka selalu datang, kalau ada pengajian yang diselenggarakan di balai desa mereka
datang. Di samping itu masyarakat sebenarnya
mempunyai kemauan untuk berubah
seperti kalau ada penyuluhan atau pembinaan yang diselenggarakan pemerintah mereka selalu datang.
Keberdayaan keluarga
miskin
Dalam hal kemampuan menjalankan fungsi menunjukkan 210 responden (87,5%) cukup berdaya hal ini
ditandai oleh pemahaman terhadap fungsi keluarga dikatakannya sangat penting
dalam menciptakan kedamaian, ketenteraman keluarga, mereka memahami/mengetahui tanaman
pertanian yang mempunyai gizi yang tinggi, sehingga dalam keseharian mereka
telah mengkonsumsi makanan sesuai dengan kebutuhan keluarga dan hanya
30 responden (12,5%) yang kurang
memahami fungsi rumah tangga secara utuh.
Dalam aspek keharmonisan rumah
tangga 221 responden (92,1%) menyatakan
kalau ada masalah yang mereka hadapi
dalam keluarga mereka berusaha untuk
mengatasinya. Untuk menjalin keharmonisan dengan kerabat, tetangga mereka
menyatakan bahwa walaupun mereka sedang
di ladang/di kebon, kalau ada berita duka, mereka tinggalkan pekerjaan dan segera datang ketempat anggota masyarakat
yang kena musibah. Mereka selalu hadir pada setiap acara agama yang
diselenggarakan desa. Dalam waktu tertentu mereka ikut gotong-royong perbaikan
rumah tetangga, perbaikan mesjid dan surau atau musollah. Hanya 19 responden
(7,9%) menyatakan kurang berdaya dalam menciptakan keharmonisan rumah tangga, hal ini dikarenakan mereka
masuk dalam kategori fakir-miskin dan secara psikologis tidak mampu untuk
menciptakan relasi sosial baik dalam keluarga maupun dengan kerabat atau
tetangga sekitarnya.
Dalam aspek meningkatkan
kreativitas ternyata 171 responden (71,3%) yang menyatakan cukup berdaya dan
berdaya, dan yang kurang berdaya
sebanyak 69 responden (28,7%). Responden yang cukup berdaya dan berdaya
ditandai dengan walau mereka mempunyai lahan yang sempit, mereka berusaha
mengolahnya untuk meningkatkan pendapatan dan keperluan keluarga. Untuk
meningkatkan hasil produksi mereka
menggunakan pupuk kandang dan pupuk kimia. Kalau ada masalah seperti kekurangan pupuk, modal usaha
mereka berusaha menghubungi koperasi desa atau lembaga keuangan lain yang
ada di desa. Mereka sudah terbiasa
berhubungan dengan koperasi dan menganggapnya sebagai mitra kerja mereka.
Intervensi pemerintah dalam bentuk penyuluhan pertanian sangat dirasakan manfaatnya dalam
meningkatkan produksi pertanian. Sedangkan yang
merasa kurang berdaya dalam
meningkatkan kreativitasnya, mereka pasrah menghadapi kondisi kehidupan yang
dihadapinya dan upaya-upaya untuk mengatasi masalah yang dihadapi lamban
sekali, yang sering mereka lakukan seperti meminjam kepada kerabat.
Faktor penyebab timbulnya keluarga miskin di
pedesaan
Mengidentifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi keluarga miskin menggunakan metode Nominal Group Technique (NGT). Metode NGT
adalah suatu teknik brainstorming dalam suatu kelompok kecil, terstruktur untuk mencapai suatu
kesepakatan, yang dikembangkan oleh Andre L Delbecq & Andrew H Van de Ven pada tahun
1984. NGT adalah suatu alat yang dipakai untuk penggalian potensi partisipasi masyarakat
dalam mengidentifikasi dan pemecahan masalah, untuk perencanaan
program maupun menetapkan suatu penelitian. Dengan metode NGT, peneliti berusaha
mengidentifikasi, menilai dan melakukan skor berbagai ide yang menjadi isu
dalam proses curah pendapat.
Peserta dalam curah pendapat (brainstorming)
ini terdiri dari wakil berbagai status
sosial masyarakat yang ada pada wilayah
pengamatan yaitu Kecamatan Mulak
Ulu dengan jumlah lima sampai dengan 10
orang, hal ini diupayakan untuk menjaga
informasi diperoleh lebih akurat dan kelancaran proses curah pendapat.
