google.com, pub-8577073204880171, DIRECT, f08c47fec0942fa0

google.com, pub-8577073204880171, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Wednesday, April 29, 2020

PAHAM SUNNI DAN SYI'AH


PENDAHULUAN

Tidak ada satu agama pun yang berkembang di muka bumi ini yang dalam sejarahnya yang tak terbelah. Islam, walaupun satu agama samawi tak luput dari takdir ini. Islam terbelah menjadi Sunni dan Syi’ah. Soal dasar dari keterbelahan tersebut adalah emosionalisme. Kecintaan yang besar kalangan Syi’ah terhadap Ahlul Bait mempunyai pasangan berupa kehormatan yang luarbiasa di kalangan Sunni terhadap para sahabat Rasululah. Kaum Syi’ah menganggap ucapan Ahlul Bait dan para imam mereka sebagai sumber kedua yang terjamin karena keyakinan mereka tentang kemaksuman para imam.
Sedangkan kaum Sunni tentunya tak bias menerima ketentuan ini dan menentukan syarat kesinambungan (mutawatir) penyampaian dan integritas (tsiqat) setiap penyampai (perawi)

hadis sebagai landasan kedua bagi penentuan hokum syari’ah. Sebagai konsekuensinya
sumber hukum ketiga bagi hukum islam, ijma atau konsensus, berbeda pulalah
pengertiannya.
Makalah ini menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan pandangan dari Ulama Sunni
dan Syiah, dengan tujuan agar pembaca lebih memahami dan mengerti perbedaan dari kedua
aliran tersebut.
Dengan adanya makalah ini penulis berharap agar perbedaan dikalangan Islam tidak
akan menimbulkan suatu perpecahan yang mengancam hancurnya Islam itu sendiri, tetapi
menjadikan perbedaan sebagai cara untuk saling mengenal, melengkapi dan menciptakan
keindahan. Karena pada hakikatnya perbedaan itu indah laksana pelangi yang memancarkan
warna yang berbeda-beda.

PEMBAHASAN

PENGERTIAN ULAMA

Ulama berasal dari bahasa arab ‘alim yang berarti orang yang mengetahui, orang yang berilmu. Ulama berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan atau para ilmiawan.
Pemakaian kata ini di Indonesia agak bergeser sedikit dari pengertian aslinya dalam
bahasa Arab. Di Indonesia alem diartikan orang yang jujur dan tidak banyak bicara. Kata
Ulama dipakai dalam arti mufrad, sehingga kalau dimaksud jama’, ditambah kata para
sebelumnya, atau diulang, sesuai dengan kaedah bahasa Indonesia, sehingga menjadi para
ulama atau ulama-ulama. Di Indonesia, kata Ulama hanya digunakan untuk para ahli Islam 1
saja. Tetapi sesudah dekrit presiden 1959, Presiden Soekarno menggunakan juga perkataan
Ulama itu untuk para ahli agama Budha dan Hindu, para ahli agama Khatolik dan para ahli
agama Kristen, sehingga, dalam M.P.R.S terdapat golongan Ulama, yang terdiri dari Ulama
Islam, Ulama Khatolik, Ulama Kristen, serta Ulama Hindu dan Ulama Budha.

PENGERTIAN RAFIDHAH DAN SYI’AH MENURUT ULAMA SUNNI

Ummat Islam suka mencmpuradukkan antara al-rafadh (berpaham Rafidhah) dan
al-tasyayyu’ ( berpaham Syi’ah). Mereka tidak bisa membedakan kedua istilah tersebut.
Inidisebabkan ketidak pahaman tentang akidah mereka sendiri. Mereka tidak mau mengkaji
akidah Islam secara benar dari sumbernya yang asli dan otentik, yaitu Al-Qur’an dan Hadis,
serta pendapat para sahabat Nabi, pengikutnya (tabi’in) dan generasi ketiga (tabi’it-tabi’in).
Padahal, mereka itu tiga angkatan, yang di nilai oleh Rasulullah sebagai generasi terbaik
ummat Islam. Di bawah ini akan diuraukan pengertian-pengertian dari pembahasan di atas.

