google.com, pub-8577073204880171, DIRECT, f08c47fec0942fa0

google.com, pub-8577073204880171, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Saturday, June 17, 2017

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA

            Hubungan agama dan negara menjadi perdebatn para ahli hingga saat ini, suatu negara didirikan sebagai pemenuh dari sifat manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain. Namun, selain sebagai makhluk sosial, manusia juga sebagai makhluk tuhan, ia mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada tuhan dalam bentuk ibadah atau penyembahan sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.
            Semua hal yang ditetapkan dalam bernegara adalah suatu hasil pemikiran dari kesepakatan bersama, sementara pemikiran setiap manusia secara langsung maupun tidak langsung sudah terpengaruh oleh kepercayaannya yang bersumber dari pemahaman agamanya. Inilah yang kemudian membuat agama dan negara memiliki hubungan.
            Dalam sila pertama Pancasila dituliskan “Ketuhanan yang maha esa” yang bisa kita artikan bahwa Negara Indonesia dilahirkan atas dasar ketuhanan, ini tentu menunjukkan bahwa warga negara yang tidak bertuhan seperti komunis, tidak pantas hidup di negara Indonesia ini, karena negara indonesia berdasarkan kepada ketuhanan, sementara Komunis tidak mempercayai adanya tuhan. Mereka menganggap bahwa agama hanya akan menjadi candu yang akan merusak dan menghalangi kebebasan manusia untuk berfikir.
            Jika berbicara hubungan agama dan negara di Indonesia, sejak zaman sebelum kemerdekaan, pengaruh agama sangat kuat terhadap perjuangan melawan penjajah. Terlihat dari banyaknya gerakan Ulama dan santri-santri yang bersatu bersama-sama berusaha memukul mundur para penjajah. Tidak sedikit cerita sedih yang lahir dari perjuangan itu. Mulai dari pembantaian santri, penguburan santri secara hidup-hidup dan lain sebagainya. ini menunjukkan bahwa agama sangat erat kaitannya dengan negara Indonesia ini.
            Namun yang sangat membuat miris, akhir akhir ini banyak politisi yang mengajukan untuk membuat pemisahan antara agama dan negara. Kita sudah melihat sendiri dimana nilai-nilai agama sudah semakin sedikit dipelajari di tingkat SD, SMP, maupun tingkat SMA. Dengan sedikitnya nilai-nilai agama yang diajarkan, menurut saya inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab runtuhnya moral-moral dari pemuda, di zaman sekarang ini, tidak asing bagi kita pemberitaan yang kita bisa lihat di media sosial maupun media cetak yang memberitakan tentang bagaimana seorang guru menjadi sasaran murid karena tidak suka ditegur dan di nasehati. Bahkan yang paling aneh lagi. Banyak orang tua yang membela anaknya yang sudah jelas-jelas bersalah tersebut.
            Di tingkat pejabat publik juga demikian, akhir-akhir ini terdapat beberapa kasus yang menyangkut tindakan moral dari pejabat publik, dimulai dari kasus Setya Novanto yang seolah tidak mencerminkan dirinya sebagai wakil rakyat. Dan yang terbaru adalah kasus Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang menurut saya sangat tidak sesuai dengan etika seorang pejabat publik. Yang menjadi masalah dari kasus ahok sebenarnya adalah caranya berkomunikasi politik yang selalu terbiasa dengan menghina, hingga kemudian ia dinggap menghina Islam, sedangkan di negara Indonesia ini, setip orang dijamin hak-haknya dalam beribadah sesuai dengan apa yang menjadi tuntunan agamanya masing-masing. Seorang dari agama lain tentunya tidak punya hak mencampuri apa yang menjadi ketetapan atau kepercayaan agama lain.
            Ini merupakan contoh permasalahan yang terjadi ketika nilai-nilai agama dianggap tidak ada kaitannya lagi dengan negara. Sungguh miris jika kemudian ada usulan-usulan dari politisi untuk memisahkan agama dan negara. Tentu akan lebih banyak lagi kasus- kasus yang menyangkut hilangnya moral dalam diri pemuda dan pejabat publik.
            Saya menganggap bahwa solusi dari permasalahan yang ada di Negara Indonesia saat ini adalah pemberlakuan kembali kurikulim yang bernilai agama dan kecintaan terhadap negara. Karena saya menganggap bahwa tidak ada satu agama pun yang mengajarkan pengikutnya melakukan tindakan yang buruk seperti mencaci dan menghina dan tidak da satu agama pun yang menyuruh pengikitnya untuk bermusuhan satu dengan yang lain. Semua agama menyuruh untuk pengikutnya hidup rukun dan damai dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Thursday, June 8, 2017