Langkah pertama dalam
pelaksanaan memberikan kesempatan kepada
semua peserta untuk menyampaikan idenya
tentang faktor pemicu dan atau faktor apa yang membuat keluarga
miskin tidak mampu ke luar dari lingkaran kemiskinan. Hasil yang diperoleh dari brainstorming pada tahap awal
diketahui 13 jenis
permasalahan keluarga miskin pedesaan
yaitu: (a) Harga hasil pertanian tidak
stabil dan sangat tergantung dengan harga yang ditetapkan oleh pedagang, (b) Program pemerintah kurang menyentuh
kebutuhan keluarga-keluarga miskin pedesaan, (c) Latar belakang
pendidikan rendah, (d) Kurang keterampilan yg dimiliki, (e) Adanya rentenir
dalam masyarakat. (f) Rumah tidak Layak huni,(g) Keamanan kurang, (h) Kurang kesadaran keluarga dalam mengatasi masalah yang dihadapi, (i) Sengketa
tanah, (j) Pendapatan rendah, (k) Kurang modal, (l) Pengangguran dan (m) Rasa ingin tahu kurang.
Langkah berikutnya memberikan
kesempatan kepada peserta pertemuan untuk menentukan masalah yang
prioritas dengan skor satu sampai
dengan 10. Dari kesempatan pertemuan tahap dua diperoleh gambaran prioritas seperti tersaji pada Tabel
2 berikut ini.
Tabel 2 Jenis
permasalahan keluarga miskin berdasarkan
prioritas untuk ditangani
Jenis masalah keluarga miskin |
Yung |
Sutimin |
Alan
|
Bahrun |
J.Febri |
Herman
|
Riadi |
Rita |
Vebby |
Erdian- syah |
Jumlah Skor |
Skor |
Skor |
Skor |
Skor |
Skor |
Skor |
Skor |
Skor |
Skor |
Skor |
||
Harga
hasil pertanian tidak stabil |
4 |
3 |
6 |
4 |
6 |
5 |
7 |
5 |
5 |
6 |
51 |
Program pemerintah kurang menyentuh keluarga miskin |
8 |
10 |
8 |
9 |
8 |
9 |
10 |
8 |
7 |
9 |
86 |
Latar
belakang pendidikan rendah |
9 |
8 |
9 |
5 |
10 |
6 |
8 |
7 |
8 |
7 |
77 |
Kurang
keterampilan yang dimiliki |
10 |
9 |
10 |
10 |
7 |
10 |
9 |
10 |
9 |
10 |
104 |
Adanya
rentenir |
3 |
5 |
4 |
8 |
9 |
8 |
6 |
9 |
10 |
8 |
70 |
Rumah
tidak layak huni |
2 |
4 |
5 |
7 |
5 |
1 |
5 |
6 |
4 |
4 |
43 |
Keamanan
kurang |
|
|
|
|
4 |
3 |
4 |
|
|
|
|
Kurang
kesadaran keluarga dalam mengatasi masalah yg dihadapi |
7 |
6 |
3 |
6 |
|
3 |
|
4 |
6 |
5 |
40 |
Sengketa
tanah |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
0 |
Pendapatan
rendah |
5 |
|
1 |
2 |
3 |
6 |
1 |
2 |
2 |
3 |
25 |
Kurang
modal |
6 |
7 |
2 |
3 |
2 |
|
3 |
1 |
3 |
|
27 |
Pengangguran |
|
1 |
|
|
1 |
2 |
2 |
|
|
1 |
7 |
Rasa
ingin tahu kurang |
1 |
2 |
7 |
1 |
|
4 |
|
3 |
1 |
2 |
21 |
Berdasarkan hasil
tabulasi diketahui permasalahan keluarga miskin
yang menjadi prioritas utama untuk ditangani adalah prioritas pertama, kurang memiliki
keterampilan mendapat nilai 104, prioritas kedua adalah program pemerintah yang kurang menyentuh
kebutuhan keluarga miskin dengan skor
86, prioritas ketiga adalah
latar belakang pendidikan yang rendah dengan skor 77, prioritas ke empat adalah menghapus adanya rentenir dengan skor 70 dan
prioritas kelima adalah Permasalahan harga hasil pertanian tidak stabil dengan skor 51.
Dari hasil pembahasan
prioritas masalah yang perlu ditangani maka diperoleh informasi alasan penentuan prioritas dan saran upaya
penanganannya sebagai berikut:
1. Kurang
memiliki keterampilan; keluarga miskin dan masyarakat pedesaan lainnya hampir dikatakan tidak mempunyai keterampilan selain bertani. Dengan kemampuan yang
terbatas tersebut tidak mungkin keluarga miskin
dapat meningkatkan pendapatannya, sehingga untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari keluarga miskin hanya bisa
menjadi buruh tani mengelola sawah dan perkebunan kopi. Keluarga
miskin cenderung berpikir statis, pola
pikir tidak berpikir ke depan,
2.
Program pemerintah yang
kurang menyentuh kebutuhan keluarga
miskin. Program yang dilaksanakan
pemerintah di pedesaan dalam bentuk
program fisik dan program non-fisik.
Program fisik dalam bentuk pembangunan jalan desa,
pengadaan air bersih dan perbaikan irigasi tradisional. Sedangkan program
non-fisik berupa Program Usaha Agrobisnis untuk petani (PUAP), bantuan stimulan kelompok usaha bersama (KUBE). Bantuan bibit.
Sedangkan pembinaan masyarakat dalam bentuk
pelatihan atau pemberian
keterampilan belum pernah diterima oleh
keluarga miskin. Sasaran PUAP dan KUBE
diarahkan kepada masyarakat
pedesaan yang mempunyai keterampilan dan berpotensi untuk di
kembangkan.
3. Adanya rentenir dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Sangat
mempengaruhi kondisi perekonomian
masyarakat khususnya keluarga miskin.
Sejak awal pengelola pertanian mereka
sudah meminjam modal dengan para rentenir termasuk untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari sehingga seringkali
para keluarga miskin begitu selesai panen hasilnya hanya cukup untuk
membayar hutang kepada rentenir. Sehingga mereka tidak bisa melepaskan diri dari
cengkeraman
rentenir.
4. Latar belakang
pendidikan rendah. Dengan pendidikan rendah keluarga miskin secara
psikologis tidak mempunyai keberanian untuk mencari kerja ke daerah lain. Tidak
mempunyai kemampuan menyerap inovasi, sehingga lamban menerima pembaharuan
khususnya pembaharuan di bidang pengelolaan lahan pertanian.
5. Harga hasil pertanian
tidak stabil. Mutu hasil pertanian baik
perkebunan maupun hasil pertanian sawah
rendah. Pemasaran hasil sangat ditentukan oleh pedagang yang datang ke desa.
Hubungan Karakteristik
Keluarga, Wilayah, Modal Sosial, Kearifan Lokal dan Intervensi Penanganan dengan Keberdayaan Keluarga Miskin
Karakteristik keluarga miskin
Peubah pendidikan
mempunyai hubungan nyata negatif α=0,05 dengan keberdayaan keluarga miskin pada
aspek keharmonisan keluarga.
Meningkatnya pendidikan anggota keluarga miskin diimbangi dengan menurunnya nilai
subpeubah keharmonisan keluarga. Mereka menganggap makin baiknya pendidikan formal maka akan mempengaruhi kondisi keharmonisan rumah tangga. Mereka
mengatakan pendidikan yang mereka butuhkan adalah pendidikan nonformal yang
terkait langsung dengan aspek kehidupan mereka sehari-hari.
Adanya hubungan
negatif α=0,05 antara subpeubah
pemilikan lahan kopi dengan keharmonisan
keluarga. Juga adanya hubungan nyata negatif antara subpeubah pemilikan
lahan karet dengan subpeubah meningkatkan kreativitas, artinya peningkatan
nilai pada pemilikan lahan karet akan disertai penurunan nilai pada subpeubah
keharmonisan rumah tangga.
Subpeubah pemilikan
lahan sawah dan lahan karet mempunyai hubungan nyata α =0,01 terhadap subpeubah
kemampuan menjalankan fungsi keluarga,
keharmonisan keluarga dan mempunyai hubungan nyata α=0,05 subpeubah
pemilikan lahan karet dengan meningkatnya kreativitas. Implikasi temuan
penelitian yang tersaji pada Tabel 3 adalah dalam upaya meningkatkan
keberdayaan keluarga miskin pedesaan
adalah:
a.
Dalam
rangka pembentukan keharmonisan rumah tangga diperlukan suatu bentuk pendidikan
nonformal kepada keluarga miskin melalui
program pembinaan masyarakat pedesaan dan buka diarahkan pada pendidikan formal. Di sini petugas di tingkat kecamatan cukup berperan
dalam pendampingan di pedesaan.
b.
Penyuluh
pertanian perlu membantu petani dalam mengintensifkan pengelolaan lahan sawah dengan pendekatan memahami norma-norma yang ada di
keluarga miskin pedesaan.
c.
Peningkatan keterampilan keluarga miskin dalam upaya meningkatkan
kemampuan memenuhi pemenuhan kebutuhan pokok.
Tabel 3 Korelasi
peubah karakteristik keluarga,
karakteristik wilayah, modal sosial, kearifan lokal dan intervensi penanganan
dengan keberdayaan keluarga
miskin
Faktor-faktorpenyebab keluarga miskin pedesaan |
Keberdayaan Keluarga
Miskin (tb) |
||
Menjalankan
fungsi keluarga |
Meningkatkan
kreativitas |
Keharmonisan keluarga |
|
Karakteristik keluarga miskin Pendidikan (X1) |
0,072 |
-0,030 |
-0,133* |
Pekerjaan (X2) |
-0,340** |
-0,067 |
0,006 |
Pemilikan lahan sawah (X3) |
0,550** |
0,143* |
0,230** |
Pemilikan lahan kopi (X4) |
0,430** |
-0,067 |
-0,133* |
Pemilikan lahan karet
(X5) |
-0,113 |
-0,195** |
-0,75 |
Pemilikan ternak (X6) |
-0,029 |
-0,062 |
-0,031 |
Kemampuan memenuhi
kebutuhan (X7) |
0,195** |
-0,073 |
0,026 |
Karakteristik wilayah Tingkat isolasi (X8) |
0,212** |
0,077 |
0,095 |
Topografi (X9) |
-0,043 |
0,057 |
0,123* |
Modal Sosial (X10) |
0,226** |
0,397** |
0,379** |
Kearifan lokal (X11) |
0,146* |
0,318** |
0,288** |
Intervensi penanganan
kel.miskin(X12) |
0,281** |
0,372** |
0,428** |
Keterangan: **High signifikan pada p< 0,01 tb =Koefisien korelasi Tau-b
Kendall
*Signifikan pada p< 0,05
Wilayah
Hubungan nyata α=0,01 subpeubah isolasi daerah dengan kemampuan menjalankan
fungsi keluarga dan hubungan nyata α=0,05
subpeubah kesuburan tanah dengan keharmonisan rumah tangga. Artinya
meningkatnya nilai subpeubah isolasi dan kondisi kesuburan tanah disertai
meningkatnya nilai pada subpeubah
meningkatnya kemampuan menjalankan fungsi keluarga dan subpeubah keharmonisan
keluarga. Artinya membaiknya karakteristik infrastruktur
transportasi, jalan, akan diikuti
meningkatnya menjalankan fungsi
keluarga. Meningkatnya kemampuan mengolah tanah disertai
meningkatnya keharmonisan rumah tangga keluarga miskin.
Implikasi dari temuan penelitian
tersebut dalam upaya
peningkatan keberdayaan keluarga
adalah:
a.
Meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam perbaikan infrastruktur seperti
perbaikan jalan desa, perbaikan jaringan pipa air untuk irigasi.
b.
Penyuluh pembangunan dalam
hal ini penyuluh pertanian memberikan
bimbingan kepada petani tentang tanaman
yang cocok dengan tingkat kesuburan tanah yang dimiliki keluarga miskin.
c.
Meningkatkan kompetensi
keluarga miskin dalam intensifikasi pertanian.
Modal Sosial
Adanya hubungan nyata peubah modal sosial
dengan keberdayaan keluarga miskin
artinya makin meningkatnya solidaritas sosial, keperjayaan, hubungan timbal-
balik diikuti meningkatnya keberdayaan keluarga miskin dalam hal kemampuan
menjalankan fungsi keluarga, kreatif dan keharmonisan rumah tangga.
Implikasi
dari temuan penelitian dalam meningkatkan keberdayaan keluarga
miskin adalah:
a.
Petugas penyuluh pembangunan harus mempunyai kompetensi meningkatkan solidaritas keluarga miskin dengan melibatkan mereka dalam
kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan keluarga miskin. Meningkatkan rasa kepercayaan keluarga miskin dengan
penyuluh pembangunan, sesama kerabat dan masyarakat sekitarnya.
b.
Melestarikan nilai-nilai
luhur yang ada dalam masyarakat melalui kegiatan yang melibatkan keluarga
miskin dan membiasakan keluarga miskin untuk mempunyai pemahaman tentang pertukaran timbal balik dalam
kehidupan bermasyarakat akan menciptakan ketentraman dan keharmonisan.
Kearifan lokal
Adanya
hubungan nyata peubah kearifan lokal dengan keberdayaan keluarga miskin.
Artinya meningkatnya keterampilan, pengetahuan lokal dan pelestarian nilai
lokal disertai meningkatnya keberdayaan keluarga dalam menjalankan fungsi
keluarga, meningkatkan kreativitas dan keharmonisan rumah tangga
Implikasi hasil penelitian terhadap meningkatkan keberdayaan keluarga adalah:
a.
Petugas
lapangan tingkat kecamatan mendorong keluarga miskin untuk melestarikan keterampilan lokal dengan cara memanfaatkan
keterampilan lokal dalam kehidupan masyarakat seperti membangun rumah
tradisional, pengolahan lahan pertanian, peternakan, serta meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang pentingnya
pelestarian keterampilan lokal
dan pengetahuan lokal seperti di pedesaan
dilarang makan di tengah sawah. Karena dikhawatirkan sisa makanan
akan mengundang binatang perusak padi datang ke sawah.
b.
Menjalin kemitraan petugas lapangan dengan tokoh masyarakat dan masyarakat di lingkungan untuk merasa memiliki kebanggaan terhadap
nilai-nilai lokal yang di miliki mereka.