Pengetian Etimologi

Menurut bahasa, rafidh berarti meninggalkan, menyempal. Sedangkan Rafidhah
berarti: sempalan atau salah satu golongan (firqah) dari Syi’ah. Menurut Al-Ashmu’i, disebut
demikian karena mereka menyempal dari salah seorang imam Syi’ah, yaitu Zayd ibn ‘Ali.
Tasyayyu’ menurut bahasa berarti sikap menganut atau mendukung. Syi’at al-rijal
berarti penganut dan pendukung seseorang. Jadi kata-kata tasyayya’arrajul, artinya; seorang
lelaki menganut pahan Syi’ah.
Setap masyarakat memiliki sesuatu pandangan. Sebagian mereka mengikuti
pandangan yang lain. Mereka adalah kelompok, seperti firman Allah: “Sebagaimana
dilakukan terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa lalu” (QS, Saba,
34:54)

Pengertian Istilah

Menurut syari’at Agama, istilah rafadh berarti sikap memuliakan Ali Ibn Abi Thalib
lebih dari Abu Bakar dan Ummar. Menurut mereka, Ali lebih utama ketimbang mereka
berdua. Karena itu, Ali lebih pantas menduduki kursi kekhalifahan. Dalam hal ini, mereka
tidak sampai mencaci maki Abu Bakar dan Umar.
Tapi, bila tersebut diikuti rasa benci kepada Abu Bakar dan Umar, atau malah
memaki mereka, ini disebut rafidh ekstrim. Tak soal, apakah makian itu dengan bahasa yang
jelas, ataukah hanya dengan bahasa isarat. Dan jika sikap ini diikuti pula dengan kepercayaan
bahwa Ali Ibn Abi Thalib atau keturunannya akan muncul kembali kedunia setelah mereka
wafat, maka inilah rafadh yang paling ekstrim. 

PENGERTIAN SYI’AH DAN AHLU SUNNAH (SUNNI)

Syi’ah didefinisikan sebagai golongan Islam yang mengikuti 12 Imam dari Ahlul Bait
(keluarga dan keturunan) Rasulullah melalui keturunan Ali dan anak-anak Fatimah putri
kesayangan Nabi istri Imam Ali, dalam semua urusan ibadah dan mu’amalah. Sedangkan
Ahlu Sunnah (Sunni) adalah golongan terbesar ummat Islam yang menyandarkan amal
ibadahnya kepada mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali.

SEBAB PERPISAHAN KAUM MINORITAS SYI’AH DARI KAUM MAYORITAS
SUNNI

Para sahabat dan pengikut Ali percaya bahwa setelah kematian nabi, kekhalifahan dan
otoritas agama (marja’iyyah al-‘ilm) menjadi milik Ali. Kepercayaan ini dating dari
pemikiran mereka tentang posisi Ali dalam kaitan dengan Nabi, kaitannya dengan terpilihnya
diantara para sahabat, dan kaitannya dengan kaum muslim umumnya. Namun, terdapat 
peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi menjelang wafatnya Nabi yang mengindikasikan
adanya penentangan terhadap pandangan mereka.

Berbeda dengan harapan mereka, justru ketika Nabi menghembuskan nafas
terakhirnya, dan jasadnya masih terbaring belum disemayamkan, para anggota Ahlulbait dan
beberapa sahabat setia sibuk menyiapkan upacara penguburan Nabi saw, para sahabat dan
pengikut ali mendengar berita adanya kegiatan kelompok lain yang telah pergi ke masjid
tempat ummat berkumpul menghadapi hilangnya pimpinan yang tiba-tiba. Kelompok ini,
yang belakangan menjadi mayoritas bertindak lebih jauh, dan dengan sangat tergesa-gesa
memilih seorang khalifah bagi kaum muslimin dengan tujuan untuk menjamin kesejahteraan
umat dan menyelesaikan persoalan-persoalan urgennya. Mereka melakukan ini tanpa
melibatkan Ahlulbait Nabi, kerabat-kerabatnya atau banyak sahabatnya, yang sibuk dengan
upacara pemakaman Nabi, dan sedikit pun tidak memberitahu mereka. Dengan demikian, Ali
dan para sahabatnya berhadapan dengan keadaan yang sudah tidak dapat berubah lagi (fait
accompli).

Setelah selesai dengan penguburan jasad Nabi, Ali dan para sahabatnya seperti Abbas,
Zubair, Salman, Abu Dzar, Miqdad, dan Ammar mulai mengetahui tentang cara-cara sang
khalifah dipilih. Mereka melancarkan protes tentang cara pemilihan khalifah melalui
musyawarah atau pemilihan, dan juga terhadap “panitia” yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan pemilihan tersebut. Mereka bahkan mengajukan dalil-dalil dan
argumen-argumen mereka sendiri, tetapi jawaban yang mereka terima adalah bahwa
kesejahteraan kaum muslimin sdipertaruhkan dan solusinya terletak pada apa yang telah
dilakukan.
Protes dan kecaman inilah yang memisahkan golongan minoritas pengikut Ali dan
golongan mayoritas, dan menjadikan para pengikutnya dikenal oleh masyarakat sebagai “para
pendukung” atau “syi’ah” Ali. Kekhalifahan pada waktu itu sangat waspada terhadap sebutan
yang diberikan kepada minoritas Syi’ah, karena hal itu berarti memecah belah masyarakat
muslim kedalam dua golongan: mayoritas dan minoritas. Para pendukung khalifah
menganggap kekhalifahan sebagai persoalan konsensus umat (ijma’) dan menamakan
orang-orang yang berkeberatan sebagai “para penantang bait”. Mereka menyatakan bahwa 
berdirinya Syi’ah, sebagai penentangan terhadap masyarakat muslim. Bahkan, adakalanya
Syi’ah diberi nama-nama lain yang melecehkan dan merendahkan.