MAKALAH HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA MENURUT AL MAWARDI DAN AL GHAZALI

Pendahuluan

A.    Latar Belakang
Persoalan antara agama dan negara dalam masa modern merupakan salah satu subyek penting dan telah diperdebatkan para pemikir Islam sejak seabad lalu hingga dewasa ini, namun belum terpecahkan secara tuntas. Seperti argumen banyak pemikir Muslim tradisional, Islam sebagai agama adalah sebuah sistem kepercayaan di mana agama mempunyai hubungan erat dengan politik.
Dalam pemikiran politik Islam terdapat tiga paradigma tentang hubungan agama dan negara. Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi tersebut dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan negara, dalam hal ini tidak dapat dipisahkan (integrated). Wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya, menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Ilahi" (divine sovereignty), karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di "tangan" Tuhan.
Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Paradigma ketiga bersifat sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara.
Pada makalah kali ini penulis hanya akan berfokus pada paradikma kedua yang memandang bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik dengan di dukung pemikiran dua tokoh pemikir islam ternama yaitu Al Mawardi dan Al Ghazali.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi dari Al Mawardi dan Ibnu Khaldun?
2.      Bagaimana pemikiran Al Mawardi tentang hubungan Agama dan Negara?
3.      Bagaimana pemikiran Al Ghazali tentang hubungan Agama dan Negara?



PEMBAHASAN
A.    Biografi Al Mawardi
Nama lengkap Imam Mawardi adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib bin al-Mawardi al-Bashri.[1] Mawardi dilahirkan di Basrah tahun 364 H atau 975 M. Panggilan al-Mawardi diberikan kepadanya karena kecerdasan dan kepandaiannya dalam berorasi, berdebat, beragumen dan memiliki ketajaman analisis terhadap setiap masalah yang dihadapinya.[2] Sedangkan julukan al-Bashri dinisbatkan pada tempat kelahiranya. Masa kecil Mawardi dihabiskan di Baghdad hingga ia tumbuh dewasa. Mawardi merupakan seorang pemikir Islam yang terkenal pada masanya. Ia juga dikenal sebagai tokoh terkemuka madzhab Syafi’i dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada dinasti Abbasiyah.
Selain sebagai pemikir dan tokoh terkemuka, ia juga dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Banyak karya-karyanya dari berbagai bidang ilmu seperti ilmu bahasa, sastra, tafsir, dan politik. Bahkan ia dikenal sebagai tokoh Islam pertama yang menggagas tentang teori politik bernegara dalam bingkai Islam dan orang pertama yang menulis tentang politik dan administrasi negara.[3] lewat buku karangannya dalam bidang politik yang sangat prestisius yang berjudul ‚Al-Ahkam al-Sultaniyah.
Situasi politik dunia islam pada masa Imam Mawardi yakni sejak akhir abad X sampai dengan pertengahan abad XI Masehi. Sedang mengalami kekacauan dan kemunduran bahkan lebih para dibandingkan masa sebelumnya. Yaitu pada masa kekhalifahan al-Mu’tamid, al-Muqtadir dan puncaknya pada kekuasaan khalifah alMuti’ pada akhhir abad IX M. Di masa ini tidak ada stabilitas dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Baghdad yang merupakan pusat kekuasaan dan peradaban serta pemegang kendali yang menjangkau seluruh penjuru dunia Islam lambat laun meredup dan pindah ke kota-kota lain. Kekuasaan khalifah mulai melemah dan harus membagi kekuasaannya dengan para panglimanya yang berkebangasaan Turki atau Persia, karena tidak mungkin lagi kedaulatan Islam yang begitu luas wilayahnya harus tunduk dan patuh kepada satu orang kepala negara.[4]
Pada masa itu kedudukan khalifah di Baghdad hanya sebagai kepala negara yang bersifat formal. Sedangkan kekuasaan dan pelaksana pemerintah sebenarnya adalah para penglima dan pejabat tinggi negara yang berkebangsaan Turki atau Persia serta penguasa wilayah di beberapa wilayah. Bahkan dari sebagian golongan menuntut agar jabatan kepala negara bisa diisi oleh orang-orang yang bukan dari bangsa Arab dan bukan dari keturunan suku Quraysh. Namun tuntutan tersebut mendapat reaksi dari golongan Arab yang ingin mempertahankan hegemoninya bahwa keturunan suku Quraysh sebagai salah satu syarat untuk bisa menjabat sebagai kepala negara dan keturunan Arab sebagai syarat menjadi penasehat dan pembantu utama kepala negara dalam menyusun kebijakan. Mawardi merupakan salah satu tokoh yang mempertahankan syarat-syarat tersebut.

