Pendahuluan
A. Latar Belakang
Persoalan antara agama dan negara dalam masa modern
merupakan salah satu subyek penting dan telah diperdebatkan para pemikir Islam
sejak seabad lalu hingga dewasa ini, namun belum terpecahkan secara tuntas.
Seperti argumen banyak pemikir Muslim tradisional, Islam sebagai agama adalah
sebuah sistem kepercayaan di mana agama mempunyai hubungan erat dengan politik.
Dalam pemikiran politik Islam terdapat tiga paradigma
tentang hubungan agama dan negara. Paradigma pertama memecahkan masalah
dikotomi tersebut dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama
(Islam) dan negara, dalam hal ini tidak dapat dipisahkan (integrated). Wilayah
agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya, menurut paradigma ini,
negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara
diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Ilahi" (divine sovereignty),
karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di "tangan" Tuhan.
Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan
secara simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling memerlukan.
Paradigma ketiga bersifat sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik
maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara.
Pada makalah kali ini penulis hanya akan berfokus pada
paradikma kedua yang memandang bahwa agama dan negara berhubungan secara
simbiotik dengan di dukung pemikiran dua tokoh pemikir islam ternama yaitu Al
Mawardi dan Al Ghazali.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
biografi dari Al Mawardi dan Ibnu Khaldun?
2.
Bagaimana
pemikiran Al Mawardi tentang hubungan Agama dan Negara?
3.
Bagaimana
pemikiran Al Ghazali tentang hubungan Agama dan Negara?
PEMBAHASAN
A. Biografi
Al Mawardi
Nama lengkap Imam Mawardi adalah Abu Hasan Ali bin
Muhammad bin Habib bin al-Mawardi al-Bashri.[1]
Mawardi dilahirkan di Basrah tahun 364 H atau 975 M. Panggilan al-Mawardi
diberikan kepadanya karena kecerdasan dan kepandaiannya dalam berorasi,
berdebat, beragumen dan memiliki ketajaman analisis terhadap setiap masalah
yang dihadapinya.[2]
Sedangkan julukan al-Bashri dinisbatkan pada tempat kelahiranya. Masa kecil
Mawardi dihabiskan di Baghdad hingga ia tumbuh dewasa. Mawardi merupakan
seorang pemikir Islam yang terkenal pada masanya. Ia juga dikenal sebagai tokoh
terkemuka madzhab Syafi’i dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada
dinasti Abbasiyah.
Selain sebagai pemikir dan tokoh terkemuka, ia juga
dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Banyak karya-karyanya dari
berbagai bidang ilmu seperti ilmu bahasa, sastra, tafsir, dan politik. Bahkan ia
dikenal sebagai tokoh Islam pertama yang menggagas tentang teori politik
bernegara dalam bingkai Islam dan orang pertama yang menulis tentang politik
dan administrasi negara.[3] lewat
buku karangannya dalam bidang politik yang sangat prestisius yang berjudul
‚Al-Ahkam al-Sultaniyah.
Situasi politik dunia islam pada masa Imam Mawardi yakni
sejak akhir abad X sampai dengan pertengahan abad XI Masehi. Sedang mengalami
kekacauan dan kemunduran bahkan lebih para dibandingkan masa sebelumnya. Yaitu
pada masa kekhalifahan al-Mu’tamid, al-Muqtadir dan puncaknya pada kekuasaan
khalifah alMuti’ pada akhhir abad IX M. Di masa ini tidak ada stabilitas dan
akuntabilitas dalam pemerintahan.
Baghdad yang merupakan pusat kekuasaan dan peradaban
serta pemegang kendali yang menjangkau seluruh penjuru dunia Islam lambat laun
meredup dan pindah ke kota-kota lain. Kekuasaan khalifah mulai melemah dan
harus membagi kekuasaannya dengan para panglimanya yang berkebangasaan Turki
atau Persia, karena tidak mungkin lagi kedaulatan Islam yang begitu luas
wilayahnya harus tunduk dan patuh kepada satu orang kepala negara.[4]
Pada masa itu kedudukan khalifah di Baghdad hanya sebagai
kepala negara yang bersifat formal. Sedangkan kekuasaan dan pelaksana
pemerintah sebenarnya adalah para penglima dan pejabat tinggi negara yang
berkebangsaan Turki atau Persia serta penguasa wilayah di beberapa wilayah.