MENGAPA KAUM SYI’AH TIDAK BERPEGANG PADA MAZHAB-MAZHAB
JUMHUR (MAYORITAS) KAUM MUSLIM?

Mengapa kaum syi’ah tidak berpegang pada mazhab-mazhab jumhur (mayoritas)
kaum muslimin? Mazhab yang dimaksud adalah mazhab Asy’ari dalam Ushuluddin
(pokok-pokok keimanan) dan mazhab yang empat dalam soal-soal furu’ (cabang-cabang
hokum syari’at)? Padahal kaum Salaf ( orang-orang terdahulu) yang baik-baik telah beramal
dengannya? Mereka melihatnya sebagai mazhab-mazhab yang paling adil dan paling utama.
Mereka sepakat beribadat dengannya, pada setiap tempat di setiap waktu. Dan sependapat
atas keadilan para imam-imam itu, ijtihad dan usaha yang sungguh-sungguh dari mereka,
disamping sifat-sifat kejujuran, wara’ (berhati-hati dalam melakukan sesuatu), aubd
(menjauhkan diri dari kemewahan duniawi), kebersihan nama, kesucian jiwa, keluhuran budi,
serta ketinggian derajat mereka dalam hal ilmu dan amal. ila kenyataan kaum Syi’ah tidak berpegang pada mazhab Asy’ari dalam hal 16
ushuluddin, dan mazhab yang empat dalam masalah cabang syari’at, maka ini sekali-kali
bukan karena kaum Syi’ah ingin menggolong atau karena ta’ashsub (fanatisme), bukan pula
karena meragukan usaha yang sungguh-sungguh para pemuka mazhab-mazhab itu. Dan juga
bukan Karena kaum Syi’ah mengangap mereka tidak memiliki kemampuan, kejujuran,
kebersihan jiwa, ataupun ketinggian ilmu dan amal.
Tetapi sebabnya ialah bahwa dalil-dalil (petunjuk) syari’ah telah memaksa untuk
berpegang pada mazhab ahlul bait, keluarga rumah tangga Rasulullah, pusat Nubuwwah dan
Risalah, tempat persinggahan para Malaikat, dan tempat turunnya wahyu al-Qur’an. Maka
hanya dari merekalah kaum Syi’ah mengambil cabang-cabang Agama dan akidahnya. Ushul
fiqh dan qaidahnya. Pengetahuan tentang al-Qur’an dan as-Sunnah. Ilmu-ilmu akhlak, etika
dan moral. Hal ini semata-mata karena tunduk pada hasil kesimpulan dalil-dalil dan
bukti-bukti. Dan sepenuhnya mengikuti petunjuk dan jejak penghulu para nabi dan Rasul.
Dan sekiranya bukti-bukti dan dalil-dalil itu memberikan peluang pada kaum Syi’ah
untuk berbeda pendapat dari para imam dari keluarga Muhammad SAW, ataupun terdapat
kemungkinan mencapai niat pendekatan diri kepada allah dengan cara beramal atas dasar
sesuatu mazhab diluar mazhab mereka, niscaya kaum Syi’ah pun akan mengikuti jejak
jumhur (mayoritas) muslim dan berpegang dengan apa yang mereka pegang, demi
memperkuat persaudaraan dan mempererat tali persatuan.
Namun adanya dalil-dalil yang pasti yang meyakinkan itulah, yang telah
menghilangkan pilihan lain bagi setiap orang mukmin, dan menghalanginya dari apa yang di
inginkannya (andai kata ia ingin memilih sesuatu yang lain)