B.     Hubungan Agama dan Negara Menurut Al Mawardi
Sebagaimana Plato dan Aristoteles, Imam Mawardi juga berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang saling berkerja sama dan membantu satu sama lain, namun ia memasukkan paham agama didalamnya. Menurut Imam Mawardi kelemahan manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhannya sendiri dan terdapatnya keanekaragaman dan perbedaan bakat, pembawaan, kecenderungan alami serta kemampuan, semua itu mendorong manusia untuk bersatu dan saling membantu.
Berangkat dari kebutuhan untuk bekerja sama inilah akhirnya manusia sepakat untuk mendirikan negara. Suatu hal yang menarik dari gagasan ketatanegaraan ini adalah hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela, satu kontrak atau persetujuan yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Oleh karena itu imam, selain berhak untuk ditaati oleh rakyat dan untuk menuntut loyalitas penuh dari mereka, imam sebaliknya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya. Seperti memberikan perlindungan kepada mereka dan mengelola kepentingan mereka dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab.
Dengan demikian adanya negara adalah melalui kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela. Untuk menegakkan negara, dari segi politik Imam Mawardi berpendapat ada enam sendi dasar yang harus diupayakan:
1.      Agama yang dihayati sebagai pengendali hawa nafsu dan pengawasan melekat atas hati nurani
2.      Penguasa yang beriwabawa, yang mampu mempersatukan aspirasi yang berbeda sehingga dapat mengantarkan negara mencapai tujuannya.
3.      Keadilan dalam arti luas, keadilan terhadap bawahan, atasan, dan mereka yang setingkat.
4.      Stabilitas keamanan yang terkendali dan merata.
5.      Kesuburan tanah (lahan) yang berkesinambungan.
6.      Harapan kelangsungan hidup.

Imam dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian dalam mengurus urusan agama dan mengatur kehidupan dunia. Dalam hal ini Imam Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara disamping baju politik. Menurutnya Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan negara, disertai dengan mandat politik.[5]
Dengan demikian seorang imam disatu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak adalah pemimpin politik. Jabatan kepala negara dapat ditempuh dua sistem yang pertama adalah dipilih oleh parlemen yang disebut ahlul ahli wal aqdi (orang yang mempunyai wewenang untuk memecahkan masalah dan menetapkan keputusan), atau disebut juga model ahlul ikhtiar.[6]Parlemen harus mempunyai syarat:
1.    Kredibilitas pribadinya atau keseimbangan memenuhi semua kriteria.
2.    Mempunyai ilmu sehingga tahu siapa yang berhak dan pantas untuk memangku jabatan kepala negara dengan syarat-syaratnya.
3.    Memiliki pendapat yang kuat dan hikmah yang membuatnya dapat memilih siapa yang paling pantas untuk memangku jabatan kepala negara dan siapa yang paling mampu serta pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan umat. Adapun syarat kepala negara sebagai berikut:
a.       Adil dalam arti luas
b.      Memiliki ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad
c.       Sehat pendengaran, penglihatan, dan lisan
d.      Sehat jasmani sehingga tidak terhalang untuk beraktifitas
e.       Pandai dalam mengendalikan urusan rakyat
f.       Berani dan tegas membela rakyat
g.      Keturunan etnis Quraysh

Imam Mawardi menerapkan syarat terakhir berdasarkan hadis-hadis nabi yang mengutamakan etnis Quraysh. Syarat terakhir bisa jadi dilatarbelakangi situasi politik saat itu. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa orangorang Turki dan Persia ingin merebut kekuasaan orang Quraysh pada masa pemerintahan Abbasiyah. Dan Imam Mawardi adalah elit politik dalam pemerintahan ini sehingga status quo[7] perlu dipertahankan agar terjamin stabilitas politik dan kekuasaan secara riil berada ditangan Abbasiyah.