Intervensi Penanganan keluarga miskin
Adanya hubungan yang
nyata peubah intervensi dengan
keberdayaan keluarga miskin. Artinya, makin baik penanganan keluarga
miskin oleh masyarakat dan pemerintah akan diikuti oleh keberdayaan keluarga
miskin dalam hal kemampuan menjalankan fungsi keluarga, meningkatkan
kreativitas dan keharmonisan rumah tangga.
Implikasi
temuan penelitian untuk
meningkatkan keberdayaan keluarga miskin
yaitu:
a.
Petugas penyuluh
pembangunan mendorong elemen-elemen
masyarakat desa untuk berpartisipasi
dalam penanganan keluarga miskin dalam
bentuk pemberian kemudahan untuk mendapatkan modal usaha, pengembangan
keterampilan keluarga miskin.
b.
Program pemerintah di
pedesaan hendaknya menyentuh langsung
kebutuhan keluarga miskin baik yang bersifat fisik dan non-fisik.
Hubungan ciri keluarga miskin dengan keberdayaan
keluarga miskin
Tabel 4 menyiratkan, bahwa
meningkatnya ciri keluarga miskin disertai meningkatnya keberdayaan keluarga
miskin. Artinya, membaiknya kondisi ekonomi, kesehatan, sikap mental dan relasi
sosial akan disertai oleh meningkatnya keberdayaan keluarga miskin
dalam hal menjalankan fungsi keluarga, meningkatkan kreativitas dan
keharmonisan keluarga. Implikasi
dari penelitian ini adalah:
a.
Peningkatan kerjasama tenaga pemerintah pada tingkat kecamatan dalam
menyusun program sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
b.
Melibatkan dunia usaha dan organisasi sosial dalam membantu
keluarga miskin dalam memenuhi hak-hak dasar antara lain kesehatan, pendidikan, kecukupan
pangan.
c.
Membantu keluarga miskin
dalam menciptakan peluang untuk mendapatkan
keterampilan yang bersifat produktif.
Tabel 4 Korelasi peubah
ciri
keluarga miskin dengan keberdayaan
keluarga miskin pedesaan
Ciri keluarga Miskin |
Koefisien Korelasi X thd Y2.1 |
Koefisien Korelasi X thd Y2.2 |
Koefisien Korelasi X thd Y2.3 |
Ciri sosial ekonomi |
0,363** |
0,368** |
0,368** |
Ciri fisik |
0,298** |
0,043 |
0,076 |
Ciri psikologi |
0,252** |
0,225** |
0,186** |
Ciri sosiologi |
0,340** |
0,494** |
0,589** |
Keterangan ** = High
Signifikan pada p< 0,01 tb =Koefisien korelasi Tau-b Kendall
* = Signifikan pada p< 0,05
STRATEGI KONSEPTUAL
PENANGANAN KELUARGA MISKIN PEDESAAN
Berdasarkan analisis hasil penelitian maka dibangun
konsep strategi penanganan keluarga miskin pedesaan yang berbasis masyarakat. Strategi ini bertujuan membangun
kompetensi berbagai elemen pada tingkat
kecamatan dan masyarakat melalui program kemitraan pemerintah dan dunia usaha. Orientasi
strategi adalah membangun
jejaring antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam mengelola
sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam yang ada
dan diarahkan untuk peningkatan pendapatan keluarga miskin.
Pelaksanaan
strategi penanganan keluarga miskin
pada prinsipnya adalah
bahwa kegiatan yang direncanakan memang diperlukan oleh keluarga miskin,
program/kegiatan dapat mendorong perubahan dalam masyarakat. Arah kebijakan/ strategi
mencakup:
(1) Menyiapkan penguatan kemampuan tenaga pada tingkat kecamatan (antara lain
penyuluh pertanian/PPL, penyuluh KB, penyuluh sosial) dalam
hal pemahaman terhadap budaya
lokal, memahami potensi dan sumber-sumber
yang ada dalam masyarakat. Mendorong
kepedulian masyarakat kepada
keluarga miskin.
(2) Meningkatkan fungsi pendampingan
pada setiap program yang ditujukan
kepada keluarga miskin.
(3) Peningkatan peranserta dunia usaha,
organisasi sosial lokal, masyarakat
dalam penanganan keluarga miskin pedesaan.
(4) Peningkatan peranserta
keluarga miskin dalam memecahkan
masalah yang mereka hadapi.
(5) Memberi kemudahan bagi keluarga miskin untuk mendapatkan akses
modal baik melalui kredit mikro maupun dari dunia usaha.
(6) Meningkatkan kompetensi keluarga miskin
sesuai dengan potensi dan sumber-sumber di lingkungannya.
(7) Mendorong keluarga miskin untuk mempunyai kemauan, kemampuan dan
kesempatan untuk meningkatkan
pendapatan melalui pendidikan nonformal
sesuai dengan budaya di lingkungan keluarga miskin.