Bahkan dari sebagian golongan menuntut agar jabatan kepala negara bisa diisi
oleh orang-orang yang bukan dari bangsa Arab dan bukan dari keturunan suku
Quraysh. Namun tuntutan tersebut mendapat reaksi dari golongan Arab yang ingin
mempertahankan hegemoninya bahwa keturunan suku Quraysh sebagai salah satu
syarat untuk bisa menjabat sebagai kepala negara dan keturunan Arab sebagai
syarat menjadi penasehat dan pembantu utama kepala negara dalam menyusun
kebijakan. Mawardi merupakan salah satu tokoh yang mempertahankan syarat-syarat
tersebut.
B. Hubungan
Agama dan Negara Menurut Al Mawardi
Sebagaimana Plato dan Aristoteles, Imam Mawardi juga berpendapat
bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang saling berkerja sama dan membantu
satu sama lain, namun ia memasukkan paham agama didalamnya. Menurut Imam
Mawardi kelemahan manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi semua
kebutuhannya sendiri dan terdapatnya keanekaragaman dan perbedaan bakat,
pembawaan, kecenderungan alami serta kemampuan, semua itu mendorong manusia
untuk bersatu dan saling membantu.
Berangkat dari kebutuhan untuk bekerja sama inilah
akhirnya manusia sepakat untuk mendirikan negara. Suatu hal yang menarik dari
gagasan ketatanegaraan ini adalah hubungan antara dua pihak peserta kontrak
sosial atau perjanjian atas dasar sukarela, satu kontrak atau persetujuan yang
melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik.
Oleh karena itu imam, selain berhak untuk ditaati oleh rakyat dan untuk
menuntut loyalitas penuh dari mereka, imam sebaliknya mempunyai
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya. Seperti memberikan
perlindungan kepada mereka dan mengelola kepentingan mereka dengan baik dan
penuh rasa tanggung jawab.
Dengan demikian adanya negara adalah melalui kontrak
sosial atau perjanjian atas dasar sukarela. Untuk menegakkan negara, dari segi
politik Imam Mawardi berpendapat ada enam sendi dasar yang harus diupayakan:
1.
Agama
yang dihayati sebagai pengendali hawa nafsu dan pengawasan melekat atas hati
nurani
2.
Penguasa
yang beriwabawa, yang mampu mempersatukan aspirasi yang berbeda sehingga dapat
mengantarkan negara mencapai tujuannya.
3.
Keadilan
dalam arti luas, keadilan terhadap bawahan, atasan, dan mereka yang setingkat.
4.
Stabilitas
keamanan yang terkendali dan merata.
5.
Kesuburan
tanah (lahan) yang berkesinambungan.
6.
Harapan
kelangsungan hidup.
Imam dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian dalam
mengurus urusan agama dan mengatur kehidupan dunia. Dalam hal ini Imam Mawardi
memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara disamping baju politik.
Menurutnya Allah mengangkat
untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk
mengamankan negara, disertai dengan mandat politik.[5]
Dengan demikian seorang imam disatu pihak adalah pemimpin
agama, dan di lain pihak adalah pemimpin politik. Jabatan kepala negara dapat
ditempuh dua sistem yang pertama adalah dipilih oleh parlemen yang disebut
ahlul ahli wal aqdi (orang yang mempunyai wewenang untuk memecahkan masalah dan
menetapkan keputusan), atau disebut juga model ahlul ikhtiar.[6]Parlemen
harus mempunyai syarat:
1.
Kredibilitas
pribadinya atau keseimbangan memenuhi semua kriteria.
2.
Mempunyai
ilmu sehingga tahu siapa yang berhak dan pantas untuk memangku jabatan kepala
negara dengan syarat-syaratnya.
3.
Memiliki
pendapat yang kuat dan hikmah yang membuatnya dapat memilih siapa yang paling
pantas untuk memangku jabatan kepala negara dan siapa yang paling mampu serta
pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan umat. Adapun
syarat kepala negara sebagai berikut:
a.
Adil
dalam arti luas
b.
Memiliki
ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad
c.
Sehat
pendengaran, penglihatan, dan lisan
d.
Sehat
jasmani sehingga tidak terhalang untuk beraktifitas
e.
Pandai
dalam mengendalikan urusan rakyat
f.
Berani
dan tegas membela rakyat
g.
Keturunan
etnis Quraysh
Imam Mawardi menerapkan syarat terakhir berdasarkan
hadis-hadis nabi yang mengutamakan etnis Quraysh. Syarat terakhir bisa jadi
dilatarbelakangi situasi politik saat itu. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa orangorang Turki dan Persia ingin merebut kekuasaan orang
Quraysh pada masa pemerintahan Abbasiyah. Dan Imam Mawardi adalah elit politik
dalam pemerintahan ini sehingga status quo[7]
perlu dipertahankan agar terjamin stabilitas politik dan kekuasaan secara riil
berada ditangan Abbasiyah.
C. Biografi
Al Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali
ath-Thusi, populer dengan panggilan al-Ghazali, lahir di kota Thus, Khurasan
dekat Nisabur, tahun 450/1058 M,[8] dari
seorang ayah yang wara’ dalam kehidupan beragamanya, mencintai ilmu dan ulama’
serta gemar menghadiri majlis keilmuan, untuk menghidupi keluarganya ayah
al-Ghazali bekerja sebagai pemintal benang dan menjualnya di Thus, karena
pekerjaan ini ia dikenal dengan panggilan al-Ghazali.[9]
Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil, konon berumur 6
tahun, sebelum meninggal ia menitipkan kepada sahabatnya seorang sufi yang
bernama Ali Ahmad bin Muhammad al-Razakani, agar ia diurus dan dididik bersama
adiknya dan diserahkan pula sejumlah uang simpanan. Pesannya, jika bekal itu
habis, kedua anaknya hidup mandiri dengan jalan mengajar. Semua pesan itu
dipenuhi dengan baik oleh sahabatnya.[10]
Ia kemudian dimasukkan ke sebuah sekolah yang menyediakan
biaya hidup bagi para muridnya. Di sini gurunya adalah Yusuf al-Nassj yang juga
seorang sufi, setelah tamat, ia melanjutkan pelajarannya di kota Jurjan yang
ketika itu juga menjadi pusat kegiatan ilmiah. Di sini ia mendalami pengetahuan
bahasa Arab dan Persi, di samping belajar pengetahuan agama, di antara gurunya
adalah Imam Abu Naser al-Isma’ili. Karena kurang puas ia kembali ke Thus.
Beberapa tahun kemudian, ia pergi ke Nisabur dan sekolah di Madrasah Nidzamiyah
yang dipimpin ulama’ besar, Imam al-Haramain al-Juaini.
Melalui al-Juaini ia memperoleh ilmu usul al-fiqh, ilmu
mantik (logika) dan ilmu kalam (teologi).[11]
Ia memiliki kecerdasan yang tinggi karena pandai menggunakan logika.
Kemampuannya menguasai ilmu dan diskusi ilmiah diakui oleh teman-temannya.[12]
Ia diangkat menjadi asisten gurunya dalam beberapa hal.
Setelah al-Juaini wafat (478 H / 1085 M), al-Ghazali
meninggalkan Nisabur menuju Askar untuk memenuhi undangan perdana mentri Zidzam
al-Mulk, pendiri Madrasah Nidzamiyah. Di sini ia menghadiri pertemuan-pertemuan
rutin yang diadakan di istana Nidzam al-Mulk. Melalui forum inilah kemashurannya
semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Kepandaiannya menyebabkan
perdana menteri mengangkatnya sebagai guru besar pada tahun 488 H di Madrasah
Nidzamiyah, bahkan ia ditunjuk menjadi rektor pada usia 34 tahun.[13]
As-Subki dalam sirah al-Ghazali menyebutkan bahwa pada
saat al-Ghazali di Baghdad ia mengajarkan sejumlah ilmu, memberi fatwa,
mengarang buku, memiliki kecemerlangan dan kemegahan, kedudukan tinggi, nama
yang sangat mashur dan banyak yang melakukan perjalanan untuk belajar padanya,
sampai-sampai ia merasa mulia di atas kemegahan itu,[14]
kemudian kemegahan itu ditinggalkannya secara keseluruhan pada bulan Dzulqa’dah
tahun 488 H, ia mulai kehidupan zuhud dan bermaksud melaksanakan ibadah haji.[15]
Pada tahun 489 H, al-Ghazali datang ke Damaskus dan
bermukim sejenak, sembari mulai menulis Ihyā’ Ulūm al-Dīn. Pada tahun 490 H, ia
pergi ke Khurasan melalui Baghdad untuk menemui Imam Abu Bakr Ibnu al-Arabi.
Sekembalinya, ke kota Thus al-Ghazali mengajar di kota itu. Setelah itu
al-Ghazali meninggalkan profesi sebagai guru, tidak lagi mengajar dan tidak
juga mengadakan diskusi-diskusi tetapi menyibukkan diri dengan ibadah dan
uzlah. Pekerjaan ini dilakukan hampir sembilan tahun lamanya.[16] Pada
tahun 499 H, ia kembali mengajar di Madrasah Nidzamiyah di Nisabur, kemudian
pada tahun 503 H, ia meninggalkan kegiatan mengajarnya dan kembali ke Thus dan
meninggal di sana pada 19 Jumadal Akhirah 505 H, bertepatan dengan tanggal 18
Desember 1111 M.[17]
Abd al-Rahman Badawi dalam bukunya Muallafat al-Ghazali, menyebutkan bahwa
karya-karyanya mencapai 457 buah meskipun umurnya tidak lebih 55 tahun.
