google.com, pub-8577073204880171, DIRECT, f08c47fec0942fa0

google.com, pub-8577073204880171, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Wednesday, April 29, 2020

Mistis dan Persepsi dalam Filsafat



Mistik adalah suatu hal yang dimiliki oleh hampir semua agama untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan tuhan serta hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia biasa. Mistik adalah pengetahuan yang tidak rasional atau tidak masuk akal/susah dicerna oleh akal manusia, menurut saya pengetahuan mistik termasuk kedalam pengetahuan metafisika yang artinya cabang cabang filsafat yang membicarakan hal-hal yange berada di luar kenyataan, metafisika ini membahas tentang sesuatau yang bersifat keluarbiasaan yang berada diluar pengalaman manusia. Pengetahuan mistik ialah pengetahuan yang diperoleh tidak melalui panca indra dan akal. Pengetahuan ini diperoleh melalui rasa, melalui hati sebagai alat merasa. Objek dari pengetahuan
mistik adalah yang abstrak supra rasional seperti tuhan ( yang diluar ilmu
pengetahuan biasa), malaikat, jin, setan dan lain-lain.
Sebagai contoh: anda ingin tahu bagaimana hakekat tuhan? Kata kaum
sufi, anda harus menghilangkan sebanyak mugkin unsur jasmani dan
memperbesar unsur rohani. Bila kita tidak lagi terlalu banyak dipengaruhi oleh
unsur jasmani maka unsur rohani akan berkomunikasi dengan tuhan, yang tuhan
itu semuanya rohani. Kaum sufi kerap kali mengaku bahwa mereka telah
menembus dunia lain, dunia yang gaib yang sangat berbeda dengan dunia nyata.
Pengetahuan mistik yang lain seperti ilmu kekebalan tubuh, bagaimana cara
memperolehnya? Yaitu dengan latiha batin. Pelet dan santet diperoleh juga
dengan metode yang sama. Dapatlah disimpulkan bahwa epistimologi
pengetahuan mistik ialah pelatian batin.
Persepsi adalah tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan
informasi guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan.
Persepsi bukanlah penerimaan isyarat secara pasif, tetapi dibentuk oleh
pembelajaran, ingatan, harapan, dan perhatian. Menurut saya, persepsi termasuk
kedalam filsafat epistimologi yaitu cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan
batas-batas pengetahuan, dalam kehidupan segari-hari yang memegang peran penting pembentukan persepsi adalah indra mata dan telinga dan kadang juga
indra kulit untuk merasakan tekstur suatu bentuk. Telinga sama pentingnya
dengan mata, melalui telinga kita bisa mendengar dan kemudian melalui persepsi.

KRITIK IBNU TAIMIYAH TERHADAP SYI'AH DAN KONDISI TERKINI KAJIAN-KAJIAN SYIAH


Kritik utama yang dilontarkan Ibnu Taimiyah terhadap syi’ah dapat di rangkum
sebagai berikut: Dalam Al-Qur’an ataupun hadis tidak ada satupun dalil yang mendukung
klain Syi’ah bahwa Imamah adalah salah satu dari tiang-tiang Agama. Bagaimana hal itu
mungkin jik ghaibnya Imam dalam prakteknya telah mereduksi dirinya menjadi makhluk yang tak berguna, yang tidak mampu melayani kepentingan kaum Muslimin, baik yang
bersifat duniawi maupun ukhrawi? Imam yang gaib itu kini telah menghilang selama lebih
dari empat ratus tahun. Penantian kedatangannya kembali telah tidak menghasilkan apa-apa
selain harapan palsu, hasutan, dan praktek-praktek yang rusak di kalangan
kelompok-kelompok tertentu kaum Muslimin. Taak kepada Allah dan Rasulnya sudah cukup
untuk menghantarkan setiap Muslim ke Surga (QS:An-Nisa, 4:13, 69). Dengan menuntut
ketaatan kepada seorang Imam gaib yang tidak bisa dilihat, didengar ataupun diajak
berkomunikasi oleh siapapun, paham Syi’ah telah memaksakan suatu kewajiban kepada
kaum Muslimin yang melampaui kemampuan mereka, sesuatu yang mustahil, di tinjau dari
keadilan Tuhan. Dengan demikian doktrin Imamah bertujuan untuk menciptakan suatu rejim
yang mustahil dicapai. 

Keyakinan bahwa Ali adalah penerus yang sah dari Rasulullah dengan dasar nashsh
(ketentuan ilahi) membawa berbagai implikasi absurt yang secara khusus merusak prinsip
keadilan Ilahi. Jika anda benar-benar menghendaki Ali sebagai penerus Rasulullah, tentunya
dia telah mengetahui dengan ilmunya bahwa dia telah memilih seorang khalifah yang tidak
akan ditaati oleh seuruh ummat dan pemerintahannya akan menumbulkan perang saudara.
Jika asumsi ini benar, maka kesimpulannya adalah bahwa Tuhan dan Rasulnya telah
melakukan kezaliman besar terhadap kaum Muslimin, hal mana juga merupakan suatu hal
yang absurd. 

KONDISI KINI KAJIAN-KAJIAN SYI’AH

Faktor-fakor historis, seperti fakta bahwa Barat tidak pernah memiliki kontak
langsung dengan Syi’ah seperti yang Barat lakukan dengan islam Sunni, telah menyebabkan
negeri Barat kurang mengenal hingga kini tentang Islam Syi’ah dibandingkan dengan tentang
islam Sunni. Dan sunni juga tidak terlalu dipahami dengan benar atau ditafsirkan secara
simpatik oleh para ilmuan Barat. Barat berhubungan langsung dengan islam di Spanyol,
Sisilia dan Palestina di abad-abad pertengahan dan di semenanjung Balkan selama periode
Ustmani. Pertemuan-pertemuan ini semuanya dengan islam Sunni dengan pengecualian terbatas berhubungan dengan Isma’iliyah dalam menghadapi perang salib. Pada masa
kolonial, India merupakan wilayah luas satu-satunya yang didalamnya pengetahuan tentang
Syi’ah menjadi penting untuk hubungan harike hari dengan kaum muslim. Karena alasan ini
beberapa karya dalam bahasa inggris yang berhubungan dengan Syi’ah duabelas imam
sebagian besar terkait dengan anak benua India.19
Akibat kurang dikenalnya ini, banyak orientalis Barat era awal melancarkan
tuduhan-tuduhan yang sangat fantastis terhadap Syi’ah, seperti bahwa pandangan-pandangan
Syi’ah dikarang oleh orang-orang yahudi yang menyamar sebagai orang-orang muslim. Salah
satu alasan untuk jenis serangan ini, yang juga dapat terlihat dalam kasus tasawuf, adalah
bahwa jenis orientalis ini tidak ingin melihat dalam islam doktrin-doktrin metafisika atau
eskatologi (ajaran tentang akhir zaman) bermuatan intlektual, yang akan menempatkan islam
pada ranking yang lebih dari “agama sederhana dari gurun pasir” yang terkenal. Kareanya
para penulis seperti itu pasti menolak doktrin-doktrin metafisik dan spiritual apapun yang
ditemukan dalam ajaran-ajaran Syi’ah atau tasawuf sebagai palsu. Satu atau dua karya yang
ditulis selama periode ini dan yang berhubungan dengan Syi’ah disusun oleh para misionaris
terutama yang terkenal lantaran kebencian mereka terhadap islam. Hanya selama generasi
terakhir sejumlah ilmuan Barat yang sangat terbatas telah berusaha melakukan telaah yang
lebih serius tentang Syi’ah. Yang terkemuka di antara mereka adalah Louis Massignon, yang
menekuni beberapa telaah utama tentang Syi’ah arab era awal, dan Henry Corbin, yang telah
mencurahkan seumur hidupnya untuk menelaah Syi’ah seluruhnya dan perkembangan
intelektual mutakhirnya terutama seperti terpusat di Persia, dan yang telah mengenalkan
kepada dunia Barat untuk pertama kami sebagai kekayaan metafisik dan teosofis dari ini
sebagai aspek yang relaif belum dikenal. Namun, meskipun usaha-usaha mereka ini dan
beberapa ilmuan lainnya, kebanyakan islam Syi’ah masih tetap sebagai buku yang tertutup
hingga hari ini, dan belum muncul sebagai karya pengantar dalam bahasa Inggris untuk
menyajikan seluruh islam Syi’ah kepada orang yang baru mendalami subjek tersebut. 