C.    Biografi Al Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali ath-Thusi, populer dengan panggilan al-Ghazali, lahir di kota Thus, Khurasan dekat Nisabur, tahun 450/1058 M,[8] dari seorang ayah yang wara’ dalam kehidupan beragamanya, mencintai ilmu dan ulama’ serta gemar menghadiri majlis keilmuan, untuk menghidupi keluarganya ayah al-Ghazali bekerja sebagai pemintal benang dan menjualnya di Thus, karena pekerjaan ini ia dikenal dengan panggilan al-Ghazali.[9]
Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil, konon berumur 6 tahun, sebelum meninggal ia menitipkan kepada sahabatnya seorang sufi yang bernama Ali Ahmad bin Muhammad al-Razakani, agar ia diurus dan dididik bersama adiknya dan diserahkan pula sejumlah uang simpanan. Pesannya, jika bekal itu habis, kedua anaknya hidup mandiri dengan jalan mengajar. Semua pesan itu dipenuhi dengan baik oleh sahabatnya.[10]
Ia kemudian dimasukkan ke sebuah sekolah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di sini gurunya adalah Yusuf al-Nassj yang juga seorang sufi, setelah tamat, ia melanjutkan pelajarannya di kota Jurjan yang ketika itu juga menjadi pusat kegiatan ilmiah. Di sini ia mendalami pengetahuan bahasa Arab dan Persi, di samping belajar pengetahuan agama, di antara gurunya adalah Imam Abu Naser al-Isma’ili. Karena kurang puas ia kembali ke Thus. Beberapa tahun kemudian, ia pergi ke Nisabur dan sekolah di Madrasah Nidzamiyah yang dipimpin ulama’ besar, Imam al-Haramain al-Juaini.
Melalui al-Juaini ia memperoleh ilmu usul al-fiqh, ilmu mantik (logika) dan ilmu kalam (teologi).[11] Ia memiliki kecerdasan yang tinggi karena pandai menggunakan logika. Kemampuannya menguasai ilmu dan diskusi ilmiah diakui oleh teman-temannya.[12] Ia diangkat menjadi asisten gurunya dalam beberapa hal.
Setelah al-Juaini wafat (478 H / 1085 M), al-Ghazali meninggalkan Nisabur menuju Askar untuk memenuhi undangan perdana mentri Zidzam al-Mulk, pendiri Madrasah Nidzamiyah. Di sini ia menghadiri pertemuan-pertemuan rutin yang diadakan di istana Nidzam al-Mulk. Melalui forum inilah kemashurannya semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Kepandaiannya menyebabkan perdana menteri mengangkatnya sebagai guru besar pada tahun 488 H di Madrasah Nidzamiyah, bahkan ia ditunjuk menjadi rektor pada usia 34 tahun.[13]
As-Subki dalam sirah al-Ghazali menyebutkan bahwa pada saat al-Ghazali di Baghdad ia mengajarkan sejumlah ilmu, memberi fatwa, mengarang buku, memiliki kecemerlangan dan kemegahan, kedudukan tinggi, nama yang sangat mashur dan banyak yang melakukan perjalanan untuk belajar padanya, sampai-sampai ia merasa mulia di atas kemegahan itu,[14] kemudian kemegahan itu ditinggalkannya secara keseluruhan pada bulan Dzulqa’dah tahun 488 H, ia mulai kehidupan zuhud dan bermaksud melaksanakan ibadah haji.[15]
Pada tahun 489 H, al-Ghazali datang ke Damaskus dan bermukim sejenak, sembari mulai menulis Ihyā’ Ulūm al-Dīn. Pada tahun 490 H, ia pergi ke Khurasan melalui Baghdad untuk menemui Imam Abu Bakr Ibnu al-Arabi. Sekembalinya, ke kota Thus al-Ghazali mengajar di kota itu. Setelah itu al-Ghazali meninggalkan profesi sebagai guru, tidak lagi mengajar dan tidak juga mengadakan diskusi-diskusi tetapi menyibukkan diri dengan ibadah dan uzlah. Pekerjaan ini dilakukan hampir sembilan tahun lamanya.[16] Pada tahun 499 H, ia kembali mengajar di Madrasah Nidzamiyah di Nisabur, kemudian pada tahun 503 H, ia meninggalkan kegiatan mengajarnya dan kembali ke Thus dan meninggal di sana pada 19 Jumadal Akhirah 505 H, bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M.[17] Abd al-Rahman Badawi dalam bukunya Muallafat al-Ghazali, menyebutkan bahwa karya-karyanya mencapai 457 buah meskipun umurnya tidak lebih 55 tahun.

D.    Hubungan Agama dan Negara Menurut Al Ghazali
Al-Ghazali berpendapat bahwa mengangkat seorang pemimpin negara (khalifah) tidak berdasarkan rasio, melainkan wajib syar’i karena tugas utama khalifah adalah dalam rangka memelihara syariat. Bertolak dari dasar pemikirannya ia mengatakan bahwa dunia adalah ladang untuk mengumpulkan perbekalan bagi kehidupan di akhirat, dunia merupakan wahana untuk mencari ridha Tuhan, sedangkan pemanfaatan dunia untuk tujuan ukhrawi hanya mungkin kalau terdapat ketertiban, keamanan dan kesejahteraan yang merata di dunia. Tujuan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan material dan duniawi yang tidak mungkin ia penuhi sendirian, tetapi lebih dari itu untuk mempersiapkan diri bagi kehidupan yang sejahtera di akhirat. Dan hal itu baru mungkin dalam suasana dunia yang tertib, aman dan tentram, dan untuk menciptakan dunia yang demikian yang diperlukan adalah kepala negara yang ditaati.
Al-Ghazali mengibaratkan agama dan sultan sebagai dua anak kembar, agama adalah pondasi, sultan adalah penjaganya, sesuatu yang tanpa pondasi akan mudah runtuh, dan sesuatu tanpa penjaga akan hilang. Keberadaan sultan merupakan keharusan bagi ketertiban dunia, ketertiban dunia merupakan keharusan bagi ketertiban agama, dan ketertiban agama merupakan keharusan bagi tercapainya kesejahteraan akhirat. Dengan demikian terdapat ikatan erat antara dunia dan agama bagi tegaknya wibawa dan kedaulatan negara melalui kepala negara yang ditaati dan yang mampu melindungi kepentingan rakyat, baik duniawi maupun ukhrawi.
Al-Ghazali mengatakan bahwa sumber kekuasaan dan kewarganegaraan kepala negara berdasarkan firman Allah:
ياأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم (النساء:59)
“Hai Orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan RasulNya, dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kamu.”
Maka seharusnya tiap orang yang beragama mencintai raja dan para sultan dan taat kepada semua mereka yang perintahkan, karena Al-Ghazali menyatakan bahwa para sultan adalah bayangan Allah di atas bumi-Nya, maka tidak dibenarkan menentang dan tidak mengakui perintah-Nya.
Ia juga mengatakan bahwa kekuasaan kepala negara, sultan atau raja tidak datang dari rakyat, tetapi dari Allah, yang diberikan hanya kepada sejumlah kecil hamba pilihan, oleh kerenanya kekuasaan kepada negara adalah muqaddas atau suci. Hal itu berlandaskan pada firman Allah:
قل اللهم مالك الملك تؤتي الملك من تشاء وتنـزع الملك ممن تشاء وتعز من تشاء وتذل من تشاء بيدك الخير ( ال عمران : 26 )
“Katakanlah : Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki di tangan Engkaulah segala kebajikan.”
Al-Ghazali mengatakan bahwa syarat untuk dapat diangkat menjadi kepala negara ada sepuluh, yaitu : 1) dewasa atau aqil baligh, 2) otak yang sehat; 3) merdeka dan bukan budak; 4) laki-laki; 5) keturunan Quraisy; 6) pendengaran dan penglihatan yang sehat; 7) kekuasaan yang nyata;[18] 8) hidayah;[19] 9) ilmu pengetahuan;[20] 10) wara’ (kehidupan yang bersih dengan kemampuan mengendalikan diri; tidak berbuat hal-hal yang terlarang dan tercela).[21]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang ditawarkan al-Ghazali adalah teokrasi yaitu kekuasaan kepala negara itu datang dari Tuhan, dan bukan dari rakyat. Oleh karena seorang kepala negara tidak boleh dilengserkan dari singgasananya.