(8) Membangun jejaring antara pemerintah, dunia usaha/koperasi dalam
pengadaan peralatan, peningkatan
mutu hasil produksi, peningkatan nilai tambah
hasil produksi pertanian dan
pemasaran.
(9) Sinerginya program pemerintah daerah dengan program pemerintah pusat.
Secara garis besar dapat
diilustrasikan pada Gambar 2 berikut ini tentang mekanisme strategi penanganan
keluarga miskin pedesaan.
Produksi dan
Pemasaran Usaha-usaha Keluarga
Miskin Pedesaan Program/Kegiatan Peningkatan Partisipasi Pelatihan/ Penyuluhan Pemberian Modal/ Pengadaan Peralatan/ Pupuk Penguatan Pendampingan Pemerintah Daerah/ Pemerintah Pusat Dunia Usaha/Koperasi Kemitraan
Gambar 2 Mekanisme strategi penanganan keluarga miskin pedesaan
Dalam
pelaksanaan strategi penanganan keluarga miskin pedesaan ini,
keberhasilannya sangat ditentukan oleh
motivasi dari keluarga miskin. Pemerintah dan dunia usaha hanya bersifat
pendamping dan tidak akan selamanya berada di lingkungan keluarga miskin.
Indikator keberhasilan penanganan antara
lain: keluarga miskin mampu
memanfaatkan potensi dan sumber-sumber
di lingkungannya untuk meningkatkan pendapatan, mampu mengatasi persoalan yang
timbul dalam keluarga dan lingkungannya.
Berinisiatif untuk melepaskan
dari kemiskinan dan mau menerima
perubahan yang datang dari luar.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Faktor
yang mempengaruhi keluarga miskin adalah: (a) harga hasil pertanian tidak stabil dan sangat tergantung
dengan harga yang ditetapkan oleh
pedagang, (b) program pemerintah kurang
menyentuh keluarga miskin
pedesaan, (c) latar belakang pendidikan rendah, (d) kurang keterampilan yang
dimiliki, (e) adanya rentenir dalam masyarakat, (f) rumah tidak layak huni, (g)
keamanan kurang, (h) kurang kesadaran
keluarga dalam mengatasi masalah yang
dihadapi, (i) sengketa tanah, (j) pendapatan rendah, (k) kurang modal, (l)
pengangguran dan (m) rasa ingin tahu kurang.
2.
Karakteristik
keluarga miskin, modal sosial, kearifan lokal, intervensi pemerintah dan
keluarga mempunyai hubungan nyata
terhadap keberdayaan keluarga.
3.
Ciri
keluarga miskin (ciri sosial ekonomi, ciri fisik, ciri psikologis dan ciri
sosiologis) mempunyai hubungan nyata dengan keberdayaan miskin.
4.
Strategi
penanganan keluarga miskin ditekankan pada penguatan kompetensi tenaga pemerintah di tingkat kecamatan, terjalinnya
hubungan kerja yang baik antara pemerintah dan dunia usaha, peningkatan
kompetensi keluarga miskin melalui pendidikan nonformal, mendorong partisipasi
masyarakat khususnya keluarga miskin dalam tahapan program di pedesaan.
Saran
1.
Permasalahan
keluarga miskin yang bersifat
prioritas menurut masyarakat supaya di
masukkan dalam suatu program utama atau
program unggulan.
2.
Kompetensi
para agen pembaharuan pada tingkat kecamatan supaya secara konsisten dan terus-menerus dilakukan
pelatihan khusus.
3.
Strategi diarahkan langsung
pada kebutuhan dasar keluarga miskin.
DAFTAR PUSTAKA
[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lahat. 2008. Kabupaten Lahat dalam Angka Tahun 2007.
Lahat; Bappeda Kabupaten Lahat.
[BPS] Badan Pusat Statisik. 2006. Penduduk
Fakir miskin Indonesia.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Burt RS. 1997. ”The
Contingent value of social capital.” Journal Administratif Science Quarterly.
Vol 42.
[Dinsos] Dinas Sosial Kabupaten lahat. 2009.
Data permasalahan kesejahteraan sosial Kabupaten Lahat. Lahat:
Dinsos Lahat.
Dubois B. 1992. Sosial
Work an Empowering Profession. USA: Allyn and Bacon.
Horton BP. 1987.
Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
Ismani HP. 1988. Metode Penelitian.
Malang: bpp-fia Universitas Brawijaya.
Lewis O. 1966.
Anthropological Essays. New York: Random House.
Lin N, Dumin M. 1996.
“Access to occupation through social ties.” J.Social Net Works. Vol 8.
Lipton M. 1976. Why
the Poor Stay Poor. New York: Basic
Books Inc.
Marwanti MT. 2008. Pekerja Anak dari Keluarga Miskin di Sektor
Industri. Bandung: Universitas Pajajaran.
Murdock GP. 1965. Social
Structure. New York: The Free Press.
Putman RD. 2000. Bowling Alone: The Collepse and Revival of American Community. New
York: Simon and Schuster.
Siegel S. 1997. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Soenarso,
Harun, Soemarno S. 2005.
Kearifan Lokal Masyarakat Aceh: Situasi
dan Kondisi Pasca Tsunami. Jakarta: Pusbangtansosmas. Departemen Sosial RI.
Woolcock M. 2001. “Sosial Capital in Theory and Practice.”
Http://www.unisco.org/ most/soc-cap [2 Februari 2009].
PERAN PENGAMBIL KEBIJAKAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Neddy Rafinaldy Halim[4]
ABSTRACT
The community development is a part of community developing effort,
which is an effort that is consciously and continuously carried out, aiming for
a more positive and advance alteration in community, by means of developing the
community’s potential and changing the negative community behaviour right until
the community can independently stand on their own. The community development
can not be run partially. Instead, it has to be done camprehensively and the
responsibility should be carried on the back of many parties, including the
government, NGOs (Non-Government Organization), government agencies, private
agencies, etc. In
the era of openness and transparency, the roles of government nowadays and in
the future in development are merely as the regulator, facilitator,
dinamisator, stabilisator and stimulator.
Those roles are emphasizing on the effort of independency that demands the
participation, initiative and creativity of the community itself, without any
further interference and intervention from the government, which might possibly
put out the community effort to achieve independency. In other words, the
strategy of community development should cover: (a) participation, (b)
independency and (c) partnership.
Key words: community development,
participation, partnership
PENDAHULUAN
Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan
kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan,
berlandaskan kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global yang dalam
pelaksanaannya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal
untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan,
sejahtera, maju serta kukuh moral dan etikanya. Untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan suatu pemerintahan yang kuat dan mampu menjalankan tugas untuk mengorganisasikan dan
mengintegrasikan kegiatan rakyatnya guna mewujudkan kesejahteraannya.
Dalam era otonomi daerah dan keterbukaan seperti saat ini, peran pemerintah di
masa kini dan masa mendatang dalam pembangunan guna mewujudkan kesejahteraannya
adalah berfungsi sebagai regulator, modernisator, katalisator/fasilitator,
dinamisator, stabilisator dan pelopor/stimulator, yang menekankan pada upaya
kemandirian dalam pemberdayaan masyarakat. Sebagai regulator, pemerintah memberikan acuan dasar yang selanjutnya
diterjemahkan oleh masyarakat sebagai instrumen untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat dalam koridor persatuan Indonesia. Sebagai modernisator
pemerintah berkewajiban membawa perubahan-perubahan ke arah pembaharuan
masyarakat. Sebagai katalisator/fasilitator, pemerintah berusaha menciptakan
atau menfasilitasi suasana yang tertib, nyaman dan aman, termasuk menfasilitasi tersedianya sarana dan prasarana
pembangunan. Sebagai pelopor atau stimulator, pemerintah harus mampu menunjukkan
contoh-contoh nyata dan mendorong masyarakat untuk mengikuti contoh tersebut
melalui tindakan nyata jika memang contoh tersebut bermanfaat.
Fungsi
pemerintah tersebut menuntut adanya ”peran serta masyarakat” secara aktif
melalui upaya partisipasi, inisiatif dan kreatifitas. Pengertian ’peran serta
masyarakat’ dalam pembangunan adalah suatu proses pembangunan yang melibatkan
masyarakat melalui komunikasi dua arah secara terus menerus dalam rangka upaya
mendesiminasi secara intensif sehingga diperoleh suatu pengertian masyarakat
secara penuh dan utuh atas suatu proses pembangunan tersebut. dengan kata lain
’peran serta masyarakat’ adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam
’perubahan sosial’ yang memungkinkan masyarakat mendapatkan bagian keuntungan.
Adapun tujuan dari keterlibatan
masyarakat dalam pembangunan adalah dalam rangka menghasilkan ’masukan dan
persepsi’ yang berguna bagi pengambil kebijakan dalam rangka meningkatkan
kualitas pengambilan keputusan. Adapun yang menjadi permasalahan saat ini
sejauh mana kemampuan masyarakat dapat memberikan masukan yang berguna bagi
pengambil kebijakan? Menjadi tugas kita bersama untuk meningkatkan kualitas
masyarakat melalui upaya-upaya pengembangan masyarakat.