PAHAM SUNNI DAN SYI'AH


PENDAHULUAN

Tidak ada satu agama pun yang berkembang di muka bumi ini yang dalam sejarahnya yang tak terbelah. Islam, walaupun satu agama samawi tak luput dari takdir ini. Islam terbelah menjadi Sunni dan Syi’ah. Soal dasar dari keterbelahan tersebut adalah emosionalisme. Kecintaan yang besar kalangan Syi’ah terhadap Ahlul Bait mempunyai pasangan berupa kehormatan yang luarbiasa di kalangan Sunni terhadap para sahabat Rasululah. Kaum Syi’ah menganggap ucapan Ahlul Bait dan para imam mereka sebagai sumber kedua yang terjamin karena keyakinan mereka tentang kemaksuman para imam.
Sedangkan kaum Sunni tentunya tak bias menerima ketentuan ini dan menentukan syarat kesinambungan (mutawatir) penyampaian dan integritas (tsiqat) setiap penyampai (perawi)

hadis sebagai landasan kedua bagi penentuan hokum syari’ah. Sebagai konsekuensinya
sumber hukum ketiga bagi hukum islam, ijma atau konsensus, berbeda pulalah
pengertiannya.
Makalah ini menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan pandangan dari Ulama Sunni
dan Syiah, dengan tujuan agar pembaca lebih memahami dan mengerti perbedaan dari kedua
aliran tersebut.
Dengan adanya makalah ini penulis berharap agar perbedaan dikalangan Islam tidak
akan menimbulkan suatu perpecahan yang mengancam hancurnya Islam itu sendiri, tetapi
menjadikan perbedaan sebagai cara untuk saling mengenal, melengkapi dan menciptakan
keindahan. Karena pada hakikatnya perbedaan itu indah laksana pelangi yang memancarkan
warna yang berbeda-beda.

PEMBAHASAN

PENGERTIAN ULAMA

Ulama berasal dari bahasa arab ‘alim yang berarti orang yang mengetahui, orang yang berilmu. Ulama berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan atau para ilmiawan.
Pemakaian kata ini di Indonesia agak bergeser sedikit dari pengertian aslinya dalam
bahasa Arab. Di Indonesia alem diartikan orang yang jujur dan tidak banyak bicara. Kata
Ulama dipakai dalam arti mufrad, sehingga kalau dimaksud jama’, ditambah kata para
sebelumnya, atau diulang, sesuai dengan kaedah bahasa Indonesia, sehingga menjadi para
ulama atau ulama-ulama. Di Indonesia, kata Ulama hanya digunakan untuk para ahli Islam 1
saja. Tetapi sesudah dekrit presiden 1959, Presiden Soekarno menggunakan juga perkataan
Ulama itu untuk para ahli agama Budha dan Hindu, para ahli agama Khatolik dan para ahli
agama Kristen, sehingga, dalam M.P.R.S terdapat golongan Ulama, yang terdiri dari Ulama
Islam, Ulama Khatolik, Ulama Kristen, serta Ulama Hindu dan Ulama Budha.

PENGERTIAN RAFIDHAH DAN SYI’AH MENURUT ULAMA SUNNI

Ummat Islam suka mencmpuradukkan antara al-rafadh (berpaham Rafidhah) dan
al-tasyayyu’ ( berpaham Syi’ah). Mereka tidak bisa membedakan kedua istilah tersebut.
Inidisebabkan ketidak pahaman tentang akidah mereka sendiri. Mereka tidak mau mengkaji
akidah Islam secara benar dari sumbernya yang asli dan otentik, yaitu Al-Qur’an dan Hadis,
serta pendapat para sahabat Nabi, pengikutnya (tabi’in) dan generasi ketiga (tabi’it-tabi’in).
Padahal, mereka itu tiga angkatan, yang di nilai oleh Rasulullah sebagai generasi terbaik
ummat Islam. Di bawah ini akan diuraukan pengertian-pengertian dari pembahasan di atas.

Pengetian Etimologi

Menurut bahasa, rafidh berarti meninggalkan, menyempal. Sedangkan Rafidhah
berarti: sempalan atau salah satu golongan (firqah) dari Syi’ah. Menurut Al-Ashmu’i, disebut
demikian karena mereka menyempal dari salah seorang imam Syi’ah, yaitu Zayd ibn ‘Ali.
Tasyayyu’ menurut bahasa berarti sikap menganut atau mendukung. Syi’at al-rijal
berarti penganut dan pendukung seseorang. Jadi kata-kata tasyayya’arrajul, artinya; seorang
lelaki menganut pahan Syi’ah.
Setap masyarakat memiliki sesuatu pandangan. Sebagian mereka mengikuti
pandangan yang lain. Mereka adalah kelompok, seperti firman Allah: “Sebagaimana
dilakukan terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa lalu” (QS, Saba,
34:54)

Pengertian Istilah

Menurut syari’at Agama, istilah rafadh berarti sikap memuliakan Ali Ibn Abi Thalib
lebih dari Abu Bakar dan Ummar. Menurut mereka, Ali lebih utama ketimbang mereka
berdua. Karena itu, Ali lebih pantas menduduki kursi kekhalifahan. Dalam hal ini, mereka
tidak sampai mencaci maki Abu Bakar dan Umar.
Tapi, bila tersebut diikuti rasa benci kepada Abu Bakar dan Umar, atau malah
memaki mereka, ini disebut rafidh ekstrim. Tak soal, apakah makian itu dengan bahasa yang
jelas, ataukah hanya dengan bahasa isarat. Dan jika sikap ini diikuti pula dengan kepercayaan
bahwa Ali Ibn Abi Thalib atau keturunannya akan muncul kembali kedunia setelah mereka
wafat, maka inilah rafadh yang paling ekstrim. 