D. Hubungan
Agama dan Negara Menurut Al Ghazali
Al-Ghazali berpendapat bahwa mengangkat seorang pemimpin
negara (khalifah) tidak berdasarkan rasio, melainkan wajib syar’i karena tugas
utama khalifah adalah dalam rangka memelihara syariat. Bertolak dari dasar
pemikirannya ia mengatakan bahwa dunia adalah ladang untuk mengumpulkan
perbekalan bagi kehidupan di akhirat, dunia merupakan wahana untuk mencari
ridha Tuhan, sedangkan pemanfaatan dunia untuk tujuan ukhrawi hanya mungkin
kalau terdapat ketertiban, keamanan dan kesejahteraan yang merata di dunia.
Tujuan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara tidak semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan material dan duniawi yang tidak mungkin ia penuhi sendirian,
tetapi lebih dari itu untuk mempersiapkan diri bagi kehidupan yang sejahtera di
akhirat. Dan hal itu baru mungkin dalam suasana dunia yang tertib, aman dan
tentram, dan untuk menciptakan dunia yang demikian yang diperlukan adalah kepala
negara yang ditaati.
Al-Ghazali mengibaratkan agama dan sultan sebagai dua
anak kembar, agama adalah pondasi, sultan adalah penjaganya, sesuatu yang tanpa
pondasi akan mudah runtuh, dan sesuatu tanpa penjaga akan hilang. Keberadaan
sultan merupakan keharusan bagi ketertiban dunia, ketertiban dunia merupakan
keharusan bagi ketertiban agama, dan ketertiban agama merupakan keharusan bagi
tercapainya kesejahteraan akhirat. Dengan demikian terdapat ikatan erat antara
dunia dan agama bagi tegaknya wibawa dan kedaulatan negara melalui kepala
negara yang ditaati dan yang mampu melindungi kepentingan rakyat, baik duniawi
maupun ukhrawi.
Al-Ghazali mengatakan bahwa sumber kekuasaan dan
kewarganegaraan kepala negara berdasarkan firman Allah:
ياأيها الذين آمنوا أطيعوا الله
وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم (النساء:59)
“Hai Orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan RasulNya, dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kamu.”
Maka seharusnya tiap orang yang beragama mencintai raja
dan para sultan dan taat kepada semua mereka yang perintahkan, karena
Al-Ghazali menyatakan bahwa para sultan adalah bayangan Allah di atas bumi-Nya,
maka tidak dibenarkan menentang dan tidak mengakui perintah-Nya.
Ia juga mengatakan bahwa kekuasaan kepala negara, sultan
atau raja tidak datang dari rakyat, tetapi dari Allah, yang diberikan hanya
kepada sejumlah kecil hamba pilihan, oleh kerenanya kekuasaan kepada negara
adalah muqaddas atau suci. Hal itu berlandaskan pada firman
Allah:
قل اللهم مالك الملك تؤتي الملك من
تشاء وتنـزع الملك ممن تشاء وتعز من تشاء وتذل من تشاء بيدك الخير ( ال عمران : 26 )
“Katakanlah :
Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki,
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki di tangan Engkaulah segala kebajikan.”
Al-Ghazali mengatakan bahwa syarat untuk dapat diangkat
menjadi kepala negara ada sepuluh, yaitu : 1) dewasa atau aqil baligh, 2) otak
yang sehat; 3) merdeka dan bukan budak; 4) laki-laki; 5) keturunan Quraisy; 6)
pendengaran dan penglihatan yang sehat; 7) kekuasaan yang nyata;[18]
8) hidayah;[19]
9) ilmu pengetahuan;[20] 10)
wara’ (kehidupan yang bersih dengan kemampuan mengendalikan diri; tidak berbuat
hal-hal yang terlarang dan tercela).[21]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem
pemerintahan yang ditawarkan al-Ghazali adalah teokrasi yaitu kekuasaan kepala
negara itu datang dari Tuhan, dan bukan dari rakyat. Oleh karena seorang kepala
negara tidak boleh dilengserkan dari singgasananya.