STRATEGI PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Pengembangan masyarakat merupakan bagian dari upaya membangun masyarakat,
yaitu upaya yang dilakukan secara sadar dan terus menerus guna mengubah keadaan masyarakat ke arah yang lebih
baik dan lebih maju melalui berbagai
pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat (perilaku
negatif) sampai masyarakat itu mampu mengatur dirinya sendiri (kemandirian). Pengembangan masyarakat tidak dapat dilakukan
secara parsial, tetapi harus dilakukan secara komprehensif yang menjadi
tanggung jawab berbagai pihak, pemerintah, NGO (lembaga swadaya masyarakat),
BUMN/BUMS dll.
Konsep pengembangan masyarakat
atau pemberdayaan masyarakat di
masa-masa mendatang lebih menekankan pada upaya ”kemandirian”, karena itu dalam
pengembangan masyarakat diperlukan adanya peran aktif masyarakat itu
sendiri. Hal ini berarti partisipasi,
inisiatif dan kreatifitas dalam pengembangan masyarakat harus lebih banyak
datang dari masyarakat itu sendiri, sementara pemerintah pusat berfungsi
sebagai regulator, modernisator, katalisator/fasilitator, dinamisator,
stabilisator dan pelopor/stimulator
tanpa ikut campur atau intervensi terlampau jauh yang justru bisa mematikan
upaya pengembangan yang mandiri.
Partisipasi
Partisipasi
masyarakat dalam upaya pengembangan masyarakat merupakan tuntutan mutlak agar masyarakat dapat lebih berperan berkaitan dengan
keinginan masyarakat untuk maju dan berkembang melalui mekanisme
keterlibatannya dalam proses pembangunan, seperti menyusun program-program
pembangunan melalui mekanisme dari bawah ke atas (bottom up) yang memperlakukan
masyakat tidak hanya sebagai ”sasaran” pembangunan tetapi juga sebagai ”pelaku”
pembangunan. Hal tersebut memberikan implikasi perlu adanya kontribusi, di
samping adanya penuntutan akan keadilan
dan hak untuk menikmati hasil pembangunan.
Kemandirian
Kemitraan
PENUTUP
Kiranya kita semua sepakat bahwa mengembangkan
masyarakat mengandung makna
memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar masyarakat/kelompok
masyarakat terhadap kekuatan-kekuatan eksternal yang akan merugikan dalam
proses pembangunan; di samping juga mengandung makna melindungi, membela dan berpihak pada yang lemah untuk mencegah
adanya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah. Peran
pemerintah sebagai pengambil/penentu kebijakan dalam pengembangan masyarakat
lebih bersifat sebagai regulator, modernisator, katalisator/fasilitator, dinamisator,
stabilisator dan pelopor/stimulator dalam rangka :
a.
Meningkatkan kompetensi dan kapasitas masyarakat
guna optimalisasi keterlibatannya dalam
proses pembangunan;
b.
Mempercepat proses pemerataan pembangunan;
c.
Melibatkan partisipasi masyarakat/kelompok masyarakat secara nyata dalam
setiap pelaksanaan pembangunan;
d.
Meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap produk-produk pembangunan
sehingga terjaga pemelihaaranya;
e.
Memberikan peluang seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk mengembangkan kreativitas sesuai dengan budaya, karakter maupun potensi
masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo M. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kartasasmita G. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: CIDES.
Prijono OS, Pranarka AMW. 1996. Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan
dan Implementasi. Jakarta: CSIS.
Rumusan Hasil Diskusi
Makalah Kelompok D
Hasil diskusi makalah
kelompok D yang membahas empat makalah oleh empat orang pembicara menghasilkan
rumusan sebagai berikut:
1. Efektivitas kebijakan dalam pengembangan
masyarakat berkelanjutan dipengaruhi oleh kualitas program yang dirancang,
pembiayaan yang cukup, isi kebijakan dan konteks pelaksanaannya dalam
pengembangan masyarakat.
2. Peran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan, kejelasan peraturan
yang dibuat, kesamaan persepsi, pemenuhan aspirasi masyarakat bawah,
keteladanan dan kepemimpinan dalam memahami apa yang senyatanya terjadi, baik
secara administratif maupun dampaknya kepada masyarakat sangat diperlukan untuk
mewujudkan efektivitas kebijakan dalam pengembangan masyarakat berkelanjutan.
3. Sebagai kebijakan negara, perumusan kebijakan publik pada dasarnya
diserahkan kepada para pejabat publik. Namun demikian, dalam beberapa aspek
warga negara secara individu perlu berpartisipasi, terutama dalam memberikan
asupan mengenai isu-isu publik yang perlu diresponi oleh kebijakan sosial yang
dalam hal ini memiliki peran yang sangat menentukan keberhasilan program
pengembangan masyarakat.
[1] Dosen Komunikasi
Universitas Indonesia
[2] Departemen Sosial Republik Indonesia
[3] Dosen pada Program Studi Komunikasi Pembangunan dan Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor,
Indonesia
[4] Deputi Bidang Pengembangan SDM, Kementerian Negara
Koperasi dan UKM
No comments:
Post a Comment