KESIMPULAN

Menurut Al Mawardi berpendapat bahwa Imam dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian dalam mengurus urusan agama dan mengatur kehidupan dunia. Dalam hal ini Imam Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara disamping baju politik. Menurutnya Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan negara, disertai dengan mandat politik.
            Dengan demikian seorang imam disatu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak adalah pemimpin politik. Jabatan kepala negara dapat ditempuh dua sistem yang pertama adalah dipilih oleh parlemen yang disebut ahlul ahli wal aqdi (orang yang mempunyai wewenang untuk memecahkan masalah dan menetapkan keputusan), atau disebut juga model ahlul ikhtiar.
            Al-Ghazali mengibaratkan agama dan sultan sebagai dua anak kembar, agama adalah pondasi, sultan adalah penjaganya, sesuatu yang tanpa pondasi akan mudah runtuh, dan sesuatu tanpa penjaga akan hilang. Keberadaan sultan merupakan keharusan bagi ketertiban dunia, ketertiban dunia merupakan keharusan bagi ketertiban agama, dan ketertiban agama merupakan keharusan bagi tercapainya kesejahteraan akhirat. Dengan demikian terdapat ikatan erat antara dunia dan agama bagi tegaknya wibawa dan kedaulatan negara melalui kepala negara yang ditaati dan yang mampu melindungi kepentingan rakyat, baik duniawi maupun ukhrawi.


[1] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990) 58
[2] Imam al-Mawardi, Al Hawi al-Kabir, Cet ke 1, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1994), 55.
[3] Qomaruddin Khan, Al Mawardi’s Theory of the state, Kekuasaan, Pengkhianatan , dan Otoritas Agama: Telaah Kritis Teori Al-Mawardi Tentang Negara, Terj. Imron Rosyidi. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 37.
[4] Ibid., 59.
[5] Azyurmadi Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme dan Post Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), 4.
[6] Erwin I.J Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam: An Intoductory Outline, (London: Cambridge University Press, 1962), 62.
[7] Munawar Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Universitas Indonesia press, 1993), 63.
[8] Ibnu Khilkan, Wafayât al-A’yân, Maktabah al-Nahdyan, Mesir, Cet, 1, 1948, juz III, hlm. 353.
[9] Ahmad al-Syarbashi, al-Ghazâli wa al-Tasawuf al-Islâmi, Dar al-Hilal, t.k., t.t., hlm. 23,24.
[10] Victor Said Basil, Manhaj al-Bahsi an al-Ma’rifa Inda al-Ghazali, terjemahan Ahmadi Thaha, Pustaka Panji Mas, 1990, hlm.7.
[11] Dewan Redaksi, Ensklopedi Islam, Juz 2, Ichtiar Van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 25.
[12] Victor Said Basil, Op.cit, hlm. 8.
[13] Jamil Akhmad, Hundread Great Muslim, Ferozsons Ltd, Lahore, 1984, hlm. 25.
[14] Abdul Karim al-Usman, Sirah al-Ghazali, Dar al-Fikr, t.t., hlm. 7.
[15] Ibnu Khilkan, Loc,cit.
[16] al-Ghazali, al-Munqiz min al-Dhalal, al-Maktabah al-Sya’biyah, Beirut, t.t., hlm, 8.
[17] Abd al-Rahman Badawi, Muallafat al-Ghazali, Dar al-Salam, Kuwait, t.t., hlm. 21-22.
[18] Kekuasaan yang nyata artinya Raja memiliki perangkat yang memadai untuk memaksakan keputusan-keputusannya terhadap mereka yang menentangnya, menindas pembangkang dan membasmi pemberontak seperti angkatan bersenjata dan kepolisian yang tangguh.
[19] Hidayah dimaksudkan bahwa seorang raja memiliki daya pikir dan daya rancang yang kuat dan ditunjang oleh kesediaan bermusyawarah, mendengar pendapat serta nasehat orang lain.
[20] Ilmu pengetahuan berarti seorang raja memiliki kemampuan untuk mengembalikan segala masalah hukum dan syariah Islam kepada para ulama dan cendekiawan terpandai yang hidup pada zamannya dan dia mengambil keputusan-keputusan dalam bidang hukum berdasarkan pendapat dan saran mereka.
[21] Muhammad Jalal Syaraf, Al-Fikr Al-Siyâsi Fi al-Islâm, Dar al-Jamiat Al-Misriyah, Kairo, 1978, hlm 180