KESIMPULAN
Menurut Al Mawardi berpendapat bahwa Imam dibentuk untuk
menggantikan posisi kenabian dalam mengurus urusan agama dan mengatur kehidupan
dunia. Dalam hal ini Imam Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan
kepala negara disamping baju politik. Menurutnya Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai
pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan negara, disertai dengan mandat
politik.
Dengan demikian seorang imam disatu
pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak adalah pemimpin politik. Jabatan
kepala negara dapat ditempuh dua sistem yang pertama adalah dipilih oleh
parlemen yang disebut ahlul ahli wal aqdi (orang yang mempunyai wewenang untuk
memecahkan masalah dan menetapkan keputusan), atau disebut juga model ahlul
ikhtiar.
Al-Ghazali mengibaratkan agama dan
sultan sebagai dua anak kembar, agama adalah pondasi, sultan adalah penjaganya,
sesuatu yang tanpa pondasi akan mudah runtuh, dan sesuatu tanpa penjaga akan
hilang. Keberadaan sultan merupakan keharusan bagi ketertiban dunia, ketertiban
dunia merupakan keharusan bagi ketertiban agama, dan ketertiban agama merupakan
keharusan bagi tercapainya kesejahteraan akhirat. Dengan demikian terdapat
ikatan erat antara dunia dan agama bagi tegaknya wibawa dan kedaulatan negara
melalui kepala negara yang ditaati dan yang mampu melindungi kepentingan
rakyat, baik duniawi maupun ukhrawi.
[1] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990) 58
[2] Imam al-Mawardi, Al Hawi al-Kabir, Cet ke
1, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1994), 55.
[3] Qomaruddin Khan, Al Mawardi’s Theory of
the state, Kekuasaan, Pengkhianatan , dan Otoritas Agama: Telaah Kritis Teori
Al-Mawardi Tentang Negara, Terj. Imron Rosyidi. (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2000), 37.
[4] Ibid., 59.
[5] Azyurmadi Azra, Pergolakan Politik Islam:
dari Fundamentalisme, Modernisme dan Post Modernisme, (Jakarta: Paramadina,
1996), 4.
[6] Erwin I.J Rosenthal, Political Thought in
Medieval Islam: An Intoductory Outline, (London: Cambridge University Press,
1962), 62.
[7] Munawar Sjadzali, M.A., Islam dan Tata
Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Universitas Indonesia press,
1993), 63.
[8] Ibnu Khilkan, Wafayât al-A’yân,
Maktabah al-Nahdyan, Mesir, Cet, 1, 1948, juz III, hlm. 353.
[9] Ahmad al-Syarbashi, al-Ghazâli wa
al-Tasawuf al-Islâmi, Dar al-Hilal, t.k., t.t., hlm. 23,24.
[10]
Victor Said Basil, Manhaj al-Bahsi
an al-Ma’rifa Inda al-Ghazali, terjemahan Ahmadi Thaha, Pustaka Panji Mas,
1990, hlm.7.
[11] Dewan Redaksi, Ensklopedi Islam, Juz 2,
Ichtiar Van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 25.
[12] Victor Said Basil, Op.cit, hlm. 8.
[14] Abdul Karim al-Usman, Sirah
al-Ghazali, Dar
al-Fikr, t.t., hlm. 7.
[15] Ibnu Khilkan, Loc,cit.
[16] al-Ghazali, al-Munqiz min al-Dhalal,
al-Maktabah al-Sya’biyah, Beirut, t.t., hlm, 8.
[17]
Abd al-Rahman Badawi, Muallafat
al-Ghazali, Dar al-Salam, Kuwait, t.t., hlm. 21-22.
[18]
Kekuasaan yang nyata artinya Raja
memiliki perangkat yang memadai untuk memaksakan keputusan-keputusannya
terhadap mereka yang menentangnya, menindas pembangkang dan membasmi
pemberontak seperti angkatan bersenjata dan kepolisian yang tangguh.
[19]
Hidayah dimaksudkan bahwa seorang
raja memiliki daya pikir dan daya rancang yang kuat dan ditunjang oleh
kesediaan bermusyawarah, mendengar pendapat serta nasehat orang lain.
[20]
Ilmu pengetahuan berarti seorang
raja memiliki kemampuan untuk mengembalikan segala masalah hukum dan syariah
Islam kepada para ulama dan cendekiawan terpandai yang hidup pada zamannya dan
dia mengambil keputusan-keputusan dalam bidang hukum berdasarkan pendapat dan
saran mereka.
[21] Muhammad Jalal Syaraf, Al-Fikr Al-Siyâsi Fi
al-Islâm, Dar al-Jamiat Al-Misriyah, Kairo, 1978, hlm 180