PENGERTIAN SYI’AH DAN AHLU SUNNAH (SUNNI)

Syi’ah didefinisikan sebagai golongan Islam yang mengikuti 12 Imam dari Ahlul Bait
(keluarga dan keturunan) Rasulullah melalui keturunan Ali dan anak-anak Fatimah putri
kesayangan Nabi istri Imam Ali, dalam semua urusan ibadah dan mu’amalah. Sedangkan
Ahlu Sunnah (Sunni) adalah golongan terbesar ummat Islam yang menyandarkan amal
ibadahnya kepada mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali.

SEBAB PERPISAHAN KAUM MINORITAS SYI’AH DARI KAUM MAYORITAS
SUNNI

Para sahabat dan pengikut Ali percaya bahwa setelah kematian nabi, kekhalifahan dan
otoritas agama (marja’iyyah al-‘ilm) menjadi milik Ali. Kepercayaan ini dating dari
pemikiran mereka tentang posisi Ali dalam kaitan dengan Nabi, kaitannya dengan terpilihnya
diantara para sahabat, dan kaitannya dengan kaum muslim umumnya. Namun, terdapat 
peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi menjelang wafatnya Nabi yang mengindikasikan
adanya penentangan terhadap pandangan mereka.

Berbeda dengan harapan mereka, justru ketika Nabi menghembuskan nafas
terakhirnya, dan jasadnya masih terbaring belum disemayamkan, para anggota Ahlulbait dan
beberapa sahabat setia sibuk menyiapkan upacara penguburan Nabi saw, para sahabat dan
pengikut ali mendengar berita adanya kegiatan kelompok lain yang telah pergi ke masjid
tempat ummat berkumpul menghadapi hilangnya pimpinan yang tiba-tiba. Kelompok ini,
yang belakangan menjadi mayoritas bertindak lebih jauh, dan dengan sangat tergesa-gesa
memilih seorang khalifah bagi kaum muslimin dengan tujuan untuk menjamin kesejahteraan
umat dan menyelesaikan persoalan-persoalan urgennya. Mereka melakukan ini tanpa
melibatkan Ahlulbait Nabi, kerabat-kerabatnya atau banyak sahabatnya, yang sibuk dengan
upacara pemakaman Nabi, dan sedikit pun tidak memberitahu mereka. Dengan demikian, Ali
dan para sahabatnya berhadapan dengan keadaan yang sudah tidak dapat berubah lagi (fait
accompli).

Setelah selesai dengan penguburan jasad Nabi, Ali dan para sahabatnya seperti Abbas,
Zubair, Salman, Abu Dzar, Miqdad, dan Ammar mulai mengetahui tentang cara-cara sang
khalifah dipilih. Mereka melancarkan protes tentang cara pemilihan khalifah melalui
musyawarah atau pemilihan, dan juga terhadap “panitia” yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan pemilihan tersebut. Mereka bahkan mengajukan dalil-dalil dan
argumen-argumen mereka sendiri, tetapi jawaban yang mereka terima adalah bahwa
kesejahteraan kaum muslimin sdipertaruhkan dan solusinya terletak pada apa yang telah
dilakukan.
Protes dan kecaman inilah yang memisahkan golongan minoritas pengikut Ali dan
golongan mayoritas, dan menjadikan para pengikutnya dikenal oleh masyarakat sebagai “para
pendukung” atau “syi’ah” Ali. Kekhalifahan pada waktu itu sangat waspada terhadap sebutan
yang diberikan kepada minoritas Syi’ah, karena hal itu berarti memecah belah masyarakat
muslim kedalam dua golongan: mayoritas dan minoritas. Para pendukung khalifah
menganggap kekhalifahan sebagai persoalan konsensus umat (ijma’) dan menamakan
orang-orang yang berkeberatan sebagai “para penantang bait”. Mereka menyatakan bahwa 
berdirinya Syi’ah, sebagai penentangan terhadap masyarakat muslim. Bahkan, adakalanya
Syi’ah diberi nama-nama lain yang melecehkan dan merendahkan.

MENGAPA KAUM SYI’AH TIDAK BERPEGANG PADA MAZHAB-MAZHAB
JUMHUR (MAYORITAS) KAUM MUSLIM?

Mengapa kaum syi’ah tidak berpegang pada mazhab-mazhab jumhur (mayoritas)
kaum muslimin? Mazhab yang dimaksud adalah mazhab Asy’ari dalam Ushuluddin
(pokok-pokok keimanan) dan mazhab yang empat dalam soal-soal furu’ (cabang-cabang
hokum syari’at)? Padahal kaum Salaf ( orang-orang terdahulu) yang baik-baik telah beramal
dengannya? Mereka melihatnya sebagai mazhab-mazhab yang paling adil dan paling utama.
Mereka sepakat beribadat dengannya, pada setiap tempat di setiap waktu. Dan sependapat
atas keadilan para imam-imam itu, ijtihad dan usaha yang sungguh-sungguh dari mereka,
disamping sifat-sifat kejujuran, wara’ (berhati-hati dalam melakukan sesuatu), aubd
(menjauhkan diri dari kemewahan duniawi), kebersihan nama, kesucian jiwa, keluhuran budi,
serta ketinggian derajat mereka dalam hal ilmu dan amal. ila kenyataan kaum Syi’ah tidak berpegang pada mazhab Asy’ari dalam hal 16
ushuluddin, dan mazhab yang empat dalam masalah cabang syari’at, maka ini sekali-kali
bukan karena kaum Syi’ah ingin menggolong atau karena ta’ashsub (fanatisme), bukan pula
karena meragukan usaha yang sungguh-sungguh para pemuka mazhab-mazhab itu. Dan juga
bukan Karena kaum Syi’ah mengangap mereka tidak memiliki kemampuan, kejujuran,
kebersihan jiwa, ataupun ketinggian ilmu dan amal.
Tetapi sebabnya ialah bahwa dalil-dalil (petunjuk) syari’ah telah memaksa untuk
berpegang pada mazhab ahlul bait, keluarga rumah tangga Rasulullah, pusat Nubuwwah dan
Risalah, tempat persinggahan para Malaikat, dan tempat turunnya wahyu al-Qur’an. Maka
hanya dari merekalah kaum Syi’ah mengambil cabang-cabang Agama dan akidahnya. Ushul
fiqh dan qaidahnya. Pengetahuan tentang al-Qur’an dan as-Sunnah. Ilmu-ilmu akhlak, etika
dan moral. Hal ini semata-mata karena tunduk pada hasil kesimpulan dalil-dalil dan
bukti-bukti. Dan sepenuhnya mengikuti petunjuk dan jejak penghulu para nabi dan Rasul.
Dan sekiranya bukti-bukti dan dalil-dalil itu memberikan peluang pada kaum Syi’ah
untuk berbeda pendapat dari para imam dari keluarga Muhammad SAW, ataupun terdapat
kemungkinan mencapai niat pendekatan diri kepada allah dengan cara beramal atas dasar
sesuatu mazhab diluar mazhab mereka, niscaya kaum Syi’ah pun akan mengikuti jejak
jumhur (mayoritas) muslim dan berpegang dengan apa yang mereka pegang, demi
memperkuat persaudaraan dan mempererat tali persatuan.
Namun adanya dalil-dalil yang pasti yang meyakinkan itulah, yang telah
menghilangkan pilihan lain bagi setiap orang mukmin, dan menghalanginya dari apa yang di
inginkannya (andai kata ia ingin memilih sesuatu yang lain)

SEMANGAT PAHAM SYI’AH

ciri yang paling mencolok dari Syi’isme adalah sikap mental yang menolak mengakui
bahwa pendapat mayoritas dengan sendirinya adalah benar, dan pembelaan yang
dirasionalisasikan atas keutamaan moral dari kelompok minoritas yang diperangi.kita bisa
menemukan banyak contoh dari sikap ini dalam sumber-sumber klasik Syi’ah. Misalnya
sebuah anekdot dalam kitab Ameli karangan syech Thusi (w. 461/1068) , pelopor yurisprudensi Syi’ah yang tak diperselisihkan lagi, menampakkan sikap ini dengan jelas:
Kumayl Ibnu Yizad an-Nakha’i seorang murid paling akrab dari imam pertama, Ali,
meriwayatkan: “saya bersama Amirul mu’minin berada di masjid Kuffah. Ketika kami telah
selesai solat ‘Isya, beliau (Ali) menggamit lengan saya, sampai kami berdua meninggalkan
masjid tersebut, sampai kami meninggalkan Kuffah dan sanpai kami di daerah pinggiran
kota. Dan sampai saat itu beliau sama sekali tidak berkata sepatahpun kepada saya.
Kemudian beiau berkata: “wahai Kumayl, hati manusia itu laksana bejana, yang terbaik
adalah yang memiliki daya simpan yang paling kuat. Karena itu ingatlah selalu apa yang
kukatakan kepadamu. Manusia itu terbagi dalam tiga golongan: ‘Ulama yang taqqarub
kepada allah, orang-orang yang mencari ilmu dan menempuh jalan keselamatan, dan massa (hamaj ra’a) yang mengikuti kemana saya angin bertiup, yang tak pernah berpedoman
kepada cahaya ilmu, dan tak pernah berpijak pada landasan yang kokoh”
Dalam beberapa hal anekdot ini sangta penting: pertama, pertuahnya di nisbatkan
kepada Ali, satu-satunya diantara duabelas imam yang menjadi penguasa atas semua kaum
muslimin. Kedua, kejadian yang diriwayatkan tersebut terjadi pada periode Kufah dari karier
Ali, ketika setelah bertahun-tahun melakukan oposisi terbuka maupun terselubung terhadap
khalifah-khalifah “perampas”, beliau memperoleh kekuasaan politik. Dengan demikian
pembaca diperingatkan untuk memandang kecaman Ali atas kelebihan sikap massa bukan
sebagai kecaman keras dari seorang idealis yang tak praktis dan anti-sosial, melainkan
sebagai penilaian yang matang dari seorang negarawan yang berpengalaman. Ketiga,
kehati-hatian Ali memilih waktu yang tepat untuk mengeluarkan pernyataannya tersebut
menjadi kefanatikan, kebebalan dan ketakandalan “massa” nampak makin patut dicela.11
Dalam membela segi sikap waspada mereka terhadap mayoritas di antara masyarakat
muslim di seluruh dunia, kaum Syi’ah telah terpaksa berhadapan dengan test-test penyisihan
yang kuat. Hal ini sebagian disebabkan oleh pandangan yang bersifat kolektif dari
doktrin-doktrin politik Islam. Yang sangat ditekankan dalam paham Sunni karena
keyakinannya atas kesucian ijma’ (konsensus) ummat. “ummatku tidak pernah bersepakat
dalam kekeliruan”, demikian bunyi sabda nabi yang diartikan kaum Sunni sebagai jaminan
ketakmungkinan salah ummat Islam, suatu sifat yang menurut kaum Syi’ah hanya dimiliki
oleh imam-imam mereka. Kaun Syi’ah telah mencoba membuktikan ketidaklayakan kaum
Sunni untuk mendakwakan diri sebagai ummat yang disebut oleh Rasulullah SAW dalam
hadis tersebut di atas dengan menunjuk pada sipak dian diri mereka terhadap
kemunkaran-kemunkaran yang dilakukan oleh para penguasa mereka pada sebagian besar
sejarah Islam. Salah satu akibat penolakan kaum Syi’ah untuk diintimidasi, apalagi diikat
oleh “opini publik” yang salah adalah sangat dibatasinya perkenan bagi ijma’ di kalangan
mereka sebagai sumber aturan-aturan hukum. Sementara kaum Sunni telah mendefinisikan
ijma’ ini sebagai kesepakatan antara orang-orang yang mengurai dan membuhul orang-orang
yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan menurut Imam Fakhruddin ar-Razi, dan bahkan
sebagai kesepakatan masyarakat secara umum menurut Al Ghazali, maka kaum Syi’ah justru
menyatakan bahwa ijma’ hanya sah jika iya mencakup pandangan dari yang ma’shum (tidak bisa keliru dan bercacat), yakni Imam. Doktrin ini tidaklah menyebabkan kaum Syi’ah
meninggalkan ijma’ sebagai unsur sistem hukum mereka, karena mereka selalu
menjustifikasikan dengan mengajukan dalil yang nyaman bahwa “ dunia tidak pernah kosong
dari yang ma’sum”, yang berarti bahwa manakala suatu konsensus terbentuk, orang harus
mempraduga bahwa di kalangan komunitas ulama yang membentuk kesepakatan tersebut
tentu terdapat seorang ma’sum. Bagaimanapun, doktrin ini merupakan perlindungan
sempurna terhadap imposisi mayoritas. 

Makalah Administrasi dan supervisi Pendidikan




BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Tanggung jawab merupakan syarat utama dalam kepemimpinan tanpa ada
memiliki rasa tanggung jawab, orang tak dapat menjadi pemimpin. Dalam kehidupan sehari-hari, tanggung jawab sering salah diartikan orang. Banyak orang mengatakan “Bertanggung jawab” yang sebenarnya hanya berarti berani “memberi jawab” atas teguran perbuatannya, biarpun perbuatannya itu salah ataupun tidak baik.
“Tanggung jawab” adalah pengertian yang di dalamnya mengandung norma-norma etika, social, dan scientific yang berarti bahwa perbuatan-perbuatan yang dipertanggung jawabkan itu adalah baik, baik dapat disetujui maupun masyarakat, dan mengandung kebenaran yang bersikap umum. Pengertian tanggung jwab berisi pula di dalamnya keberanian mengambil resiko terhadap tantangan, hambatan ataupun rintangan yang mungkin akan menghalangi tercapainya pekerjaan-pekerjaan yang telah dianggap/diyakini kebaikan dan kebenarannya.
Sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan pendidikan di Negara kita Indonesia –sejak zaman penjajahan belanda hingga sampai zaman kemerdekaan pada saat ini, maka kewajiban dan tanggung jawab para pemimpin pendidikan umumnya dan kepala sekolah khususnya mengalami perkembangan dan perubahan pula.
Sehubungan dengan arti supervise seperti yang telah diuraikan diatas, jelaslah bahwa fungsi pokok pemimpin sekolah sebagai supervisor terutama ialah membantu guru-guru dalam mengembangkan potensi/daya kesanggupan dan kecakapan itu, kepala sekolah selaku supervisor perlu memperhatikan faktor-faktor penghambat yang telah diuraikan di atas.
Akan tetapi dalam hubungan ini perlu pula diperhatikan bahwa pengertian tentang fungsi supervisor tidak dapat dilepaskan dari kepemimpinan ataupun kepengawasan mana yang di pegang orang tersebut.

Rumusan Masalah

  1. Apa itu pengertian supervisi ?
  2. Apa saja itu tipe-tipe kepengawasan ?B
  3. agaimana kepengawasan dan semangat ?A
  4. pa saja ciri-ciri seorang supervisor yang baik ?A
  5. pa saja fungsi-fungsi supervisi ?A
  6. pa saja tugas-tugas supervisor ?


Tujuan Penulisan

Makalah tentang Administrasi dan supervisi pengawasan pendidikan ini ditulis selain sebagai penyelesaian tugas Mata Kuliah Administrasi dan supervisi pendidikan juga di harapkan Mahasiswa yang telah membaca makalah ini dapat mengetahui:
  1. Pengertian superviseT
  2. ipe-tipe kepengawasanK
  3. Kepengawasan dan semangati
  4. Ciri-ciri seorang supervisor yang baiku
  5. Fungsi-fungsi supervisiT
  6. Tugas-tugas supervisor



BAB II
PEMBAHASAN

Supervisi Pengawasan

Sesuai dengan perkembangan pendidikan di Negara kita Indonesia, sejak zaman penjajahan belanda hingga zaman kemerdekaan sampai sekarang, maka tanggung jawab para pemimpin pendidikan umumnya dan kepala sekolah khususnya mengalami perkembangan dan perubahan pula. Adapaun perubahan-perubahan tersebut dapat dibagi menjadi tiga aspek:

  1. Perubahan dalam tujuanP
  2. Perubahan dalam scope (luasnya tanggung jawab/kewajiban).P
  3. Perubahan dalam sifatnya.

Ketiga aspek tersebut sangat berhubungan erat dan sukar untuk dipisahkan satu dari yang lain. Adanya perubahan dalam tujuan pendidikan, mengubah pula scope atau luasnya tanggung jawab yang harus dipikul dan dilaksanakan oleh para pemimpin pendidikan. Hal ini mengubah pula bagaimana sifat-sifat kepemimpinan yang harus dijalankan sehingga dapat mencapai tujuan yang ditetapkan.
Pada zaman penjajahan belanda di Indonesia, organisasi bersifat sentralisasi. Segala sesuatu bangunan sekolah, kurikulum (rencana pembelajaran), jumlah murid, buku-buku pelajaran, cara mengajar dan lain-lain sebagainya telah di tetapkan dan diselenggarakan oleh pemerintah secara sentral. Kewajiban kepala sekolah dan guru-guru tidak lain dan tidak bikan adalah menjalankan apa yang telah ditetapkan dan di intruksikan dari atasannya.
Sekarang keadaannya lain lagi. Penyelenggaraan pendidikan lebih di desentralisasikan kepada daerah-daerah: masyarakat di ikutsertakan dan turut serta dalam usaha-usaha pendidikan, dan lain-lain. Tanggung jawab kepala sekolah dan guru-guru semakinlah luas. Jika dahulu, kepala sekolah dianggap baik dan cakap kalau sekolahnya dapat berjalan dengan teratur tanpa menghiraukan kepentingan dan masyarakat sekitarnya, maka penilaian sekarang lebih dari itu.
Tugas kewajiban kepala sekolah, disamping mengatur jalannya sekolah, juga harus dapat bekerja sama dan berhubungan dengan masyarakat. Ia berkewajiban membangkitkan semangat staf guru-guru dan pegawai sekolah untuk bekerja lebih baik, membangun dan memelihara kekeluargaan, kekompakan, dan persatuan antara guru-guru, pegawai, dan juga murid-muridnya, mengembangkan kurikulum sekolah, mengetahui rencana sekolah dan tahu bagaimana menjalankannya, memperhatikan dan mengusahakan kesejahteraan guru-guru, pegawai-pegawainya, dan lain-lain sebagainya, semua ini merupakan tugas kepala sekolah yang pada zaman penjajahan Belanda tidak begitu penting dan tidak perlu adanya. Tugas-tugas kepala sekolah seperti itu adalah bagian dari fungsi-fungsi supervisi (kepengawasan) yang menjadi kewajibannya sebagai pemimpin pendidikan.

Pengertian Supervisi

Dalam Bab I pasal 6 telah dikatakan bahwa supervisi adalah aktivitas menentukan kondisi-kondisi ataupun syarat-syarat yang esensial, yang akan menjamin tercapainya tujuan-tujuan pendidikan.
Jadi supervisi mempunyai pengertian yang luas. Supervisi adalah bantuan dari para pemimpin sekolah, yang tertuju kepada pengembangan kepemimpinan guru-guru dan personnel sekolah lainnya didalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Ia berupa dorongan, bimibingan dan kesempatan bagi pertumbuhan dan keahlian dan kecakapan guru-guru, seperti bimbingan dalam usaha pelaksanaan pembaharuan-pembaharuan dalam pendidikan dan pengajaran, pemilihan alat-alat dan metode-metode mengajar yang lebih baik, cara-cara penilaian yang sistematis tarhadap fase-fase seluruh proses pengajaran, dan sebagainya.
Dengan kata lain:
Supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif.
Fungsi pengawasan atau supervise dalam pendidikan bukan hanya sekedar control melihat apakah segala kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana atau program yang telah digariskan, tetapi lebih dari situ. Supervisi dalam pendidikan mengandung pengertian yang luas. Kegiatan supervise mencakup penentuan kondisi-kondisi atau syarat-syarat personel maupun material yang diperlukan untuk terciptanya situasi belajar-mengajar yang efektif, dan usaha memenuhi syarat-syarat itu.
Seperti dikatakan oleh Nealey dan Evans dalam bukunya, “Hand book for Effective Supervision of Instruction”, seperti berikut: “the term ‘Supervison’ is used to describe those activities which are primarily and directly concerned with studying and improving the conditions which surround the learning and growth of pupils and teachers.”
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, perkataan supervisi belum begitu populer. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang orang lebih mengenal kata “Inspeksi” daripada Supervisi. Pengertian “Inspeksi” sebagai warisan pendidikan Belanda dulu, cenderung kepada pengawasan yang bersifat otokratis yang berarti “mencari kesalahan-kesalahan guru dan kemudian menghukumnya”. Sedangkan supervise mengandung pengertian yang lebih demokratis . dalam pelaksanaannya, supervisi bukan hanya mengawasi apakah para guru/pegawai menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan intruksi atau ketentuan-ketentuan yang telah digariskan, tetapi juga berusaha bersama guru-guru, bagaimana cara memperbaiki proses belajar mengajar. Jadi, dalam kegiatan supervisi, guru-guru tidak dianggap sebagai pelaksana pasif, melainkan diperlakukan sebagai partner kerja yang memiliki ide-ide, pendapat-pendapat dan pengalaman-pengalaman yang perlu di dengar dan dihargai serta di ikutsertakan didalam usaha-usaha perbaikan pendidikan. Sesuai dengan apa yang diakatakan oleh burton dalam bukunya, “Supervision a Social marily aimed at studying and improving co-operativelly all factors which affect child growth and development”.

Sesuai dengan rumusan burton tersebut, maka:
Supervisi yang baik adalah mengarahkan perhatiannya kepada dasar-dasar pendidikan dan cara-cara belajar serta perkembangannya dalam mencapai tujuan umum pendidikan.
Tujuan supervisi adalah perbaikan dan perkembangan proses belajar-mengajar secara total, ini berarti bahwa tujuan supervise tidak hanya untuk memperbaiki mutu mengajar guru, tetapi juga membina pertumbuhan profesi guru dalam arti luas termasuk di dalamnya peng-adaan fasilitas yang menunjang kelancaran proses belajar-mengajar, peningkatan mutu pengetahuan dan keterampilan guru-guru, pemberian bimbingan dan pembinaan dalam hal implementasi kurikulum, pemilihan dan penggunaan metode mengajar, alat-alat pelajaran, prosedur dan tekhnik evaluasi pembelajaran ataupun pengajaran, dan lain-lain sebagainya.
Fokusnya pada setting of learning, bukan pada sekelompok orang ataupun pada seseorang. Semua orang, seperti guru-guru, kepala sekolah, dan pegawai sekolah yang lainnya, adalah teman kerja (coworkers) yang sama-sama bertujuan mengembangkan situasi yang mengembangkan situasi yang memungkinkan terciptanya kegiatan belajar-mengajar yang baik.
Sesuai dengan rumusan diatas, maka kegiatan ataupun usaha-usaha yang
dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan supervise dapat disimpulkan sebagai berikut:
Membangkitkan dan merangsang semangat guru-guru dan pegawai sekolah lainnya dalam menjalankan tugasnya masing-masing dengan sebaik-baiknya.
Berusaha mengadakan dan melengkapi alat-alat perlengkapan termasuk macam-macam media intruksional yang diperlukan bagi kelancaran jalannya proses belajar-mengajar dengan baik.
Bersama guru-guru, berusaha mengembangkan, mencari dan menggunakan metode-metode baru dalam proses belajar-mengajar yang lebih baik.
Membina kerja sama yang baik dan harmonis antara guru, murid, dan pegawai sekolah yang lainnya.
Berusaha meninggikan mutu dan pengetahuan guru-guru serta pegawai sekolah, antara lain dengan mengadakan workshop, seminar, insertvice-training, ataupun up-grading.
Perlu ditambahkan disini bahwa menurut struktur organisasi Dep. P&K yang berlaku sekarang ini, yang termasuk dalam kategori supervisor dalam pendidikan adalah kepala sekolah, pemilik sekolah, dan para pengawas di tingkat kabupaten/kotamadya, serta staf kantor bidang yang ada di tiap provinsi.
Menurut keputusan Menteri P dan K RI No.0134/0/1977, tugas pengawas dalam pendidikan dirinci sebagai berikut :
Mengendalikan pelaksanaan kurikulum meliputi isi, meyode penyajian, penggunaan alat perlengkapan dan penilaiannya agar berlangsung sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengenalian tenaga tekhnis sekolah agar terpenuhi persyaratan formal yang berlaku dan melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengendalikan pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan sesama sekolah sesuai dengan ketentuan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menjaga agar kualitas dan kuantitas sarana sekolah memenuhi ketentuan dan persyaratan yang berlaku.
Mengendalikan tata usaha sekolah meliputi urusan kepegawaian, urusan keuangan, dan urusan perkantoran agar berjalan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengendalikan hubungan kerja sama dengan masyarakat, antara lain dengan pemerintah daerah, dunia usaha, dan lain-lain.
Menilai proses dan hasil pelaksanaan kurikulum berdasarkan ketepatan waktu.
Menilai pelaksanaan kerja tekhnis sekolah.
Menilai pemanfaatan sarana sekolah.
Menilai efisiensi dan keefktifan tata usaha sekolah.
Menilai hubungan kerja sama dengan masyarakat, antara lain pemerintah daerah, dunia usaha, dan lain-lain.

Tipe-tipe kepengawasan
Sehubungan dengan arti supervisi seperti diuraikan diatas, jelaslah bahwa fungsi pokok pemimpin sekolah sebagai supervisor terutama ialah membantu guru-guru dalam mengembangkan potensi-potensi mereka sebaik-baiknya. Untuk mengembangkan potensi/daya kesanggupan dan kecakapan itu, kepala sekolah selaku supervisor perlu memperhatikan faktor-faktor penghambat yang telah diuarikan diatas.
Akan tetapi, dalam hubungan ini perlu pula adanya diperhatikan bahwa pengertian tentang fungsi supervisor tidak dapat dilepaskan dari tipe-tipe kepengawasan /kepemimpinan mana yang di anutnya.
Burton dan Brueckner mengemukakan adanya lima tipe supervisi, yaitu isnpeksi, laissez-faire, coercive, training, and guindance, dan democtratic and leadershif. Secara singkat kelima tipe tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Supervise sebagai inspeksi
Dalam administrasi dan kepemimpinan yang otoriktas, supervise berarti inspeksi. Dalam bentuk inspeksi ini, supervise semata-mata merupakan kegiatan inspeksi pekerjaan guru-guru atau bawahan. Orang-orang yang bertugas/mempunyai tamggung jawab tentang pekerjaan itu disebut inspektur. Istilah ini masih berlaku resmi dan umum dinegara kita meskipun sebenarnya tugas dan pelaksanaan sudah banyak mengalami perubahan.
Laissez faire
Kepengawasan yang bertipe laissez faire sesungguhnya merupakan
kepengawasan yang sama sekali tidak kontrusksif. Kepengawasan laissez faire membiarkan guru-guru atau bawahan berkerja sekehendaknya tanpa diberi petunjuk memberi bimbingan. Guru-guru boleh menjalankan tugasnya menurut apa yang mereka sukai, boleh mengajar apa yamg mereka ingini dan dengan cara yang mereka kehendaki masing-masing.
Coercive Supervision
Hampir sama dengan kepengawasan yang bersifat inspeksi, tipe kepengawasan ini bersifat otoriter. Didalam tindakan kepengawasannya si pengawas bersifat memaksakan segala sesuatu yang di anggapnya benar dan baik menurut pendapatnya benar. Dalam hal ini pendapat dan inisiatif guru tidak dihiraukan dan dikembangkan. Yang penting guru harus tunduk dan menuruti semua peraturan-peraturan ataupun petunjuk yang dianggap baik oleh supervisor itu sendiri.
Supervisi sebagai latihan bimbingan
Dibandingkan dengan tipe-tipe supervisi yang telah dibicarakan terlebih dahulu, tipe ini lebih baik, tipe supervisi ini berlandaskan suatu pandangan bahwa pendidikan itu merupakan proses pertumbuhan bimbingan. Juga berdasarkan pandangan bahwa orang-orang yang diangkat sebagai guru pada umumnya telah mendapatkan pendidikan pre-service di sekolah guru. Oleh karena itulah, supervisi yang dilakukan selanjutnya ialah untuk melatih (to train) dan memberi bimbingan (to guide) kepada guru-guru tersebut di dalam tugas pekerjaannya sebagai guru.
Kepengawasan dan demokrasi
Dalam kepemimpinan yang demokratis, kepengawasan atau supervisi besifat demokratis pula. Supervise merupakam kepemimpinan pendidikan secara koperatif. Dalam tingkat ini, supervise bukan lagi suatu pekerjaan yanh dipegang oleh seorang petugas, melainkan pekerjaan-pekerjaan yang sama yang di koordinasikan. Tanggung jawab tidak dipegang oleh supervisor, melainkan dibagi-bagikan kepada para anggota sesuai dengan tingkat, keahian dan kecakapannya masing-masing.

Kepengawasan dan semangat
Untuk menyelenggarakan dan pelaksanaan kerja sama seperti dimaksudkan diatas, diperlukan dasar-dasar yang meliputi keinsafan, kesadaran, dan semangat. Dengan kata lain, untuk memajukan suatu karya bersama secara keseluruhan diperlukan adanya kesediaan untuk memikul tanggung jawab tanpa memikirkan atau mengutamakan kepentingan-kepentingan pribadi, melainkan justru untuk tercapainya tujuan-tujuan bersama.
Jika telah diakui kebenaran bahwa orang-orang dapat memberi sumbangan yang lebih bila mereka diikutsertakan didalam membangun tujuan-tujuan, merencanakan prosedur-prosedur, dan menilai hasil-hasil, maka pemimpi ataupun supervisor haruslah membantu anggota-anggotanya untuk menciptakan situasi-situasi dimana mereka dapat ikut serta dalam kegiatan-kegiatan kerja sama itu dan jangan mengasingkan orang-orang.
Dan bila telah diterima bahwa kerja sama yang efektif tidak dapat diperoleh dengan paksaan, melainkan dengan cara yang lebih bersifat membina, mendorong dan memberi semangat, maka pemimpin haruslah mengarahkan usaha-usahanya kepada terciptanya semangat kelompok yang akan mendorong mereka untuk bekerja secara produktif.
Semangat ialah sesuatu yang membuat orang-orang mengabdi kepada tugas pekerjaannya dimana kepuasan bekerja dan hubungan-hubungan kekeluargaan yang menyenangkan menjadi bagian dari padanya. Semangat ialah reaksi emosional dan mental dari seseorang terhadap pekerjaannya. Semangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas pekerjaan seseorang.
Diihat dari sudut adminstrasi pendidikan, semangat ialah suatu disposisi ada orang-orang didalam suatu usaha bersama untuk bertindak, bertingkah laku dan berbuat dengan cara-cara yang produktif, bagi maksud-maksud dan tujuan-tujuan organisasi atau usaha pendidikan.
Adapun beberapa factor yang dapat mempengaruhi semangat dan perlu mendapat perhatian dari para pemimpin pendidikan ialah:
Adanya tingkat kehidupan yang layak.
Adanya perasaan terlindung, dan ketentraman dalam bekerja.
Adanya kondisi-kondisi bekerja yang menyenangkan.
Suasana dan rasa kekeluargaan.
Perlakuan yang adil dari atasannya.
Pengakuan dan penghargaan terhadap sumbangan-sumbangan dan jasa-jasa yang diperbuatnya.
Terhadap perasaan berhasil dan kesadaran untuk ingin berkembang.
Kesempatan berpartisipasi dan diikutsertakan didalam menentukan kebijakan (policy)
Kesempatan untuk tetap memiliki.

Ciri-ciri seorang supervisor yang baik
Jelas kiranya bahwa implementasi suatu konsep supervise memerlukan adanya kepemimpinan pendidikan (administrator dan supervisor) yang cukup baik. Untuk itu supervisor haruslah dibekali/dilengkapi secara personal maupun professional sifat-sifat dan pengetahuan yang sesuai dengan profesi jabatan.
Seorang supervisor hendaknya memiliki ciri-ciri pribadi sebagai guru yang baik, memiliki pembawaan kecerdasan yang tinggi, pandangan yang luas mengenai proses pendidikan dalam masyarakat, kepribadian yang menyenangkan dan kecakapan melaksanakan human relation yang baik. Dia haruslah orang yang cinta pada anak-anak dan menaruh minat kepada mereka dan masalah-masalah belajar mereka. Kecakapannya dalam menggunakan proses kelompok sangatlah vital, dan dia haruslah cakap didalam memimpin kelompok menurut prinsip-prisnip demokratis, memiliki kecakapan dan keteguhan hati untuk megambil tindakan cepat terhadap kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya untuk segera diperbaiki.
Supervisor yang baik selalu merasa dibimbing oleh penemuan-penemuan yang didapat dari hasil-hasil penelitian pendidikan dan mempunyai kesempatan untuk menyatakan pendapat-pendapat itu di dalam diskusi-diskusi kelompok dan pertemuan-pertemuan perseorangan. Hendaknya merupakan pemimpin sumber dalam segala bidang yang mengenai supervise sekolah dan perbaikan pengajaran. Mungkin dia adalah seorang spesialis dalam bidang tertentu, tetapi disamping itu dia pun harus dapat merupakan seorang generalis didalam approach-nya terhadap keseluruhan program sekolah.
Dengan singkat, disamping harus memiliki ilmu administrasi dan memahami fungsi-fungsi administrasi dengan sebaik-baiknya, untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik seorang supervisor haruslah memilki ciri-ciri dan sifat berikut:
Berpengetahuan luas tentang seluk-beluk semua pekerjaan yang ada dibawah kepengawasannya.
Menguasai/memahami benar-benar rencana dan program yang telah digariskan yang akan dicapai oleh setiap lembaga ataupun bagian.
Berwibawa dan memilki kecakapan praktis tentang tekhnik-tekhnik kepengawasan, terutama, dan human relation.
Memiliki sifat-sifat jujur, tegas, konsekuen, ramah, dan rendah hati.
Berkemauan keras, rajin bekerja demi tercapaina tujuan ataupun program yang telah digariskan atau disusun.

Fungsi-fungsi supervisi
Fungsi-fungsi supervise pendidikan yang sangat penting diketahui oleh para
pemimpin pendidikan termasuk kepala sekolah, adalah sebagai berikut:
Dalam bidang kepemimpinan
Menyusun rencana dan policy bersama
Mengikutsertakan anggota kelompok (guru-guru, pegawai) dalam berbagai macam kegiatan
Memberikan bantuan kepada anggota kelompok dalam menghadapi dan memecahkan persoalan-persoalan
Membangkitkan dan memupuk semangat kelompok atau memupuk moral yang tinggi kepada anggota keompok
Mengikutsertakan semua anggota didalam menetapkan putusan-putusan.
Dalam hubungan kemanusiaan
memanfaatkan kekeliruan ataupun kesalahan-kesalahan yang di alaminya untuk dijadikan pelajaran demi perbaikan selanjutnya, bagi diri sendiri maupun anggota kelompoknya.
Membantu mengatasi kekurangan ataupun kesulitan yang dihadapi anggota kelompok, seperti dalam hal kemalasan, merasa rendah diri, acuh tak acuh, dan pesimistis.
Mengarahkan anggota kelompok kepada sikap-sikap yag demokratis.
Memupuk rasa saling meghormati diantara sesama anggota keolompok dan sesama manusia.
Menghilangkan rasa curiga-mencurigai antara anggota kelompok.
Dalam pembinaan proses kelompok
Mengenal masing-masing pribadi anggota kelompok, baik kelemahan maupun kemampuan masing-masing.
Menimbulkan dan memlihara sikap percaya –mempercayai sesama anggota maupun antara anggota dan pimpinan
Memupuk sikap dan kesediaan untuk saling tolong-menolong.
Memperbesar rasa anggota kelompok untuk saling bertanggung jawab para anggota kelompok.
Bertindak bijaksana didalam menyelesaikan pertentangan ataupun perselisihan pendapat diantara anggota kelompok.
Dalam bidang administrasi personel
Memilih personel yang memiliki syarat-syarat dan kecakapan yang diperlukan untuk suatu pekerjaan.
Menempatkan personel pada tempat dan tugas yang sesuai dengan kecakapan dan kemampuan masing-masing.
Mengusahakan susunan kerja yang menyenangkan dan meningkatkan daya kerja serta hasil yang maksimal.
Dalam bidang evaluasi
Menguasai dan memahami tujuan-tujuan pendidikan secara khusus dan terinci.
Menguasai dan memiliki norma-norma ataupun ukuran-ukuran yang akan digunakan sebagai criteria penilaian.
Menguasai tekhnik pengumpulan data untuk memperoleh data yang lengkap, benar, dan dapat diolah menurut norma-norma yang ada.
Menafsirkan dan menyimpulkan hasil-hasil penilaian sehingga mendapat gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan intuk mengadakan perbaikan-perbaikan.
Jika fungsi-fungsi supervisi diatas diatas benar-benar dikuasai dan dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh setiap pemimpin pendidikan termasuk kepala sekolah terhadap para anggotany, maka kelancaran jalannya sekolah atau lembaga dalam pencapaian tujuan pendidikan akan lebih terjamin.

Tugas-tugas supervisor
Sehubungan dengan fungsi-fungsi supervise yang telah dibicarakan diatas, maka berikut ini dikemukakan macam-macam tugas supervisi yang lebih real dan lebih terperinci, sebagai berikut:
Menghadiri rapat-rapat ataupun pertemuan organisasi professional.
Mendiskusikan tujuan-tujuan dan filsafat pendidikan dengan guru-guru.
Mengadakan rapat kelompok untuk membicarakan masalah umum.
Melakukan class room atau class visit.
Mengadakan pertemuan-pertemuan individual dengan guru-guru tentang masalah-masalah yang mereka usulkan.
Mendiskusikan metode belajar dengan guru-guru.
Memilih dan menilai buku-buku yang diperlukan murid-murid.
Membimbing guru-guru dalam menyusun dan mengembangkan sumber-sumber ataupu unit pengajaran.
Memberikan saran-saran tentang unit pengajaran.

KESIMPULAN

Sesuai dengan perkembangan pendidikan di Negara kita Indonesia, sejak zaman penjajahan belanda hingga zaman kemerdekaan sampai sekarang, maka tanggung jawab para pemimpin pendidikan umumnya dan kepala sekolah khususnya mengalami perkembangan dan perubahan pula.
Supervisi adalah bantuan dari para pemimpin sekolah, yang tertuju kepada pengembangan kepemimpinan guru-guru dan personnel sekolah lainnya didalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
Burton dan Brueckner mengemukakan adanya lima tipe supervisi, yaitu isnpeksi, laissez-faire, coercive, training, and guindance, dan democtratic and leadershif.
Untuk menyelenggarakan dan pelaksanaan kerja sama seperti dimaksudkan diatas, diperlukan dasar-dasar yang meliputi keinsafan, kesadaran, dan semangat. Dengan kata lain, untuk memajukan suatu karya bersama secara keseluruhan diperlukan adanya kesediaan untuk memikul tanggung jawab tanpa memikirkan atau mengutamakan kepentingan-kepentingan pribadi, melainkan justru untuk tercapainya tujuan-tujuan bersama.
Seorang supervisor hendaknya memiliki ciri-ciri pribadi sebagai guru yang baik, memiliki pembawaan kecerdasan yang tinggi, pandangan yang luas mengenai proses pendidikan dalam masyarakat, kepribadian yang menyenangkan dan kecakapan melaksanakan human relation yang baik.
macam-macam tugas supervisi yang lebih real dan lebih terperinci, sebagai berikut:
Menghadiri rapat-rapat ataupun pertemuan organisasi professional.
Mendiskusikan tujuan-tujuan dan filsafat pendidikan dengan guru-guru.
Mengadakan rapat kelompok untuk membicarakan masalah umum.
Melakukan class room atau class visit.
Mengadakan pertemuan-pertemuan individual dengan guru-guru tentang masalah-masalah yang mereka usulkan.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin Abdurrahman, Prof. Dr., H., Teori pengembangan dan Filosofi Kepemimpinan Kerja, Bhratara, th. 1971, Jakarta

Bolla, john J., Supervisi Klinis, Departemen D dan K, Ditjen Pend. Tinggi, PPLPTK Jakarta, 1985

Puwanto Ngalim., Administrasi dan Supervisi Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya. Th. 2014, Bandung