SEMANGAT PAHAM SYI’AH

ciri yang paling mencolok dari Syi’isme adalah sikap mental yang menolak mengakui
bahwa pendapat mayoritas dengan sendirinya adalah benar, dan pembelaan yang
dirasionalisasikan atas keutamaan moral dari kelompok minoritas yang diperangi.kita bisa
menemukan banyak contoh dari sikap ini dalam sumber-sumber klasik Syi’ah. Misalnya
sebuah anekdot dalam kitab Ameli karangan syech Thusi (w. 461/1068) , pelopor yurisprudensi Syi’ah yang tak diperselisihkan lagi, menampakkan sikap ini dengan jelas:
Kumayl Ibnu Yizad an-Nakha’i seorang murid paling akrab dari imam pertama, Ali,
meriwayatkan: “saya bersama Amirul mu’minin berada di masjid Kuffah. Ketika kami telah
selesai solat ‘Isya, beliau (Ali) menggamit lengan saya, sampai kami berdua meninggalkan
masjid tersebut, sampai kami meninggalkan Kuffah dan sanpai kami di daerah pinggiran
kota. Dan sampai saat itu beliau sama sekali tidak berkata sepatahpun kepada saya.
Kemudian beiau berkata: “wahai Kumayl, hati manusia itu laksana bejana, yang terbaik
adalah yang memiliki daya simpan yang paling kuat. Karena itu ingatlah selalu apa yang
kukatakan kepadamu. Manusia itu terbagi dalam tiga golongan: ‘Ulama yang taqqarub
kepada allah, orang-orang yang mencari ilmu dan menempuh jalan keselamatan, dan massa (hamaj ra’a) yang mengikuti kemana saya angin bertiup, yang tak pernah berpedoman
kepada cahaya ilmu, dan tak pernah berpijak pada landasan yang kokoh”
Dalam beberapa hal anekdot ini sangta penting: pertama, pertuahnya di nisbatkan
kepada Ali, satu-satunya diantara duabelas imam yang menjadi penguasa atas semua kaum
muslimin. Kedua, kejadian yang diriwayatkan tersebut terjadi pada periode Kufah dari karier
Ali, ketika setelah bertahun-tahun melakukan oposisi terbuka maupun terselubung terhadap
khalifah-khalifah “perampas”, beliau memperoleh kekuasaan politik. Dengan demikian
pembaca diperingatkan untuk memandang kecaman Ali atas kelebihan sikap massa bukan
sebagai kecaman keras dari seorang idealis yang tak praktis dan anti-sosial, melainkan
sebagai penilaian yang matang dari seorang negarawan yang berpengalaman. Ketiga,
kehati-hatian Ali memilih waktu yang tepat untuk mengeluarkan pernyataannya tersebut
menjadi kefanatikan, kebebalan dan ketakandalan “massa” nampak makin patut dicela.11
Dalam membela segi sikap waspada mereka terhadap mayoritas di antara masyarakat
muslim di seluruh dunia, kaum Syi’ah telah terpaksa berhadapan dengan test-test penyisihan
yang kuat. Hal ini sebagian disebabkan oleh pandangan yang bersifat kolektif dari
doktrin-doktrin politik Islam. Yang sangat ditekankan dalam paham Sunni karena
keyakinannya atas kesucian ijma’ (konsensus) ummat. “ummatku tidak pernah bersepakat
dalam kekeliruan”, demikian bunyi sabda nabi yang diartikan kaum Sunni sebagai jaminan
ketakmungkinan salah ummat Islam, suatu sifat yang menurut kaum Syi’ah hanya dimiliki
oleh imam-imam mereka. Kaun Syi’ah telah mencoba membuktikan ketidaklayakan kaum
Sunni untuk mendakwakan diri sebagai ummat yang disebut oleh Rasulullah SAW dalam
hadis tersebut di atas dengan menunjuk pada sipak dian diri mereka terhadap
kemunkaran-kemunkaran yang dilakukan oleh para penguasa mereka pada sebagian besar
sejarah Islam. Salah satu akibat penolakan kaum Syi’ah untuk diintimidasi, apalagi diikat
oleh “opini publik” yang salah adalah sangat dibatasinya perkenan bagi ijma’ di kalangan
mereka sebagai sumber aturan-aturan hukum. Sementara kaum Sunni telah mendefinisikan
ijma’ ini sebagai kesepakatan antara orang-orang yang mengurai dan membuhul orang-orang
yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan menurut Imam Fakhruddin ar-Razi, dan bahkan
sebagai kesepakatan masyarakat secara umum menurut Al Ghazali, maka kaum Syi’ah justru
menyatakan bahwa ijma’ hanya sah jika iya mencakup pandangan dari yang ma’shum (tidak bisa keliru dan bercacat), yakni Imam. Doktrin ini tidaklah menyebabkan kaum Syi’ah
meninggalkan ijma’ sebagai unsur sistem hukum mereka, karena mereka selalu
menjustifikasikan dengan mengajukan dalil yang nyaman bahwa “ dunia tidak pernah kosong
dari yang ma’sum”, yang berarti bahwa manakala suatu konsensus terbentuk, orang harus
mempraduga bahwa di kalangan komunitas ulama yang membentuk kesepakatan tersebut
tentu terdapat seorang ma’sum. Bagaimanapun, doktrin ini merupakan perlindungan
sempurna terhadap imposisi mayoritas. 

No comments: